Monday, 26 January 2015

Memahami Peraturan Perundang-undangan tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia

Landasan Hukum untuk Pendirian Kawasan Konservasi Perairan
Ada beberapa macam pendekatan dalam membangun landasan atau kerangka hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi perairan, yaitu mulai dari penerapan peraturan perundang-undangan yang baru dengan tujuan tertentu hingga penerapan peraturan perundang-undangan yang telah ada dengan beberapa penyesuaian atau modifikasi. Pada beberapa kasus terakhir, kawasan konservasi perairan dibentuk berdasarkan Undang Undang tentang Perikanan, sementara kawasan konservasiyang sudah ada sebelumnya dibentuk berdasarkan Undang-Undang tentang Kehutanan (Tabel 1).Di negara manapun, pembuatan landasan hukum yang tepat perlumempertimbangkan faktor budaya, tradisi dan proses-proses hukum di negara yang bersangkutan. Namun, menurut pengalaman, ada beberapa prinsip umum yang banyak diterapkan, seperti dijelaskan dalam bagian ini.

Tabel 1.  Jumlah dan luas kawasan konservasi perairan di Indonesia pada tahun 2014


Kategori
Jumlah (unit)
Luas (Ha)
A
No
 Inisiasi Kementerian Kehutanan



1
 Taman Nasional Laut
7
4.043.541,3

2
 Taman Wisata Alam Laut
14
491.248,0

3
 Suaka Margasatwa Laut
5
5.678,3

4
 Cagar Alam Laut
6
154.480,0


Sub-Total A
32
4.694.947,6



B
No
 Inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah

1
 Taman Nasional Perairan
1
3.521.130,0

2
 Suaka Alam Perairan
3
443.630,0

3
 Taman Wisata Perairan
6
1.541.040,2

4
 KKP Daerah (dahulu KKLD)
89
5.561.463,1


Sub-Total B
99
11.069.263,3







 Jumlah (A+B)
85
15.764.210,9

Sebelum suaut landasan hukum pembentukan KKP diajukan, para perencana KKP perlu memutuskan apakah KKPyang diusulkan untuk ditetapkan akan terdiri dari banyak kawasan yang berukuran kecil yang dikelola dengan sebuah sistem pengelolaan lingkungan telah ada di sekitar KKP atau terdiri dari beberapa KKP berukuran besar dimana di dalamnya ada beberapa jenis pemanfaatan (multiple use). Pilihan ini tentu akan menentukan sejumah isu yang dibahas bagian tulisan ini. Secaraumum, harus ada peraturan-perundang-undanganyang memayungiKKP tersebut. Jika diperlukan, peraturan perundang-undangan tersebut akan mengalami modifikasi  setelah KKPdibentuk.
Kesalahan umumyang mungkin sering terjadi dalam pembentukan suatu KKPadalah menetapkan KKP yang berukuran kecil namun tidak disertai dengan perangkat pengendaliantrhadap kegiata-kegiatan manusia di luar KKP tersebut.
Selanjutnya, pertanyaan kedua adalah apakah hukum nasional harus menyajikan kerangka kerja (framework) yang rinci mengenai aspek administrasi atau hanya menyediakan pokok-pokok yang besar saja.Di satu sisi, kadang ada kelompok lokal yang kuat lebih menyukai kegiatan di suatu kawasan yang memberikan manfaat ekonomi jangka pendek; keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan akan tampak.  Di sisi lainnya, masyarakat lokal sangat mendukung perlindungan dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.Oleh karena itu,hukum harus melindungi pengelola KKP dari berbagai tekanan lokal yang tidak beralasan dan membekalinya dengan penjelasan yang cukup rinci dan tegas tentang tujuan pembentukan KKP dan proses untuk mencapainya.Ketika masyarakat lokal mendukung suatu KKP dan tujuannya, masyarakatharus berdayadengan dukungan hukum untuk terlibat langsung dalam merancang dan mengelola suatu KKP.
Setiap rincian yang ditambahkan pada produk hukum harus dipertimbangkan dengan cermat karena sudah pasti akan membatasi keleluasaan pengelola ketika menghadapi hal-hal yang tidak terduga. Mengingat proses penetapan suatu peraturan perundang-undang baru yang komprehensif, terutama untuk kawasan konservasi perairan dapatmemerlukan waktu yang cukup lama maka perencana sebaiknya menggunakan peraturan yang telah ada atau instrumen lainnya (misalnya sejumlah keputusan yang dibuat oleh Pemerintah) agar proses pembentukan KKP dapat dilakukandalam waktu yang tidak lama. Kegiatan lain dapat terus dilakukan tanpa harus menunggu selesainya payung hukum yang diperlukan.  Kegiatan lain tersebut mencakupbaik kegiatan konservasi di lapangan yang bertujuan melindungi lokasi-lokasi penting maupun kegiatan persiapanproses penyusunan peraturan perundang-undangan yang baru. Bila kegiatan konservasi berjalan dengan baik maka masyarakat akan semakin terlibat dan mereka akan lebih peduli pada manfaat jangka panjang serta berkomitmen pada tujuan pembentukan KKP. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya akan membangun suasana yang mendukung terbitnya kebijakan atau peraturan baru tetapi juga menyajikan informasi tentang contoh-contoh penerapan isi dari kebijakan atay peraturan yang sedang dalam proses penetapan tersebut.
Hukum merupakan sarana yang penting untuk mempromosikan kebijakan nasional, tetapi kurangnya undang-undang baru yang komprehensif jangan sampai menunda pembentukan KKP ketika pada saat yang sama kerusakan terus terjadi di dalam KKP yang diusulkan.  Oleh karena itu, para pengelola konservasi harus waspada terhadap perkembangan berbagai kegiatan lain, terutama yang menyangkut perijinankegiatan perikanan, peraturan pariwisata, lisensi komersialisasi sumber daya kawasan, negosiasi langsung antar pemerintahan, atau pengelolaan langsung oleh masyarakat.
Apapun kebijakan yang dipilih, peraturan yang sederhana adalah yang terbaik. Sayangnya, seringkali peraturan nasional sangat rumit dan membingungkan berbagai pihak, terutama para pemanfaat sumber daya (resource users).Umumnya peraturan nasional yang sederhana lebih mudah diterima di tingkat lokal. Peraturan KKP yang spesifik seharusnya dibuat sejelas dan sesederhana mungkin.  Sebagai contoh, peraturan yang melarang keras kegiatan penangkapan ikan di dalam zona tertentu atau di seluruh KKP akan lebih mudah dipahami daripadapernyataan"Dilarang menangkap ikan antara bulan Mei dan Juni, di antara pasang tertinggi dan sejauh 1 mil dari pantai". 
Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam membangun kerangka hukum untuk KKP, menurut Salmet al. (2000) adalah:
(1)         Secara khusus memperhitungkan partisipasi publik dan program untuk pendidikan masyarakat.
(2)         Mengakui status hukum yang ada, kepemilikan dan hak para pengguna sumberdaya lokal.
(3)         Mengijinkan berbagai jenis pemanfaatan yang konsisten dengan maksud dari konservasi.
(4)         Memperhitungkan kepentingan dan dampak kepada para pemanfaat sumberdaya dan kelompok-kelompok masyarakat.
(5)         Keterkaitan di antara pemanfaatan sumberdaya hayati yang berkelanjutan dengan perlindungan terhadap proses-proses ekologi dan pola-pola siklus hidup.
(6)         Tujuan akhir (goals) dan tujuan (objectives) yang dinyatakan secara jelas.
(7)         Persyarakatan bagi sebuah rencana pengelolaan.
(8)         Peraturan perundang-undangan yang baru harus secara jelas menyatakan kaitannya dengan peraturan-perundang-undangan yang telah ada.
(9)         Kewenangan untuk membuat peraturan yang memadai dalam rangka mengendalikan atau melarang suatu kegiatan di dalam KKP.
(10)     Ketentuan tentang pemberian tugas dan kekuatan penegakan hukum yang memadai.
(11)     Ketentuan tentang pembiayaan KKP.
(12)     Koordinasi dalam rangka implementasi kesepakatan internasional, regional atau perjanjian multilateral lainnya.
(13)     Undang-undang yang mencakup banyak hal secara sekaligus (contoh, yang dapat melayani beberapa tujuan secara bersamaan).

Panduan untuk menyusun peraturan di dalam kawasan konservasi perairan

1.1.1        Butir-butir yang harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tentang penetapan suatu KKP

Dalam penetapan suatu KKP, butir-butir berikut harus ditentukan dengan tegas, baik dalam peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai payung hukum maupun peraturan lokal yang spesifik:
(1)         Tujuan pembentukan KKP.
(2)         Peraturan pengelolaan dan penerapan sanksi.  Sejumlah peraturan khusus dan tindakan adminstrasi mungkin diperlukan, serta langkah-langkah pencegahan(safeguards) untuk memastikan dan meningkatkan kepatuhan Pemerintah, termasuk transparansi dalam pengambilan keputusan. Peraturan dan sanksi yang diterapkan pada masyarakat lokal mungkin dapat berbeda dari yang diterapkan pada para "pendatang”.  Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya rasa kepemilikan sumberdaya di kalangan masyarakat lokal dan mencegah terjadinya “the tragedy of the common".
(3)         Penetapan batas-batas kawasan konservasi.
(4)         Menyiapkan pernyataan yang memadai tentang kewenangan, hak istimewa dan prosedur, termasuk ketentuan khusus, untuk masyarakat lokal.
(5)         Proses pertimbangan (advisory) dan konsultasi.
(6)         Kriteria yang dipakai dalam pembuatan keputusan.
(7)         Hubungan pengelola kawasan dengan otoritas nasional dan lokal lainnya, serta prosedur untuk berkoordinasi dan penanganan perselisihan (conflict resolution).
(8)         Rencana pengelolaan, zonasi dan peraturan-peraturan.
(9)         Pemantauan dan pininjauan ulang.
(10)     Skema kompensasi.

1.1.2        Jika beberapa KKPyang berukuran sangat luas telah dipilih, putuskan apakah setiap KKPtersebut akan dibentuk dengan dasar hukum terpisah-pisah atau akan dibentuk dengan dasar hukum yang bersifat umum (payung) bagi setiap KKP

Sangat disarankan agar peraturan perundang-undangan yang dibuat didasari oleh konsep multiple use yang berkelanjutan, termasuk adanya daerah larangan (no take zone) sesuai dengan konsep Biosphere Reserve.  Konsep ini adalah kebalikan dari konsep kantung-kantung daerah perlindungan yang terisolir dan tidak terkelola dengan baikatau hanya menjadi obyek dari peraturan-peraturan yang parsial terkaitjenis kegiatan ekonomi tertentu atau industri tertentu, misalnya peraturan tentang perikanan.  Namun, skenario kedua tersebut kadang menjadi dasar bagi pengembangan sistem pengelolaan yang memadukan beberapa kawasan konservasi.
Salah satu kelebihan dariperaturan perundang-undangan yang memayungi sistem KKPsecara keseluruhan di sebuah negara di antaranya adalah tersedianya landasan prinsip bagi seluruh KKP.  Landasan ini memberi peluang kepada kalangan eksekutif atau para pengelola untuk melakukanpengaturan kawasannya secara fleksibel, di antaranya adalah sesuai dengan konteks lokal.  Keputusan untuk menciptakan peraturan perundang-undangan payung akan tergantung pada jenis ancaman yang dialami KKP.  Jika sifat ancaman adalah bergerak (mobile)maka hanya peraturan-perundangan nasional yang dapat dilaksanakan secara efektif. Kebijakan nasional seperti ini akan memberikan kontribusi terhadap pemenuhan persyaratan CBD dan UNCLOS, serta kewajiban-kewajiban internasional yang lain.
Dalam merancang peraturan perundang-undangan payung tersebut, beberapa hal yang harus dipertimbangkan adalah: 
(1)   Membentuk sistem pengelolaan konservasi di wilayah yang seluas-luasnya hingga batas yang masih dapat dikelola.
(2)   Menyediakan berbagai tingkatan akses pemanfaatan sumberdaya, sepertiperlindungan yang ketat, penangkapan ikan dan pengambilan hasil laut lain, di berbagai tempat yang berbeda.
(3)   Menyediakan kesempatan untuk kegiatan pemanfaatan berkelanjutan untuk pangan dan bahan-bahan lain pada sebagian besar wilayah perairan.
(4)   Menutup celah yang ada pada peraturan perundang-undangan dan hukum nasional yang kemungkinan besar akan menghancurkan keberlanjutan pelaksanaan program konservasi.

1.1.3        Jika pendekatan jaringan KKPyang berukuran kecil dipilih, pertimbangkan untuk menetapkannyaberdasarkan tindakan masyarakat yang didukung oleh peraturan perundang-undangan.

Penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa masyarakat lebih menerima hukum nasional yang telah diadopsi secara lokal daripada hukum adat (“hukum dari bawah ke atas”) atau perundangan nasional (“hukum dari atas ke bawah”). Ini adalah temuan penting sekaligus mendukung gagasan agar perundangan nasional dirancang sedemikian rupa untuk memadukan berbagai manfaat hukum nasional dengan keefektifan peraturan lokal.

1.1.4        Pilihan apapun yang diambil, diperlukan sebuah kebijakan untuk konservasi dan pengelolaan lingkunganperairan sebagai satu kesatuan dan mungkin akan memerlukan suatu bentuk hukum.

Suatu kebijakan menyeluruh mengenai pengelolaan, pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi wilayah-wilayah laut dan muara harus dikembangkan sebagai satu kesatuan, untuk daerah-daerah yang memang memerlukan, dan di tempat-tempat yang memiliki kepentingan nasional. Idealnya, kebijakan seperti itu harus mencakup pembahasan tentang koordinasi dengan pengelolaan wilayah daratan pesisir. Proses pembuatan kebijakan, berikut keberadaan dan pengawasannya, akan mendorong terjadinya pengakuan terhadap pentingnya konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di kawasan laut dan muara, serta pemilihan dan penetapan sistem KKP. Kebijakan tersebut dipersyaratkan oleh CBD dan UNCLOS.  Kebijakan tersebut dapat menjadi bagian dari strategi konservasi nasional maupun regional yang kemudian menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional. Resolusi IUCN 17.38 dan 19 dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan pernyataan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan negara tertentu.

1.1.5        Pastikan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat secara eksplisit menyatakan konservasi sebagai tujuan utama pembentukan KKP.

Konservasi harus menjadi tujuan utama pembentukan kawasan konservasi perairan dan secara tegas dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Jika tidak, dan jika konservasi tidak menjadi pertimbangan utama, pembentukanKKP hanya sekedar sikap politik kosong. Konservasi, sebagaimana dijelaskan dalam World Conservation Strategy, adalah pelestarian keanekaragaman hayati dan pelestarian produktivitas hayati. Dengan kata lain, pembentukan kawasan konservasi termasuk upaya untuk menyiapkan dasar bagi penggunaan berkelanjutan secara ekologi.
Sudah seharusnya peraturan perundang-undangan mempertimbangkan isu pemanfaatan berkelanjutan secara serius dan menghubungkannya dengan tujuan konservasi. Tanpa adanya kerja sama para pemanfaat lingkungan laut dan pesisir, terutama nelayan, baik tujuan konservasi maupun penggunaan berkelanjutan secara ekologi tidak akan tercapai. Perundangan juga harus mengakui secara terbukakaitan di antara perlindungan dan pengelolaanproses dan status ekologis dengan pemanfaatan sumber daya hayati yang berkelanjutan. Misalnya dengan menetapkan hak pemanfaatan (rights of use) bagi masyarakat lokal. Hal ini merupakan insentif berharga agar mereka berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan dan mereka secara baik mengantisipasi situasi "the tragedy of the commons", yaitu kondisi buruk (tragedi) yang terjadi pada jenis suatu sumber daya yang dapat diakses oleh publik secara terbuka bebas karena tidak ada pengaturan pemanfaatannya.
Untuk alasan ini, peraturan perundang-undangan mungkin seharusnya juga memasukkan tujuan pengembangankegiatan ekonomi, misalnya pariwisata dan perikanan. Dalam kasus tersebut, konsep berkelanjutan sangat penting untuk diperkenalkan sejak awal dan dilaksanakan dalam pengertian yang luas, yaitu agar kegiatan tersebut berkelanjutan dari sudut pandang ekonomi dan memastikan kegiatan tersebut tidak membahayakan jenis-jenisbiota lain, sumberdaya, dan proses ekologis. Berbagai klausul tentangpemanfaatan secara berkelanjutan pada CBD dapat dipakai untuk merancangpengembangan kegiatan ekonomi.
Tujuan kegiatan lain yang bersifat non-ekonomi, seperti rekreasi, pendidikan dan penelitian ilmiah, juga penting dan harus dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Kegiatan-kegiatan ini adalah tujuan sekunder yang sesuai dengan tujuan utama konservasi.

1.1.6        Perubahan  tujuan utama harus dilakukan oleh pengambil keputusan tertinggi yang bertanggungjawab atas peraturan perundang-undangan di negara tersebut

Perubahan tujuan utama konservasi, jika diperlukan, harus dilakukan melalui prosedur yang setara dengan prosedur ketika peraturan perundang-undangan diproses dan ditetapkan pertama kali.Guna mencegah terkikisnya tujuan konservasi, cara terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan tujuan pengelolaan yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dan terukur (measureable).Tujuan seperti itu harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.  Salah satu keuntungan dari adanya tujuan seperti itu adalah adanya peluang untuk menyesuaikan tujuan pengelolaan terhadap kebutuhan lokal di tempat-tempat yang berbeda dan peluang untuk melakukan peninjauan terhadap kemajuan penggunaan ijin di tingkat lokal.

1.1.7        Memastikan kerangka hukumkonsisten dengan tradisi bangsa

Bentuk dan isi peraturan perundang-undangan harus konsisten dengan praktek hukum, kelembagaan dan sosial serta nilai-nilai yang dianut masyarakat dan diatur dalam perundangan tersebut.
Kepemilikan yang diterima dan hak guna wilayah laut yang akan dikelola merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan.   Kepemilikan ini dapat berupa hak umum atau komunal maupun kepemilikan pribadi. Hak penangkapan ikan yang lazim ditemukan memerlukan pertimbangan yang seksama. Peraturan perundang-undangan harus mencerminkan situasi pemilikan seperti ini yang seringkali akan menentukan dukungan masyarakat perhadap pengaturan tata ruang wilayah atau zonasidi dalam KKP.
Jika hukum tradisional dan praktek-praktekpengelolaan sudah konsisten dengan tujuan akhir dan tujuan peraturan perundang-undangan konservasi, keduanya harusdijunjung dan dihormati setinggi mungkin.  Pengakuan yang sama harus diterapkan pada hukum tradisional tak tertulis yang dianut masyarakat asli, dan terhadap tradisi terkini yang dipraktekkan masyarakat negara tersebut. Jika praktek-praktek masyarakat tersebut bertentangan dengan tujuan peraturan perundang-undangan (seperti kasus yang terjadi umum pada hak akses terbuka untuk menangkap ikan), program pendidikan dan penegakan hukumperlu dilakukan untuk mengubah situasi tersebut.

1.1.8        Perundangan harus sesuai dengan perspektif internasional

Banyak sekali biota laut muda dan mangsanya, benih, tumbuhan laut dan bahan pencemarterbawa oleh sistem arus air, terkadang hingga jarak yang jauh hingga mencapai batas perairan negara-negara lain. Banyak sekali jenis hewan laut seperti paus besar, penyu, burung laut dan beberapa jenis ikan, yang bermigrasi sangat jauh.  Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan dan kebijakan harus dirancang untuk mendukung kesepakatan dan komitmen regional, internasional dan berbagai kesepakatan multilateral lain untuk melindungi jenis-jenis biota tersebut. Rancangan peraturan perundang-undangan seperti ini harus dapat memastikan bahwa inisiatif pengelolaanyang dilakukan oleh satu negara tertentu tidak dianggap akan berdampak pada tindakan-tindakan yang diambil negara lain.Kewajiban yang muncul dari kesepakatan internasional seperti UNCLOS dan CBD sangat relevan untuk hal ini.

1.1.9        Perundangan harus menciptakan landasanhukum bagi lembaga yang akan menetapkan dan mengelolaKKP.

Peraturan perundang-undangan harus mengidentifikasi dan menetapkan mekanisme kelembagaan. Perundangan juga harus menciptakan tanggung jawab, akuntabilitas dan kapasitas spesifik bagi pengelola KKP.  Hal ini diperlukan agar maksud, tujuan dan sasaran dari pembentukan KKP dapat tercapai.
Perundangan harus menciptakan tanggung jawab umum agar badan pemerintahan dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dan administrasi lokal, dewan masyarakat desa tradisional, perorangan, kelompok, dan berbagai perkumpulan dengan tujuan, sasaran dan tanggung jawab yang selaras.
Jika pengelolaan ini berhasil, maka perselisihan antar lembaga, pertentangan, hambatan maupun penundaan dapat diperkecil.  Hal ini akan membuat perundangan dan pengaturan pengelolaan berkembang dari lembaga-lembaga yang ada, kecuali jika ada dukungan publik dan politik yang luarbiasa terhadap lembaga yang baru.  Oleh karena itu:
(1)   Hindari konflik yang tidak perlu dengan perundangan dan administrasi yang ada;
(2)   Jika terjadi konflik dengan administratif dan perundangan yang tidak dapat dihindari maka prosedur rekonsiliasi perlu diterapkan dan, jika memungkinkan, carilah bagian dari perundangan yang dapat mencegah kejadian serupa di masa yang akan datang.
(3)   Upayakan sesedikit mungkin campur tangan terhadap kegiatan atau praktek-praktek pemanfaatan berkelanjutan yang telah berlangsung lama; dan
(4)   Berdayakan staf dan sumberdaya teknis yang ada sesuai bidangnya.

Pilihan tentang lembaga atau pejabat yang akan melibatkan diri dan bertanggungjawab pada KKP adalah sangat penting.  Lembaga pengelola taman nasional atau kawasan konservasi mungkin adalah pilihan yang umum, namun jika lembaga tersebut kurang berpengalaman dalam menangani masalah kelautan, atau hanya memiliki kemampuan yang terbatas dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, maka hasilnya tidak akan maksmum.

1.1.10    Perundangan harus menangani langsung koordinasi dan hubungan antara KKP dengan badan lain, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan hak penangkapan ikan

Perundangan harus menyediakan koordinasi perencanaan dan pengelolaan oleh seluruh badan terkait dengan tanggung jawab menurut undang-undang menyangkut KKP, apakah tanggung jawab tersebut dilaksanakan di dalam atau di luar lingkup KKP, dengan tujuan memantapkan landasan KKP dalam konteks perencanaan pesisir yang lebih luas.
Pengawasan harus dibuat untuk mendefinisikan kejadian-kejadian penting dari bagian-bagian perundangan yang mungkin dapat dilaksanakan di wilayah tersebut.
Badan yang memiliki tanggung jawab utama terhadap KKP diwajibkan oleh perundangan untuk membuat kesepakatan dengan badan lain yang relevan dan terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi KKP.

1.1.11    Perundangan harus mencakup pengawasan untuk mengendalikan kegiatan yang terjadi di luar KKP dan mungkin akan berimbas pada terhambatnya sumber daya, keistimewaan, maupun kegiatan dalam KKP.

Terkadang, tinggi-rendahnya batas permukaan perairan merupakan batas wilayah hukum sebuah negara. Batas lain berada diantarawilayah KKP dan wilayah laut yang bersebelahan. Sangat penting untuk mengadakan pendekatan kolaboratif dan interaktif antara pemerintahan maupun badan yang wilayah hukumnya tersebut bersebelahan. Idealnya adalah dengan memadukan tujuan dan pendekatan dalam sistem pengelolaan wilayah pesisir formal di tiap negara dengan kerja sama antar negara bersangkutan. Salah satu mekanisme untuk mencapai tujuan ini adalah menyediakan perundangan yang umum agar semua organisasi yang bertanggung jawab mengatur fungsi yang dampaknya dapat merusak KKP memiliki tugas umum dalam berkontribusi terhadap tujuan KKP.
UNCLOS membuatnya menjadi tanggung jawab tiap negara untuk melestarikan dan melindungi lingkungan laut secara keseluruhan dan mencegah, mengurangi, serta mengendalikan pengaruh negatif polusi dan kegiatan di daratan.

1.1.12    Undang-undang nasional harus mencakup hal berikut ini:

(1)         Penggunaan istilah
(2)         Rencana pengelolaan dan rencana zonasi
(3)         Partisipasi publik
(4)         Penelitian pendahuluan dan survei
(5)         Penelitian, pemantauan dan tinjauan ulang
(6)         Kompensasi
(7)         Pengaturan keuangan
(8)         Peraturan-peraturan
(9)         Penegakan hukum, insentif dan hukuman
(10)     Pendidikan dan penyadartahuan publik

1.2         Organisasi dan kewenangan pengelola kawasan konservasi perairan

1.2.1        Struktur organisasi KKP

Bagian ini merupakan penjelasan singkat untukmemandu pembaca ketika menentukan struktur organisasi KKP, termasuk beberapa hal berikut ini:
1)      Jenis struktur  – siapa yang menjalankan kawasan dan kewenangan yang dimilikinya;
2)      Lingkup tanggung jawab unit administratif;
3)      Mengidentifikasi manajer dan staf ;
4)      Membuat rencana administrasi untuk kawasan, termasuk mengidentifikasi mata anggaran yang terpisah untuk kegiatan administrasi.
Sistem administrasi dan struktur kelembagaan yang ada harus dapat menentukan posisi kelembagaan dan sistem koordinasi untuk KKP. Apakah administrasi KKP akan berbasis pada satu atau lebih institusi?Jika lebih dari satu institusi yang dilibatkan, bagaimana sistem koordinasi antar kelembagaan tersebut akan bekerja?
Administrasi harus menjadi komponen dari rencana pengelolaanKKP. Dalam beberapa kasus, KKP yang digunakan sebagai alat pengelolaan perikanan tidak memerlukan dukungan administratif. Fungsi pemantauan, penegakan hukum, dan komunikasi dapat dilaksanakan sebagai bagian pelaksanaan keseluruhan dari rencana pengelolaan perikanan. Namun ada banyak KKP yang berdiri sendiri dan memerlukan struktur administrasi sendiri.
Rencana administrasi termasuk penilaian kinerja dan tujuan (yang konsisten dengan tujuanKKP) harus dikembangkan dan mengidentifikasi kegiatan dan fungsi spesifik agar rencana dapat berjalan baik. Rencana tersebut harus mencakup struktur organisasi, pengelolaan kepegawaian, pelatihan, fasilitas dan peralatan, serta anggaran dan pembiayaan. Rencana administrasi dapat dilaksanakan secara penuh pada tahun pertama operasional (jika dananya tersedia), atau bertahap dalam beberapa tahun.  Pada tahun pertama, kegiatan administrasi hanya akan melibatkan beberapa orang manager atau staf KKP yang melaksanakan berbagai fungsi, mulai dari pengkajian sumberdaya hingga penegakan hukum sampai pengelolaan kantor dan pendidikan atau penyuluhan untuk masyarakat.

1.2.2        Fungsi organisasi KKP

Fungsi-fungsi administrasi yang ada diKKP mencakup beberapa hal berikut ini:
1)      Menulis dan menafsirkan peraturan yang menyangkut KKP.
2)      Menerbitkan, memperbaharui, dan mengakhiri perijinanpada berbagai kegiatan di dalam KKP.
3)      Melakukan komunikasi tentang KKP.
4)      Mengumpulkan dana dari para pengguna, mengelola pemasukan dan pengelolaan keuangan.
5)      Mengelola pegawai termasuk perekrutan, pelatihan, evaluasi kinerja, dan penghentian pegawai yang berkinerja buruk. Pengelolaan kepegawaian diterapkan juga kepada pegawai yang diberi upah dan para relawan.
6)      Mengelola kekayaan atau asset fisik, seperti bangunan kantor, peralatan teknologi informasi (misal, komputer), dan fasilitas lainnya, seperti kapal.
7)      Mengurus catatan kegiatan KKP, seperti ijin untuk menggunakan KKP, pengumpulan biaya, kasus pelanggaran, peraturan, dll. Catatan tersebut harus diterima publik kecuali disebutkan sebaliknya untuk melindungi privasi untuk pegawai dan informasi sensitif yang memengaruhi persaingan bisnis, dan
8)      Memantau dan mengevaluasi kinerja KKP.

KKP dikelola dalam berbagai pengaturan administratif. Tiga pengaturan administratif yang paling umum adalah sentralisasi (diatur pemerintah), berbasis masyarakat (diatur secara lokal), dan pengelolaan kolaboratif (atau co-management). Perbedaan diantara ketiganya berkaitan dengan tingkat peran atau partisipasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengaturan administratif,  lokasi kewenangan serta tanggung jawabpengelolaan. Pengaturan administratif akan berubah sesuai dengan waktu dan perkembangan kematangan KKP.
Pemerintah harus bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan sumber daya alam.  Oleh karena itu, pemerintah memiliki kuasa atas administrasi KKP. Namun ada beberapa situasi dimana administrasi KKP menjadi tidak efektif karena kurang berpengalaman dalam menangani KKP atau tidak memiliki sumber daya yang memadai. KKP memerlukan pertolongan terus-menerus yang mungkin diluar batas kemampuan instansi pemerintahan. Kemampuan instansi-instansi pemerintahan juga belum tentu sesuai untuk melaksanakan tanggungjawabnya, atau ada pertentangan di antara sesama instansi pemerintahan.
Dewan penasihat dibentuk untuk memberi petunjuk tentang perencanaan lokasi dan pengelolaanKKP. Dewan ini dapat berfungsi sebagai penasihat dalam pembuatan dan persetujuan rencana kerja dan anggaran serta evaluasi kemajuan atau perkembangan pengelolaan. Komposisi dewan penasihat dapat berasal dari masyarakat lokal, pemimpin-pemimpin lokal, instansi pemerintah, dan pejabat-pejabat terpilih. Dewan ini mungkin akan lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan KKPyang menerapkan sistem pengelolaan berbasis masyarakat dan pengelolaan kolaboratif.
Pengelolaan berbasis masyarakat memerlukan institusi lokal dan masyarakat yang mampu mengembangkan dan melaksanakan peraturan. Untuk keperluan ini, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal dapat dibentuk. Semuanya akan terlibat langsung dengan masyarakat dan pihak-pihak berwenang yang diakui pemerintah.  Dewan Penasihat, pengelola KKP dan LSM ketiganya akan menjadi wahana yang bagus untuk menyalurkan dukungan pembiayaan terhadap KKP.

1.2.2.1       Jenis dan fungsi organisasi pengelolaan kolaboratifKKP

Jika pengelolaan kolaboratifmerupakan jenis pengelolaan yang dipilih untuk KKP,maka harus ada organisasi yang relatif stabil untuk bertanggung jawab terhadap keseluruhan program pengelolaan kolaboratifKKP. Organisasipengelolaan kolaboratifdidirikan dengan tanggung jawab mengatur KKP dan menjaga kelangsungan program pengelolaan kolaboratifKKP—termasuk rencana dan kesepakatan—selama waktu pelaksanaan. Organisasi tersebut memerlukan kombinasi tanggung jawab antara pengambilan keputusan, penasihat, operasional, dan koordinasi. Organisasi tersebut juga harus merupakan badan permanen.
Ada berbagai jenis dan fungsi organisasi pengelolaan kolaboratifKKP sesuai dengan situasi yang ada:
1)      Badan Eksekutif bertanggung jawab terhadap pelaksanaan rencana dan kesepakatan berdasarkan keputusan yang dibuat oleh badan lain, misalnya perkumpulan bisnis lokal yang bertanggung jawab untuk melaksanakan proyek hasil negosiasi di antara direktur kawasan konservasi dengan masyarakat di sekitarnya.
2)      Badan Pengambil Keputusan bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan kawasan, wilayah, maupun sumber daya terkait, misalnya dewan pengelolaan kolaboratifyang bertanggung jawab di wilayah tertentu.
3)      Dewan Penasehat bertanggung jawab untuk memberi masukan pada para pengambil keputusan, misalnya Dewan Pesisir yang berhubungan langsung dengan pihak berwenang di tingkat wilayah yang diberi mandat melakukan pengelolaansumber daya.
4)      Dewan Gabungan memiliki sebagian tanggung jawabpengelolaan dan separuhnya sebagai penasehat, misalnya Komisi Penasehat/Pengelolaan bertanggung jawab untuk memberi masukan terhadap Direktur Taman Laut atas keputusan yang diambil untuk pengelolaan taman laut tersebut namun bertanggung jawab penuh terhadap keputusan dan kegiatan berkenaan dengan wilayah dan sekelilingnya.
Pemangku kepentingan ini dapat memutuskan untuk mendirikan beberapa organisasi pengelolaan kolaboratif, misalnya badan penasehat dan badan pengelolaan.
Yang termasuk fungsi organisasi pengelolaan kolaboratifKKP adalah:
1)      Pengelolaan konflik untuk membahas dan menyelesaikan konflik diantara para pemangku kepentingan;
2)      Pembuatan kebijakan untuk mencegah konflik dalam menerjemahkan rencana dan kesepakatan menjadi sejumlah peraturan dan sanksi yang sesuai;
3)      Pelaksanaan untuk memastikan strategi pengelolaanditerapkan sesuai dengan dengan alokasi danadan menugaskan beberapa orang untuk melaksanakan kegiatan yang berbeda;
4)      Pemantauan untuk mengukur hasil dan dampak dari strategi pengelolaan;
5)      Membuat revisi rencana dan kesepakatan pengelolaan kolaboratifuntuk menjaga dan memperbarui rencana dan kesepakatan;
6)      Pembiayaan dan penggalangan dana;
7)      Pengumpulan informasi dan data serta analisis;
8)      Pendidikan;
9)      Penelitian.

KKP dipimpin oleh seorang manajer yang sebaiknya adalah tenaga profesional yang bekerja penuh. Manajer KKP juga akan berfungsi sebagai perencana, administrator, penghubung masyarakat, ilmuwan dan politisi. Manajer harus bertanggung jawab untuk mencapai tujuan pengelolaan melalui penggunaan dana, pemberdayaan staf dan peralatan secara efisien.
Jumlah staf KKP tergantung pada situasi di mana program KKP dilaksanakan. Staf harus sudah melalui tahapan pelatihan dengan baik. Mengelola KKP secara efektif memerlukan pemahaman mengenai sumber daya yang dilindungi, harus memahami bagaimana penduduk setempat, dan mampu bekerja dan berkomunikasi dengan mereka dan juga pengunjung, serta kompeten untuk bidang tertentu.  Di Indonesia, persiapan para manajer dan staf KKP di antaranya dilakukan melalui pelatihan Dasar-Dasar Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (yang dikenal dengan nama pelatihan MPA101).  Staf harus memiliki peralatan khusus minimum untuk melaksanakan tugas, seperti perahu, teropong, radio, komputer, dan lain-lain.

Sumber: 
PUSLATKP, 2014. MODUL A.033101.003.01 Melakukan Kegiatan Persiapan Awal Perencanaan pada  Pelatihan Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan,  Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

No comments:

Pengembangan Produk Bekicot Ala Sushi

Permakluman:  Produk-produk yang ditampilkan merupakan Produk Olahan Hasil Perikanan Karya Finalis Lomba Inovator Pengembangan Produk ...