Gambar 1.1.
Estuaria di Muara Sungai Swinhoe (Foto:
Wikipedia Commons)
Estuaria adalah
perairan muara sungai semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut,
sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air
tawar. Estuaria dapat terjadi pada
lembah-lembah sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan laut yang
naik (misalnya pada zaman es mencair) atau pun karena turunnya sebagian daratan
oleh sebab-sebab tektonis. Estuaria juga
dapat terbentuk pada muara-muara sungai yang sebagian terlindungi oleh beting
pasir atau lumpur.
Kombinasi
pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang khas,
dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:
(1) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang
berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran
air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya;
(2) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika
lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air
laut;
(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan
komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan
sekelilingnya; dan
(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut
air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi
daerah estuaria tersebut.
SIFAT-SIFAT EKOLOGIS
Sebagai tempat
pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun
menurut waktu.
Secara umum salinitas
yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria
dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air
tawar masuk ke estuaria. Pada garis
vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada
salinitas air di lapisan bawahnya. Ini
disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih
berat oleh kandungan garam. Kondisi ini
disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’ (salt wedge estuary) (Nybakken, 1988).
Gambar 1.2.
Sebuah
Estuaria yang Ramai oleh Lalu Lintas Air (Foto: Wikipedia Commons)
Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi brkebalikan, dan
karenanya dinamai ‘estuaria negatif’.
Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah,
seperti di daerah gurun pada musim kemarau.
Laju penguapan air di permukaan, yang lebih tinggi daripada laju
masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai
lebih tinggi kadar garamnya. Air yang
hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah
permukaan. Dengan demikian gradien
salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.
Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi
perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi
dasar estuaria.
Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung
cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat
lambat. Substrat estuaria umumnya berupa
lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air,
baik dari darat maupun dari laut.
Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak
di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di
atasnya berlangsung dengan lamban.
BIOTA ESTUARIA
Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga komponen
biota, yakni fauna yang berasal dari lautan, fauna perairan tawar, dan fauna
khas estuaria atau air payau.
Fauna lautan yang tidak mampu mentolerir perubahan-perubahan salinitas yang
ekstrem biasanya hanya dijumpai terbatas di sekitar perbatasan dengan laut
terbuka, di mana salinitas airnya masih berkisar di atas 30‰. Sebagian fauna lautan yang toleran (eurihalin) mampu masuk lebih jauh ke
dalam estuaria, di mana salinitas mungkin turun hingga 15‰ atau kurang.
Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di
atas 5‰, sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria.
Fauna khas
estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar garam antara 5-30‰,
namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang sepenuhnya berair tawar atau
berair laut. Di antaranya terdapat
beberapa jenis tiram dan kerang (Ostrea,
Scrobicularia), siput kecil Hydrobia, udang Palaemonetes, dan cacing polikaeta Nereis.
Di samping itu
terdapat pula fauna-fauna yang tergolong peralihan, yang berada di estuaria
untuk sementara waktu saja. Beberapa
jenis udang Penaeus, misalnya,
menghabiskan masa juvenilnya di sekitar estuaria, untuk kemudian pergi ke laut ketika
dewasa. Jenis-jenis sidat (Anguilla) dan ikan salem (Salmo, Onchorhynchus) tinggal sementara
waktu di estuaria dalam perjalanannya dari hulu sungai ke laut, atau
sebaliknya, untuk memijah. Dan banyak
jenis hewan lain, dari golongan ikan, reptil, burung dan lain-lain, yang datang
ke estuaria untuk mencari makanan (Nybakken, 1988).
Akan tetapi
sesungguhnya, dari segi jumlah spesies, fauna khas estuaria adalah sangat
sedikit apabila dibandingkan dengan keragaman fauna pada ekosistem-ekosistem
lain yang berdekatan. Umpamanya dengan
fauna khas sungai, hutan bakau atau padang lamun, yang mungkin berdampingan
letaknya dengan estuaria. Para ahli
menduga bahwa fluktuasi kondisi lingkungan, terutama salinitas, dan sedikitnya
keragaman topografi yang hanya menyediakan sedikit relung (niche), yang bertanggung jawab terhadap terbatasnya fauna khas
setempat.
PERANAN EKOSISTEM ESTUARIA
Produktifitas
estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa
masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena
sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena
kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit
jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton.
Meski demikian,
bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan di estuaria membentuk
substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi
sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini
dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967, dalam Nybakken 1988) yang
mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110 mg berat kering
bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka hanya mengandung bahan
yang sama 1-3 mg per liter.
Oleh sebab itu,
organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya
bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur hara, melainkan kebanyakan
mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa
cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang
selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan
pemangsa dan burung.
Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria,
bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung
bersifat terbuka. Dengan pangkal
pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari daratan (sungai,
rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau burung
yang kemudian membawa pergi energi keluar dari sistem.
SUMBER:
http://student.ut.ac.id/
Nybakken, J.W. (1988). Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis. Alih bahasa H. Muh. Eidman dkk. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Wikipedia, Estuary. http://en.wikipedia.org/wiki/estuary.htm Diakses tanggal 12/06/2007.
No comments:
Post a Comment