Landasan Hukum untuk Pendirian Kawasan Konservasi
Perairan
Ada beberapa macam pendekatan dalam
membangun landasan atau kerangka hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi
perairan, yaitu mulai dari penerapan peraturan perundang-undangan yang baru
dengan tujuan tertentu hingga penerapan peraturan perundang-undangan yang telah
ada dengan beberapa penyesuaian atau modifikasi. Pada beberapa kasus terakhir, kawasan
konservasi perairan dibentuk berdasarkan Undang Undang tentang Perikanan,
sementara kawasan konservasiyang sudah ada sebelumnya dibentuk berdasarkan
Undang-Undang tentang Kehutanan (Tabel 1).Di negara manapun, pembuatan landasan
hukum yang tepat perlumempertimbangkan faktor budaya, tradisi dan proses-proses
hukum di negara yang bersangkutan. Namun, menurut pengalaman, ada beberapa
prinsip umum yang banyak diterapkan, seperti dijelaskan dalam bagian ini.
Tabel 1.
Jumlah dan luas kawasan konservasi perairan di Indonesia pada tahun 2014
Kategori
|
Jumlah (unit)
|
Luas (Ha)
|
||
A
|
No
|
Inisiasi
Kementerian Kehutanan
|
||
1
|
Taman Nasional Laut
|
7
|
4.043.541,3
|
|
2
|
Taman Wisata Alam Laut
|
14
|
491.248,0
|
|
3
|
Suaka Margasatwa Laut
|
5
|
5.678,3
|
|
4
|
Cagar Alam Laut
|
6
|
154.480,0
|
|
Sub-Total A
|
32
|
4.694.947,6
|
||
B
|
No
|
Inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan
Pemerintah Daerah
|
||
1
|
Taman Nasional Perairan
|
1
|
3.521.130,0
|
|
2
|
Suaka Alam Perairan
|
3
|
443.630,0
|
|
3
|
Taman Wisata Perairan
|
6
|
1.541.040,2
|
|
4
|
KKP Daerah (dahulu KKLD)
|
89
|
5.561.463,1
|
|
Sub-Total B
|
99
|
11.069.263,3
|
||
Jumlah (A+B)
|
85
|
15.764.210,9
|
Kesalahan umumyang mungkin sering terjadi dalam
pembentukan suatu KKPadalah menetapkan KKP yang berukuran kecil namun tidak
disertai dengan perangkat pengendaliantrhadap kegiata-kegiatan manusia di luar
KKP tersebut.
Selanjutnya, pertanyaan kedua adalah apakah
hukum nasional harus menyajikan kerangka kerja (framework) yang rinci mengenai aspek administrasi atau hanya
menyediakan pokok-pokok yang besar saja.Di satu sisi, kadang ada kelompok lokal
yang kuat lebih menyukai kegiatan di suatu kawasan yang memberikan manfaat
ekonomi jangka pendek; keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara
berlebihan akan tampak. Di sisi lainnya,
masyarakat lokal sangat mendukung perlindungan dan pemanfaatan sumber daya laut
yang berkelanjutan.Oleh karena itu,hukum harus melindungi pengelola KKP dari
berbagai tekanan lokal yang tidak beralasan dan membekalinya dengan penjelasan
yang cukup rinci dan tegas tentang tujuan pembentukan KKP dan proses untuk
mencapainya.Ketika masyarakat lokal mendukung suatu KKP dan tujuannya,
masyarakatharus berdayadengan dukungan hukum untuk terlibat langsung dalam
merancang dan mengelola suatu KKP.
Setiap rincian yang ditambahkan pada produk
hukum harus dipertimbangkan dengan cermat karena sudah pasti akan membatasi keleluasaan
pengelola ketika menghadapi hal-hal yang tidak terduga. Mengingat proses
penetapan suatu peraturan perundang-undang baru yang komprehensif, terutama untuk
kawasan konservasi perairan dapatmemerlukan waktu yang cukup lama maka perencana
sebaiknya menggunakan peraturan yang telah ada atau instrumen lainnya (misalnya
sejumlah keputusan yang dibuat oleh Pemerintah) agar proses pembentukan KKP
dapat dilakukandalam waktu yang tidak lama. Kegiatan lain dapat terus dilakukan
tanpa harus menunggu selesainya payung hukum yang diperlukan. Kegiatan lain tersebut mencakupbaik kegiatan konservasi
di lapangan yang bertujuan melindungi lokasi-lokasi penting maupun kegiatan persiapanproses
penyusunan peraturan perundang-undangan yang baru. Bila kegiatan konservasi
berjalan dengan baik maka masyarakat akan semakin terlibat dan mereka akan lebih
peduli pada manfaat jangka panjang serta berkomitmen pada tujuan pembentukan
KKP. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya akan membangun suasana yang
mendukung terbitnya kebijakan atau peraturan baru tetapi juga menyajikan
informasi tentang contoh-contoh penerapan isi dari kebijakan atay peraturan yang
sedang dalam proses penetapan tersebut.
Hukum merupakan sarana yang penting untuk
mempromosikan kebijakan nasional, tetapi kurangnya undang-undang baru yang
komprehensif jangan sampai menunda pembentukan KKP ketika pada saat yang sama kerusakan
terus terjadi di dalam KKP yang diusulkan. Oleh karena itu, para pengelola konservasi
harus waspada terhadap perkembangan berbagai kegiatan lain, terutama yang
menyangkut perijinankegiatan perikanan, peraturan pariwisata, lisensi komersialisasi
sumber daya kawasan, negosiasi langsung antar pemerintahan, atau pengelolaan
langsung oleh masyarakat.
Apapun kebijakan yang dipilih, peraturan
yang sederhana adalah yang terbaik. Sayangnya, seringkali peraturan nasional
sangat rumit dan membingungkan berbagai pihak, terutama para pemanfaat sumber
daya (resource users).Umumnya peraturan nasional yang sederhana
lebih mudah diterima di tingkat lokal. Peraturan KKP yang spesifik seharusnya
dibuat sejelas dan sesederhana mungkin. Sebagai contoh, peraturan yang melarang keras
kegiatan penangkapan ikan di dalam zona tertentu atau di seluruh KKP akan lebih
mudah dipahami daripadapernyataan"Dilarang
menangkap ikan antara bulan Mei dan Juni, di antara pasang tertinggi dan sejauh
1 mil dari pantai".
Beberapa hal penting yang perlu
dipertimbangkan dalam membangun kerangka hukum untuk KKP, menurut Salmet al. (2000) adalah:
(1)
Secara khusus memperhitungkan
partisipasi publik dan program untuk pendidikan masyarakat.
(2)
Mengakui status hukum yang ada,
kepemilikan dan hak para pengguna sumberdaya lokal.
(3)
Mengijinkan berbagai jenis
pemanfaatan yang konsisten dengan maksud dari konservasi.
(4)
Memperhitungkan kepentingan dan
dampak kepada para pemanfaat sumberdaya dan kelompok-kelompok masyarakat.
(5)
Keterkaitan di antara pemanfaatan
sumberdaya hayati yang berkelanjutan dengan perlindungan terhadap proses-proses
ekologi dan pola-pola siklus hidup.
(6)
Tujuan
akhir (goals) dan tujuan (objectives) yang dinyatakan secara
jelas.
(7)
Persyarakatan bagi sebuah rencana
pengelolaan.
(8)
Peraturan perundang-undangan yang
baru harus secara jelas menyatakan kaitannya dengan peraturan-perundang-undangan
yang telah ada.
(9)
Kewenangan untuk membuat peraturan
yang memadai dalam rangka mengendalikan atau melarang suatu kegiatan di dalam
KKP.
(10)
Ketentuan tentang pemberian tugas
dan kekuatan penegakan hukum yang memadai.
(11)
Ketentuan tentang pembiayaan KKP.
(12)
Koordinasi dalam rangka
implementasi kesepakatan internasional, regional atau perjanjian multilateral
lainnya.
(13)
Undang-undang yang mencakup banyak
hal secara sekaligus (contoh, yang dapat melayani beberapa tujuan secara
bersamaan).
Panduan untuk menyusun peraturan di dalam
kawasan konservasi perairan
1.1.1 Butir-butir yang harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tentang penetapan suatu KKP
Dalam
penetapan suatu KKP, butir-butir berikut harus ditentukan dengan tegas, baik
dalam peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai payung hukum maupun
peraturan lokal yang spesifik:
(1)
Tujuan pembentukan KKP.
(2)
Peraturan pengelolaan dan
penerapan sanksi. Sejumlah peraturan khusus
dan tindakan adminstrasi mungkin diperlukan, serta langkah-langkah pencegahan(safeguards) untuk memastikan dan meningkatkan
kepatuhan Pemerintah, termasuk transparansi dalam pengambilan keputusan. Peraturan dan sanksi yang diterapkan pada
masyarakat lokal mungkin dapat berbeda dari yang diterapkan pada para "pendatang”. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya rasa
kepemilikan sumberdaya di kalangan masyarakat lokal dan mencegah terjadinya “the tragedy of the common".
(3)
Penetapan batas-batas kawasan konservasi.
(4)
Menyiapkan pernyataan yang memadai
tentang kewenangan, hak istimewa dan prosedur, termasuk ketentuan khusus, untuk
masyarakat lokal.
(5)
Proses pertimbangan (advisory) dan konsultasi.
(6)
Kriteria yang dipakai dalam pembuatan
keputusan.
(7)
Hubungan
pengelola kawasan dengan otoritas nasional dan lokal lainnya, serta prosedur
untuk berkoordinasi dan penanganan perselisihan (conflict resolution).
(8)
Rencana
pengelolaan, zonasi dan peraturan-peraturan.
(9)
Pemantauan dan pininjauan ulang.
(10)
Skema kompensasi.
1.1.2 Jika beberapa KKPyang berukuran sangat luas telah dipilih, putuskan apakah setiap KKPtersebut akan dibentuk dengan dasar hukum terpisah-pisah atau akan dibentuk dengan dasar hukum yang bersifat umum (payung) bagi setiap KKP
Sangat disarankan agar peraturan
perundang-undangan yang dibuat didasari oleh konsep multiple use yang berkelanjutan, termasuk adanya daerah larangan (no take zone) sesuai dengan konsep Biosphere Reserve. Konsep ini adalah kebalikan dari konsep
kantung-kantung daerah perlindungan yang terisolir dan tidak terkelola dengan
baikatau hanya menjadi obyek dari peraturan-peraturan yang parsial terkaitjenis
kegiatan ekonomi tertentu atau industri tertentu, misalnya peraturan tentang perikanan.
Namun, skenario kedua tersebut kadang menjadi
dasar bagi pengembangan sistem pengelolaan yang memadukan beberapa kawasan
konservasi.
Salah satu kelebihan dariperaturan perundang-undangan
yang memayungi sistem KKPsecara keseluruhan di sebuah negara di antaranya adalah
tersedianya landasan prinsip bagi seluruh KKP.
Landasan ini memberi peluang kepada kalangan eksekutif atau para
pengelola untuk melakukanpengaturan kawasannya secara fleksibel, di antaranya
adalah sesuai dengan konteks lokal. Keputusan
untuk menciptakan peraturan perundang-undangan payung akan tergantung pada jenis
ancaman yang dialami KKP. Jika sifat
ancaman adalah bergerak (mobile)maka hanya
peraturan-perundangan nasional yang dapat dilaksanakan secara efektif.
Kebijakan nasional seperti ini akan memberikan kontribusi terhadap pemenuhan persyaratan
CBD dan UNCLOS, serta kewajiban-kewajiban internasional yang lain.
Dalam merancang peraturan perundang-undangan
payung tersebut, beberapa hal yang harus dipertimbangkan adalah:
(1) Membentuk sistem pengelolaan konservasi di wilayah yang seluas-luasnya
hingga batas yang masih dapat dikelola.
(2) Menyediakan berbagai tingkatan akses pemanfaatan sumberdaya, sepertiperlindungan
yang ketat, penangkapan ikan dan pengambilan hasil laut lain, di berbagai tempat
yang berbeda.
(3) Menyediakan kesempatan untuk kegiatan pemanfaatan berkelanjutan untuk pangan dan bahan-bahan lain pada
sebagian besar wilayah perairan.
(4) Menutup celah yang
ada pada peraturan perundang-undangan dan hukum nasional
yang kemungkinan besar akan menghancurkan keberlanjutan pelaksanaan program
konservasi.
1.1.3 Jika pendekatan jaringan KKPyang berukuran kecil dipilih, pertimbangkan untuk menetapkannyaberdasarkan tindakan masyarakat yang didukung oleh peraturan perundang-undangan.
Penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa
masyarakat lebih menerima hukum nasional yang telah diadopsi secara lokal
daripada hukum adat (“hukum dari bawah ke atas”) atau perundangan nasional (“hukum
dari atas ke bawah”). Ini adalah temuan penting sekaligus mendukung gagasan
agar perundangan nasional dirancang sedemikian rupa untuk memadukan berbagai
manfaat hukum nasional dengan keefektifan peraturan lokal.
1.1.4 Pilihan apapun yang diambil, diperlukan sebuah kebijakan untuk konservasi dan pengelolaan lingkunganperairan sebagai satu kesatuan dan mungkin akan memerlukan suatu bentuk hukum.
Suatu kebijakan menyeluruh mengenai
pengelolaan, pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi wilayah-wilayah laut dan muara harus
dikembangkan sebagai satu kesatuan, untuk daerah-daerah yang memang memerlukan,
dan di tempat-tempat yang memiliki kepentingan nasional. Idealnya, kebijakan
seperti itu harus mencakup
pembahasan tentang koordinasi dengan pengelolaan wilayah daratan pesisir.
Proses pembuatan kebijakan, berikut
keberadaan dan pengawasannya, akan mendorong terjadinya pengakuan
terhadap pentingnya konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di kawasan laut dan
muara, serta pemilihan dan penetapan sistem KKP. Kebijakan tersebut dipersyaratkan oleh CBD
dan UNCLOS. Kebijakan tersebut dapat menjadi bagian dari strategi konservasi nasional maupun regional yang kemudian menjadi bagian dari strategi
pembangunan nasional. Resolusi IUCN 17.38 dan 19 dapat dijadikan landasan untuk
mengembangkan pernyataan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan negara
tertentu.
1.1.5 Pastikan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat secara eksplisit menyatakan konservasi sebagai tujuan utama pembentukan KKP.
Konservasi harus menjadi tujuan utama pembentukan
kawasan konservasi perairan dan secara tegas dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Jika
tidak, dan jika konservasi tidak menjadi pertimbangan utama, pembentukanKKP
hanya sekedar sikap politik kosong. Konservasi, sebagaimana dijelaskan dalam World
Conservation Strategy, adalah pelestarian keanekaragaman hayati dan pelestarian produktivitas
hayati. Dengan kata lain, pembentukan kawasan konservasi termasuk upaya untuk menyiapkan
dasar bagi penggunaan berkelanjutan secara ekologi.
Sudah seharusnya peraturan perundang-undangan
mempertimbangkan isu pemanfaatan berkelanjutan secara serius dan menghubungkannya dengan tujuan konservasi.
Tanpa adanya kerja sama para pemanfaat lingkungan laut dan pesisir, terutama nelayan, baik tujuan konservasi
maupun penggunaan berkelanjutan secara ekologi tidak akan tercapai. Perundangan
juga harus mengakui secara terbukakaitan di antara perlindungan dan pengelolaanproses dan status ekologis dengan pemanfaatan sumber daya
hayati yang berkelanjutan. Misalnya dengan menetapkan hak pemanfaatan (rights of use) bagi masyarakat lokal. Hal ini merupakan insentif berharga
agar mereka berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan dan mereka secara baik mengantisipasi
situasi "the tragedy of the commons", yaitu kondisi buruk (tragedi) yang terjadi pada jenis
suatu sumber
daya yang dapat diakses oleh publik secara terbuka bebas karena
tidak ada pengaturan
pemanfaatannya.
Untuk alasan ini, peraturan perundang-undangan mungkin seharusnya juga memasukkan
tujuan pengembangankegiatan ekonomi, misalnya pariwisata dan perikanan. Dalam kasus
tersebut, konsep berkelanjutan sangat penting untuk diperkenalkan sejak awal dan dilaksanakan
dalam pengertian yang luas,
yaitu agar kegiatan tersebut berkelanjutan dari sudut pandang ekonomi dan
memastikan kegiatan tersebut tidak membahayakan jenis-jenisbiota lain, sumberdaya,
dan proses ekologis. Berbagai klausul tentangpemanfaatan secara berkelanjutan pada CBD dapat dipakai untuk merancangpengembangan kegiatan ekonomi.
Tujuan kegiatan lain yang bersifat non-ekonomi, seperti rekreasi,
pendidikan dan penelitian ilmiah, juga penting dan harus dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Kegiatan-kegiatan
ini adalah tujuan sekunder yang sesuai dengan tujuan utama konservasi.
1.1.6 Perubahan tujuan utama harus dilakukan oleh pengambil keputusan tertinggi yang bertanggungjawab atas peraturan perundang-undangan di negara tersebut
Perubahan tujuan utama konservasi, jika
diperlukan, harus dilakukan melalui prosedur yang setara dengan prosedur ketika
peraturan perundang-undangan diproses dan ditetapkan pertama kali.Guna mencegah
terkikisnya tujuan konservasi, cara terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan
menetapkan tujuan pengelolaan yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) dan terukur (measureable).Tujuan seperti itu harus
ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah. Salah
satu keuntungan dari adanya tujuan seperti itu adalah adanya peluang untuk menyesuaikan tujuan pengelolaan terhadap kebutuhan lokal di tempat-tempat yang
berbeda dan peluang untuk melakukan peninjauan terhadap kemajuan penggunaan
ijin di tingkat lokal.
1.1.7 Memastikan kerangka hukumkonsisten dengan tradisi bangsa
Bentuk dan isi peraturan perundang-undangan harus
konsisten dengan praktek hukum, kelembagaan dan sosial serta nilai-nilai yang
dianut masyarakat dan diatur dalam perundangan tersebut.
Kepemilikan yang diterima dan hak guna
wilayah laut yang akan dikelola merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan. Kepemilikan ini dapat berupa hak umum atau komunal maupun kepemilikan pribadi. Hak penangkapan ikan yang
lazim ditemukan memerlukan pertimbangan yang seksama. Peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
situasi pemilikan seperti ini yang seringkali akan menentukan dukungan masyarakat perhadap pengaturan tata ruang wilayah atau zonasidi dalam KKP.
Jika hukum tradisional dan praktek-praktekpengelolaan
sudah konsisten dengan tujuan akhir dan tujuan peraturan perundang-undangan konservasi,
keduanya harusdijunjung dan
dihormati setinggi mungkin. Pengakuan yang sama harus diterapkan
pada hukum tradisional tak tertulis yang dianut masyarakat
asli, dan terhadap tradisi terkini yang dipraktekkan masyarakat negara
tersebut. Jika praktek-praktek
masyarakat tersebut bertentangan dengan tujuan peraturan perundang-undangan (seperti
kasus yang terjadi umum pada
hak akses terbuka untuk menangkap ikan), program pendidikan dan penegakan hukumperlu dilakukan untuk mengubah situasi tersebut.
1.1.8 Perundangan harus sesuai dengan perspektif internasional
Banyak sekali biota laut muda dan mangsanya,
benih, tumbuhan laut dan bahan pencemarterbawa oleh sistem arus air, terkadang
hingga jarak yang jauh hingga mencapai batas perairan negara-negara lain.
Banyak sekali jenis hewan laut seperti paus besar, penyu, burung laut dan
beberapa jenis ikan, yang bermigrasi sangat jauh. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan dan kebijakan harus dirancang untuk mendukung kesepakatan dan komitmen
regional, internasional dan berbagai kesepakatan multilateral lain untuk
melindungi jenis-jenis biota tersebut. Rancangan peraturan perundang-undangan seperti ini harus
dapat memastikan bahwa inisiatif pengelolaanyang dilakukan oleh satu negara
tertentu tidak dianggap akan berdampak pada tindakan-tindakan yang diambil negara
lain.Kewajiban yang muncul dari kesepakatan internasional seperti UNCLOS dan
CBD sangat relevan untuk hal ini.
1.1.9 Perundangan harus menciptakan landasanhukum bagi lembaga yang akan menetapkan dan mengelolaKKP.
Peraturan perundang-undangan harus mengidentifikasi dan menetapkan
mekanisme kelembagaan. Perundangan juga harus menciptakan tanggung jawab,
akuntabilitas dan kapasitas spesifik bagi pengelola KKP. Hal ini diperlukan agar maksud, tujuan dan sasaran dari pembentukan KKP dapat
tercapai.
Perundangan harus menciptakan tanggung jawab
umum agar badan pemerintahan dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dan
administrasi lokal, dewan masyarakat desa tradisional, perorangan, kelompok,
dan berbagai perkumpulan dengan tujuan, sasaran dan tanggung jawab yang
selaras.
Jika pengelolaan ini berhasil, maka perselisihan
antar lembaga, pertentangan, hambatan maupun penundaan dapat diperkecil. Hal
ini akan membuat perundangan dan pengaturan pengelolaan
berkembang dari lembaga-lembaga yang ada, kecuali jika ada dukungan publik dan
politik yang luarbiasa terhadap
lembaga yang baru. Oleh karena
itu:
(1) Hindari konflik yang tidak perlu dengan perundangan dan administrasi
yang ada;
(2) Jika terjadi konflik dengan administratif dan perundangan yang tidak
dapat dihindari maka prosedur rekonsiliasi perlu diterapkan dan, jika
memungkinkan, carilah bagian dari perundangan yang dapat mencegah kejadian serupa di masa yang akan datang.
(3) Upayakan sesedikit mungkin
campur tangan terhadap
kegiatan atau praktek-praktek pemanfaatan berkelanjutan
yang telah berlangsung lama; dan
(4) Berdayakan staf dan sumberdaya teknis yang ada sesuai bidangnya.
Pilihan tentang
lembaga atau pejabat yang akan melibatkan diri dan bertanggungjawab pada KKP
adalah sangat penting. Lembaga pengelola taman nasional atau kawasan konservasi mungkin adalah
pilihan yang umum, namun jika lembaga tersebut kurang berpengalaman dalam menangani masalah
kelautan, atau hanya memiliki kemampuan yang terbatas dalam mempengaruhi kebijakan
pemerintah, maka hasilnya tidak
akan maksmum.
1.1.10 Perundangan harus menangani langsung koordinasi dan hubungan antara KKP dengan badan lain, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir dan hak penangkapan ikan
Perundangan harus menyediakan koordinasi
perencanaan dan pengelolaan oleh seluruh badan terkait dengan tanggung jawab
menurut undang-undang menyangkut KKP, apakah tanggung jawab tersebut
dilaksanakan di dalam atau di luar lingkup KKP, dengan tujuan memantapkan
landasan KKP dalam konteks perencanaan pesisir yang lebih luas.
Pengawasan harus dibuat untuk mendefinisikan
kejadian-kejadian penting dari bagian-bagian perundangan yang mungkin dapat
dilaksanakan di wilayah tersebut.
Badan yang memiliki tanggung jawab utama
terhadap KKP diwajibkan oleh perundangan untuk membuat kesepakatan dengan badan
lain yang relevan dan terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi KKP.
1.1.11 Perundangan harus mencakup pengawasan untuk mengendalikan kegiatan yang terjadi di luar KKP dan mungkin akan berimbas pada terhambatnya sumber daya, keistimewaan, maupun kegiatan dalam KKP.
Terkadang, tinggi-rendahnya batas permukaan perairan
merupakan batas wilayah hukum sebuah negara. Batas lain berada diantarawilayah KKP
dan wilayah laut yang bersebelahan. Sangat penting untuk mengadakan pendekatan
kolaboratif dan interaktif antara pemerintahan maupun badan yang wilayah hukumnya
tersebut bersebelahan. Idealnya adalah dengan memadukan tujuan dan pendekatan
dalam sistem pengelolaan wilayah pesisir formal di tiap negara dengan kerja
sama antar negara bersangkutan. Salah satu mekanisme untuk mencapai tujuan ini
adalah menyediakan perundangan yang umum agar semua organisasi yang bertanggung
jawab mengatur fungsi yang dampaknya dapat merusak KKP memiliki tugas umum
dalam berkontribusi terhadap tujuan KKP.
UNCLOS membuatnya menjadi tanggung jawab
tiap negara untuk melestarikan dan melindungi lingkungan laut secara
keseluruhan dan mencegah, mengurangi, serta mengendalikan pengaruh negatif
polusi dan kegiatan di daratan.
1.1.12 Undang-undang nasional harus mencakup hal berikut ini:
(1)
Penggunaan istilah
(2)
Rencana pengelolaan dan rencana
zonasi
(3)
Partisipasi publik
(4)
Penelitian pendahuluan dan survei
(5)
Penelitian, pemantauan dan
tinjauan ulang
(6)
Kompensasi
(7)
Pengaturan keuangan
(8)
Peraturan-peraturan
(9)
Penegakan hukum, insentif dan
hukuman
(10)
Pendidikan dan penyadartahuan
publik
1.2 Organisasi dan kewenangan pengelola kawasan konservasi perairan
1.2.1 Struktur organisasi KKP
Bagian ini merupakan penjelasan singkat untukmemandu
pembaca ketika menentukan struktur organisasi KKP, termasuk beberapa hal berikut ini:
1) Jenis struktur – siapa yang menjalankan kawasan dan
kewenangan yang dimilikinya;
2) Lingkup tanggung
jawab unit administratif;
3) Mengidentifikasi manajer dan staf ;
4) Membuat rencana administrasi untuk kawasan, termasuk mengidentifikasi mata
anggaran yang terpisah untuk kegiatan administrasi.
Sistem
administrasi dan struktur kelembagaan yang ada harus dapat menentukan posisi kelembagaan dan
sistem koordinasi untuk KKP. Apakah administrasi KKP akan berbasis
pada satu atau lebih
institusi?Jika lebih dari satu institusi yang dilibatkan,
bagaimana sistem koordinasi antar
kelembagaan tersebut akan bekerja?
Administrasi harus menjadi komponen dari
rencana pengelolaanKKP. Dalam beberapa kasus, KKP yang digunakan sebagai alat pengelolaan
perikanan tidak memerlukan dukungan administratif. Fungsi pemantauan, penegakan
hukum, dan komunikasi dapat dilaksanakan sebagai bagian pelaksanaan keseluruhan
dari rencana pengelolaan perikanan. Namun ada banyak KKP yang berdiri sendiri
dan memerlukan struktur administrasi sendiri.
Rencana administrasi termasuk penilaian
kinerja dan tujuan (yang konsisten dengan tujuanKKP) harus dikembangkan dan mengidentifikasi
kegiatan dan fungsi spesifik agar rencana dapat berjalan baik. Rencana tersebut
harus mencakup struktur organisasi, pengelolaan kepegawaian, pelatihan, fasilitas dan peralatan, serta
anggaran dan pembiayaan. Rencana administrasi dapat dilaksanakan secara penuh
pada tahun pertama operasional (jika dananya tersedia), atau bertahap dalam
beberapa tahun. Pada tahun pertama, kegiatan administrasi hanya akan melibatkan beberapa orang manager atau staf KKP yang melaksanakan berbagai
fungsi, mulai dari pengkajian sumberdaya hingga penegakan hukum sampai
pengelolaan kantor dan pendidikan atau penyuluhan untuk masyarakat.
1.2.2 Fungsi organisasi KKP
Fungsi-fungsi administrasi yang ada
diKKP mencakup beberapa hal berikut ini:
1) Menulis dan menafsirkan peraturan yang menyangkut KKP.
2) Menerbitkan, memperbaharui, dan mengakhiri perijinanpada berbagai
kegiatan di dalam KKP.
3) Melakukan komunikasi
tentang KKP.
4) Mengumpulkan dana dari para pengguna, mengelola pemasukan dan pengelolaan keuangan.
5) Mengelola pegawai
termasuk perekrutan, pelatihan, evaluasi kinerja, dan penghentian pegawai yang berkinerja buruk. Pengelolaan kepegawaian diterapkan juga kepada pegawai yang diberi upah dan para relawan.
6) Mengelola kekayaan
atau asset fisik, seperti bangunan kantor, peralatan teknologi informasi
(misal, komputer), dan fasilitas
lainnya, seperti kapal.
7) Mengurus catatan kegiatan KKP, seperti ijin untuk menggunakan KKP,
pengumpulan biaya, kasus pelanggaran, peraturan, dll. Catatan tersebut harus
diterima publik kecuali disebutkan sebaliknya untuk melindungi privasi untuk pegawai
dan informasi sensitif yang memengaruhi persaingan bisnis, dan
8) Memantau dan mengevaluasi kinerja KKP.
KKP dikelola dalam berbagai pengaturan
administratif. Tiga pengaturan administratif yang paling umum adalah
sentralisasi (diatur pemerintah), berbasis masyarakat (diatur secara lokal),
dan pengelolaan kolaboratif (atau co-management).
Perbedaan diantara ketiganya berkaitan dengan tingkat peran atau partisipasi
pemangku kepentingan (stakeholders) dalam
pengaturan administratif, lokasi kewenangan serta tanggung
jawabpengelolaan. Pengaturan administratif akan berubah sesuai dengan waktu dan
perkembangan kematangan KKP.
Pemerintah harus bertanggung jawab penuh
terhadap pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kuasa atas administrasi KKP. Namun ada beberapa situasi dimana administrasi KKP
menjadi tidak efektif karena kurang berpengalaman dalam menangani KKP atau tidak memiliki sumber daya yang
memadai. KKP memerlukan pertolongan
terus-menerus yang mungkin diluar batas kemampuan instansi
pemerintahan. Kemampuan instansi-instansi pemerintahan juga belum tentu sesuai untuk melaksanakan
tanggungjawabnya, atau ada pertentangan di antara sesama instansi pemerintahan.
Dewan penasihat dibentuk untuk memberi
petunjuk tentang perencanaan lokasi dan pengelolaanKKP. Dewan ini dapat berfungsi
sebagai penasihat dalam pembuatan dan persetujuan rencana kerja dan anggaran serta
evaluasi kemajuan atau perkembangan pengelolaan. Komposisi dewan penasihat dapat
berasal dari masyarakat lokal, pemimpin-pemimpin lokal, instansi pemerintah,
dan pejabat-pejabat terpilih. Dewan ini mungkin akan lebih aktif dalam proses pengambilan
keputusan KKPyang menerapkan sistem pengelolaan berbasis masyarakat dan pengelolaan
kolaboratif.
Pengelolaan berbasis masyarakat memerlukan
institusi lokal dan masyarakat yang mampu mengembangkan dan melaksanakan
peraturan. Untuk keperluan ini, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal
dapat dibentuk. Semuanya akan terlibat langsung dengan masyarakat dan pihak-pihak
berwenang yang diakui pemerintah. Dewan
Penasihat, pengelola KKP dan LSM ketiganya akan menjadi wahana yang bagus untuk
menyalurkan dukungan pembiayaan terhadap KKP.
1.2.2.1 Jenis dan fungsi organisasi pengelolaan kolaboratifKKP
Jika pengelolaan kolaboratifmerupakan jenis pengelolaan
yang dipilih untuk KKP,maka harus ada organisasi yang relatif stabil untuk bertanggung
jawab terhadap keseluruhan program pengelolaan kolaboratifKKP. Organisasipengelolaan
kolaboratifdidirikan dengan tanggung jawab mengatur KKP dan menjaga
kelangsungan program pengelolaan kolaboratifKKP—termasuk rencana dan
kesepakatan—selama waktu pelaksanaan. Organisasi tersebut memerlukan kombinasi tanggung
jawab antara pengambilan keputusan, penasihat, operasional, dan koordinasi.
Organisasi tersebut juga harus merupakan badan permanen.
Ada berbagai jenis dan fungsi organisasi pengelolaan
kolaboratifKKP sesuai dengan situasi yang ada:
1) Badan Eksekutif bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
rencana dan kesepakatan berdasarkan keputusan yang dibuat oleh badan lain,
misalnya perkumpulan bisnis lokal yang bertanggung jawab untuk melaksanakan proyek
hasil negosiasi di antara direktur kawasan konservasi dengan masyarakat di
sekitarnya.
2) Badan Pengambil Keputusan bertanggung jawab
penuh terhadap pengelolaan kawasan, wilayah, maupun sumber daya terkait,
misalnya dewan pengelolaan kolaboratifyang bertanggung jawab di wilayah tertentu.
3) Dewan Penasehat bertanggung jawab untuk
memberi masukan pada para pengambil keputusan, misalnya Dewan Pesisir yang
berhubungan langsung dengan pihak berwenang di tingkat wilayah yang diberi
mandat melakukan pengelolaansumber daya.
4) Dewan Gabungan memiliki sebagian tanggung
jawabpengelolaan dan separuhnya sebagai penasehat, misalnya Komisi Penasehat/Pengelolaan
bertanggung jawab untuk memberi masukan terhadap Direktur Taman Laut atas keputusan
yang diambil untuk pengelolaan taman laut tersebut namun bertanggung jawab
penuh terhadap keputusan dan kegiatan berkenaan dengan wilayah dan
sekelilingnya.
Pemangku kepentingan ini dapat memutuskan
untuk mendirikan beberapa organisasi pengelolaan kolaboratif, misalnya badan
penasehat dan badan pengelolaan.
Yang termasuk fungsi organisasi pengelolaan
kolaboratifKKP adalah:
1) Pengelolaan konflik untuk membahas dan
menyelesaikan konflik diantara para pemangku kepentingan;
2) Pembuatan kebijakan untuk mencegah konflik dalam
menerjemahkan rencana dan kesepakatan menjadi sejumlah peraturan dan sanksi yang
sesuai;
3) Pelaksanaan untuk memastikan strategi pengelolaanditerapkan
sesuai dengan dengan alokasi danadan menugaskan beberapa orang untuk
melaksanakan kegiatan yang berbeda;
4) Pemantauan untuk mengukur hasil dan dampak dari
strategi pengelolaan;
5) Membuat revisi rencana dan kesepakatan pengelolaan kolaboratifuntuk menjaga dan memperbarui rencana dan kesepakatan;
6) Pembiayaan dan penggalangan dana;
7) Pengumpulan informasi dan data serta analisis;
8) Pendidikan;
9) Penelitian.
KKP dipimpin oleh seorang manajer yang sebaiknya
adalah tenaga profesional yang bekerja penuh. Manajer KKP juga akan berfungsi
sebagai perencana, administrator, penghubung masyarakat, ilmuwan dan politisi.
Manajer harus bertanggung jawab untuk mencapai tujuan pengelolaan melalui
penggunaan dana, pemberdayaan staf dan peralatan secara efisien.
Jumlah staf KKP tergantung pada situasi di mana
program KKP dilaksanakan. Staf harus sudah melalui tahapan pelatihan dengan
baik. Mengelola KKP secara efektif memerlukan pemahaman mengenai sumber daya
yang dilindungi, harus memahami bagaimana penduduk setempat, dan mampu bekerja
dan berkomunikasi dengan mereka dan juga pengunjung, serta kompeten untuk
bidang tertentu. Di Indonesia, persiapan
para manajer dan staf KKP di antaranya dilakukan melalui pelatihan Dasar-Dasar
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (yang dikenal dengan nama pelatihan
MPA101). Staf harus memiliki peralatan
khusus minimum untuk melaksanakan tugas, seperti perahu, teropong, radio,
komputer, dan lain-lain.
Sumber:
PUSLATKP, 2014.
MODUL A.033101.003.01 Melakukan Kegiatan Persiapan Awal
Perencanaan pada Pelatihan Perencanaan
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan,
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
No comments:
Post a Comment