Chlorella merupakan salah satu jenis fitoplankton yang banyak digunakan
untuk berbagai keperluan, salah satunya digunakan sebagai makanan rotifera atau
sebagai media budidaya larva ikan.
Budidaya Chlorella dapat dilakukan dalam skala
laboratorium dan skala lapangan. Dalam budidaya Chlorella di skala
laboratorium digunakan wadah berupa erlenmeyer. Hasil budidaya pada
skala laboratorium pada umumnya digunakan sebagai stock untuk budidaya massal.
Dalam kegiatan budidaya skala laboratorium wadah harus dibersihkan dan
disanitasi. Umumnya pencucian dapat menggunakan deterjen dan dibilas sampai
bersih kemudian dikeringkan. Setelah kering kemudian wadah disanitasikan dengan
cara direbus pada suhu 1100C.
Air yang digunakan juga harus bersih. Air yang digunakan dapat
berupa air sumur atau air mata air atau akuades. Untuk air mata air atau air sumur
sebaik air difilter terlebih dahulu untuk menyaring partikel yang tersuspensi
dalam air. Selajutnya air juga harus disanitasi dengan cara merebus air sampai
mendidih, sehingga air yang digunakan bebas dari kontaminasi plankton lain.
Selanjutnya erlenmeyer yang sudah diisi air sebanyak satu liter ditempatkan
pada rak yang dilengkapi dengan selang aerasi dan lampu neon. Hal ini dilakukan
supaya cahaya cukup untuk proses fotosintesis Chlorella, yang memerlukan
intensitas cahaya antara 2500 – 5000 lux dan agar Chlorella tidak
mengendap. Dalam budidaya di dalam laboratorium sebaiknya dilakukan pada suhu
antara 21-250C, dengan tujuan agar pertumbuhannya tidak terlalu cepat.
Setelah persiapan wadah selesai kemudian dilakukan pemupukan. Pemupukan
ini dilakukan agar kebutuhan unsur hara dari Chlorella terpenuhi
sehingga Chlorella dapat berkembang. Adapun pupuk yang dapat digunakan
untuk skala laboratorium ini adalah pupuk Walne, seperti yang tertera pada
Tabel 1. Gunakan 1 ml larutan A pada Tabel 1 tersebut untuk setiap liter media
budidaya.
Tabel 1.
Komposisi pupuk Walne untuk phytoplankton
Untuk budidaya Chlorella skala massal dapat digunakan
wadah berupa bak fiber atau bak beton yang berbentuk bulat atau persegi.
Volume wadah untuk budidaya Chlorella secara massal
berkisar antara 500 l (minimal) dan 200 ton. Selanjutnya kedalaman air minimal
dalam wadah budidaya adalah 40 cm. Hal ini dimaksudkan agar suhu dalam wadah
tidak terlalu tinggi pada siang hari dan tidak terlalu dingin pada malam hari.
Untuk skala masal wadah biasanya
ditempatkan di luar ruangan dan mendpat cukup cahaya matahari
Dalam budidaya Chlorella skala
massal disamping volume dan kedalaman air, bentuk permukaan bak juga harus
mendapatkan perhatian. Permukaan bak sebaiknya mampunyai bentuk yang licin agar
supaya mudah dibersihkan dari kotoran atau lumut. Bak dibersihkan dengan cara
menyikat dinding dan dasar bak sampai semua kotoran hilang.
Sama halnya seperti budidaya dalam
laboratorium, air yang akan digunakan dalam budidaya massal juga harus
disanitasi. Pada umumnya air tawar yang digunakan dapat bersumber dari air
sumur. Air yang digunakan terlebih dahulu dibersikan dengan jalan penyaringan (pembersihan
air secara fisik). Penyaringan air tawar dapat dilakukan dengan filter pasir
sebelum masuk ke dalam bak budidaya dan pada ujung saluran/selang air yang akan
dimasukkan ke bak, perlu diberi kantung penyaring dengan ukuran lubang 25 mm. Hal ini
dilakukan untukmencegah masuknya zooplankton melalui air yang akan memakan fitoplankton.
Setelah air disaring secara fisik air juga harus disanitasi untuk mematikan
fitoplankton lain dan telur-telur zooplankton yang lolos saringan.
Sanitasi dapat dilakukan dengan
menggunakan chlorine dengan dosis 30 ppm (30 g/ton air). Pada umumnya bak
budidaya diisi air sebanyak 85-90% dari kapasitas. Sebagai contoh pada bak
berukuran 20 ton, hanya diisi air tawar sebanyak 18 ton. Air disanitasi dengan menggunakan
chlorine 30 ppm selama 6 jam. Setelah chlorine dimasukkan, air diaerasi sampai
chlorine tercampur rata diseluruh badan air dan setelah itu aerasi dimatikan.
Untuk menetralkan chlorine, air diberi Na–thiosulfate 10 ppm dan diaerasi kuat.
Setelah air dibersihkan dan
disanitasi kemudian air diaeresi kembali. Untuk bak berukuran besar sebaiknya
setiap jarak 1 meter diberi satu titik aerasi. Setelah air diaerasi kemudian
dilakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan tujuan agar unsur hara yang dibutuhan
Chlorella dapat terpenuhi sehingga dapat menghasilkan Chlorella dengan
kepadatan yang tinggi. Adapun pupuk yang digunakan untuk skala masal berbeda
dengan pupuk yang digunakan dalam skala laboratorium. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan faktor ekonomis.
Adapun pupuk yang digunakan dalam
skala massal dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Berbagai kombinasi pupuk untuk media Chlorella
Sesuai bahan yang tersedia, jenis pupuk yang akan digunakan dapat
dipilih diantara kombinasi pupuk di atas. Satu hari setelah pemupukan kemudian
bibit Chlorella dapat ditebar. Jumlah bibit yang ditebar harus
mencukupi. Sebagai contoh bibit dengan volume 1 liter tidak bisa digunakan
untuk dijadikan bibit pada skala massal. Hal ini disebabkan pencapaian waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai popolasi puncak lama. Oleh karena itu perlu
dilakukan upscaling ( budidaya pada volume wadah yang berurutan mulai
dari yang terkecil sampai terbesar) yang akan dijelaskan kemudian.
Selama budidaya Chlorella dilakukan, aerasi perlu
diberikan agar terjadi pencampuran air, sehingga semua sel Chlorella bisa
mendapatkan pupuk yang diperlukan. Selain itu aerasi berguna untuk menghindari stratifikasi
suhu air, dan memberikan kesempatan terjadinya pertukaran gas, dimana udara
adalah sebagai sumber gas CO2 untuk keperluan fotosintesis Chlorella,
sekaligus untuk mencegah naiknya pH air. Fitoplankton dapat mentolerir pH air
7–9 dan optimum pada pH 8,2 – 8,7.
SUMBER:
Jusadi D., 2003. Modul Budidaya
Rotifera - Budidaya Pakan Alami Air Tawar. Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.
Coutteau, P. 1996. Micro–algae, p. 7–48. In P. Lavens and P.
Sorgeloos (eds) Manual on the production and used of live food for aquaculture.
FAO Fisheries Technical Paper 361..
No comments:
Post a Comment