Produksi Perikanan Indonesia Duduki Peringkat Empat Dunia
Rabu, 10 Agustus 2011
04:35 |
Indonesia adalah negara yang memiliki produksi perikanan tangkap
terbesar ke-4 dunia setelah China, Peru, Amerika Serikat, dan Chile."Akan
tetapi dari sisi jumlah, produksi Indonesia masih tergolong kecil yakni 5,05
persen dari total perikanan tangkap dunia yang mencapai 95 juta ton," kata
Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi DKP Soen'an H. Poernomo, dalam siaran
persnya diterima ANTARA di Padang, Senin.
Soen'an menyampaikan hal itu mengutip sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad pada acara Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-III yang digelar Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB di Bogor, baru-baru ini.
Kecilnya jumlah produksi tangkap dari rata-rata total perikanan tangkap atau baru 5,05 persen itu terkait subsektor ini masih terkendala oleh beberapa permasalahan antara lain ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya Indonesia (SDI) antar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), armada perikanan tangkap nasional yang masih didominasi armada skala kecil.
Selain itu terkendala juga belum optimalnya dukungan infrastruktur pelabuhan perikanan baik dari sisi jumlah maupun kelengkapan fasilitas serta rendahnya dukungan lembaga keuangan dan akses nelayan terhadap
"Karena itu sejumlah kegiatan pendukung perlu terus digencarkan antara lain pemanfaatan SDI berbasis WPP yang optimal, berimbang, dan lestari atau sesuai visi DKP," katanya.
Langkah itu ditempuh melalui beberapa kegiatan yakni mengoptimalkan pemanfaatan SDI di WPP yang masih "underfishing" (sedikit pemanfaatan untuk perikanan tangkap) dengan pengembangan sarana dan prasarana di wilayah tersebut, mengoptimalkan pemanfaatan potensi SDI di perairan umum daratan (PUD), seperti danau, waduk dan lainnya.
Disamping itu perlunya upaya peningkatan kesadaran seluruh pihak-pihak yang berkepentingan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDI serta mematuhi seluruh peraturan yang berlaku. (ant/bar)
Sumber :
http://www.kapanlagi.com/h/produksi-perikanan-indonesia-duduki-peringkat-empat-dunia.html
9 November 2009
Sumber Gambar:
http://www.pikiran-rakyat.com/foto/tgl_18_01_2009/ikano.jpg
Soen'an menyampaikan hal itu mengutip sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad pada acara Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-III yang digelar Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB di Bogor, baru-baru ini.
Kecilnya jumlah produksi tangkap dari rata-rata total perikanan tangkap atau baru 5,05 persen itu terkait subsektor ini masih terkendala oleh beberapa permasalahan antara lain ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya Indonesia (SDI) antar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), armada perikanan tangkap nasional yang masih didominasi armada skala kecil.
Selain itu terkendala juga belum optimalnya dukungan infrastruktur pelabuhan perikanan baik dari sisi jumlah maupun kelengkapan fasilitas serta rendahnya dukungan lembaga keuangan dan akses nelayan terhadap
"Karena itu sejumlah kegiatan pendukung perlu terus digencarkan antara lain pemanfaatan SDI berbasis WPP yang optimal, berimbang, dan lestari atau sesuai visi DKP," katanya.
Langkah itu ditempuh melalui beberapa kegiatan yakni mengoptimalkan pemanfaatan SDI di WPP yang masih "underfishing" (sedikit pemanfaatan untuk perikanan tangkap) dengan pengembangan sarana dan prasarana di wilayah tersebut, mengoptimalkan pemanfaatan potensi SDI di perairan umum daratan (PUD), seperti danau, waduk dan lainnya.
Disamping itu perlunya upaya peningkatan kesadaran seluruh pihak-pihak yang berkepentingan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDI serta mematuhi seluruh peraturan yang berlaku. (ant/bar)
Sumber :
http://www.kapanlagi.com/h/produksi-perikanan-indonesia-duduki-peringkat-empat-dunia.html
9 November 2009
Sumber Gambar:
http://www.pikiran-rakyat.com/foto/tgl_18_01_2009/ikano.jpg
Kalsel Pasok 20 ton Patin ke DKI Jakarta
TRIBUN
KALTENG - SENIN, 19 SEPTEMBER 2011 | 11:02 WIB
ist
Ikan patin
TRIBUNKALTENG.COM, BANJARMASIN -Menindaklanjuti kunjungan Menteri Kelautan dan
Perikanan, Fadel Muhammad ke Kalsel bulan lalu, Dinas Perikanan dan Kelautan
Kalsel menyetujui pengiriman 20 ton patin per hari ke DKI Jakarta. Pengiriman
sudah dilakukan sejak kemarin, Minggu (18/9/2011).
Kebijakan itu dilakukan karena Kementerian Kelautan menyetop impor patin dari Vietnam dan Thailand ke Jakarta. Sementara untuk DKI Jakarta, kebutuhan patin per tahun sebanyak 300.000 ton.
"Untuk di Kalsel, produksi patin kita per tahun 60.000 ton dan konsumsi ikan 37 kg per tahun per kapita. 37 kg ini angka gabungan semua ikan yang kita konsumsi, bukan khusus patin saja. Jadi, kalau kita mengirim ke Jakarta bisa saja, setok kita tidak terganggu," kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Isra via telepon genggamnya, Senin (19/9/2011) pagi.
Patin yang dikirim ke Jakarta, berasal dari para petani dan pembudidaya ikan di Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Tengah, Tabalong dan daerah-daerah penghasil patin lainnya. Terbanyak dari Kabupaten Banjar karena ada minapolitan (kawasan budidaya ikan) di sana.
(Yayu/tribunkalteng)
§ PENULIS : YAYU
§ EDITOR : DIDIK_TRIO
Jadi Fondasi Rumah
TRIBUN
KALTENG - KAMIS, 3 NOVEMBER 2011 | 05:40 WIB
Dok. ilustrasi
TRIBUNKALTENG.COM, BANJARMASIN - SEDIKITNYA 264
hektare kawasan terumbu karang di Kalsel mengalami kerusakan. Selain
Tanahbumbu, kerusakan terparah terjadi di Kotabaru yakni kawasan Teluk Tamiang.
"Selama ini kami tidak punya kewenangan apa apa meski terumbu karangnya rusak. Itu pengawasannya murni daerah. Karena itu sebaiknya dijadikan lahan Konservasi laut sehingga kami (provinsi bisa ikut menjaganya," kata Ketua Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel, Rahmadi Kurdi, Rabu (2/11).
Penyebab kerusakan kawasan yang menjadi habitat biota laut itu diduga karena pencemaran lingkungan seperti adanya serpihan batu bara dan penangkapan ikan menggunakan cara-cara ilegal seperti setrum atau bom ikan. Keberadaan pelsus (pelabuhan khusus) di kawasan tersebut juga disebut sebut sebagai pemicunya.
Informasi yang diperoleh BPost dari Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru, Mada Santoso, ada empat lokasi yang berstatus kawasan konservasi laut daerah (KKLD) atau daerah perairan potensial terumbu karang.
Empat lokasi itu adalah perairan di Kecamatan Pulau Sembilan, Pulaulaut Barat, Pulaulaut Kepulauan dan Pulaulaut Selatan. Total luas zona KKLD adalah 186.679,28 hektare, yang memiliki 26 jenis terumbu karang baik keras maupun lunak. "Bentuk khasnya adalah meja, lembaran, tanduk, dan otak. Selain juga ada jenis terumbu karang bercabang," kata Mada.
Mengenai kerusakan, dia mengakui terjadi di Pulaulaut Barat yakni perairan Tanjung Kunyit dan Tanjung Pelayar. Juga di Pulaulaut Selatan yakni perairan Pulau Kerayaan, Pulau Kerasian, dan Pulau Keramputan. Tidak hanya itu. Terumbu karang di Pulau Marabatuan, Pulau Sembilan, juga banyak mengalami kerusakan.
Apa penyebabnya? Mada menyebut adanya kegiatan pengambilan karang untuk dijadikan fondasi rumah atau penahan gelombang dan pemanasan global yang mengubah suhu air.
"Kalau karena pencemaran seperti batu bara belum bisa dipastikan. Tentang kerusakan terumbu karang akibat tongkang batu bara yang kandas di perairan Teluk Tamiang, sudah diperbaiki pemilik tongkang," katanya.
Selain itu, imbuh Mada, dinasnya juga melakukan transplantasi (penanaman) kembali terumbu karang di lokasi kerusakan terutama zona KKLD. "Tentunya kami juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar ikut kelestarian terumbu karang," ucapnya.
§ EDITOR : EDINAYANTI
http://www.suarapembaruan.com/
Kadin Curhat Pembiayaan dan Logistik ke Menteri Kelautan
Jumat, 4 November 2011 |
17:15
Sharif Cicip Sutardjo
[google]
[JAKARTA] Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin) mengeluhkan berbagai permasalahan terutama terkait dengan hal
pembiayaan dan logistik kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip
Sutardjo.
Wakil Ketua Umum Kelautan dan Perikanan Kadin Yugi Prayanto mengemukakan hal tersebut ketika memimpin rombongan Kadin menemui Menteri Kelautan dan Perikanan di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Jumat.
"Sekarang ini pembiayaan bunga bank untuk perikanan sama dengan properti," kata Yugi Prayanto.
Menurut dia, tidak mungkin akan semakin banyak pengusaha yang tertarik di bidang perikanan bila bunga banknya setara dengan bidang properti.
Selain itu, lanjutnya, permasalahan lainnya adalah permasalahan logistik bidang perikanan seperti masih kurangnya pembangunan "cold storage" di sejumlah daerah.
Yugi mengemukakan, bila terjadi kekurangan "cold storage" maka akan semakin banyak kemungkinan para nelayan akan menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan mereka.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Tetap Industri Akuakultur Kadin, Benny Laos mengatakan, pihak KKP seharusnya melakukan pembatasan ekspor terhadap beberapa jenis ikan utuh.
"Yang boleh diekspor hanya ikan yang telah diproses semua," kata Benny.
Senada dengan Yugi, Benny juga mempermasalahkan kekurangan infrastruktur di kawasan pesisir sehingga menginginkan adanya pendirian semacam badan pembinaan nelayan di setiap desa nelayan.
Ia juga
menginginkan adanya kesamaan visi yang jelas antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Menanggapi keluhan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, pada saat ini upaya yang akan dilakukan adalah melestarikan kawasan perairan dengan tujuan meningkatkan serta menjaga populasi ikan.
Selain itu, Cicip juga mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan upaya-upaya untuk memodernisasi nelayan antara lain dengan menghilangkan kekhawatiran mereka dalam hal pembiayaan.
Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengatakan akan memperhatikan proses industrialisasi perikanan agar berbagai input hasil tangkapan nelayan akan selalu memiliki nilai tambah.
"Dalam 1-2 bulan mendatang saya akan membebeberkan secara detil konsep yang jelas, membumi, dan realistis," katanya. [Ant/L-9]
http://www.suarapembaruan.com/
Tanpa Langkah Penyelamatan, Danau Tondano Bakal Jadi Daratan pada
2033
Sabtu, 5 November 2011 |
8:43
Danau Tondano [google]
[MINAHASA] Danau Tondano
dengan luas 4.900 hektar yang terletak di Tondano Kabupaten Minahasa (sekitar
45 km sebelah Tengara Kota Manado) Provinsi Sulut, diperkirakan akan menjadi
daratan pada tahun 2033. Hal itu terjadi kalau eceng gondok yang memenuhi danau
tidak diangkat dan kebiasan warga membuang sampah di danau tidak segera di
atasi.
Hal tersebut dikatakan Prof Dr Treesje Londa Msi Ketua Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Negeri Manado disela-sela "Simposium Danau Tondano" Jumat (4/11) petang di Tondano. Dalam Simposium, yang dilaksanakan berkaitan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-583 Kabupaten Minahasa pada Sabtu (5/11) ini, hadir juga pembicara Bupati Minahasa Drs Vreyke Runtu , Prof Dr Ir Deasy Mantiri DEA Pakar Kelautan dan Perikanan dari Universitas Sam Ratulangi, Prof Dr Yong Ohoytimur dari Sekolah Tinggi Filsafat Pineleng, dan Dra Meity Tanor MSi ahli lingkungan dari Unima dan dari PT Freeport yang membagi pengalaman dalam mengatasi kerusakan lingkungan.
Prof Londa mengatakan, dari penelitianya sejak tahun 1939 hingga tahun 2000 terus terjadi pendangkalan dari 45 meter kedalaman danau hingga tinggal 14 meter saat ini."Ini memprihatinkan kalau kika tidak lakukan langkah pencegahan dengan menanam pohon dan langkah yang lain,"kata Londa.
Menurutnya, pendangkakan terjadi karena banyaknya lumpur dan juga munculnya eceng gondok di danau saat ini. Hal yang lain juga dikatakan Prof Dr Deasy Mantiri. Menurutnya, kondisi danau yang banyak eceng gondok telah menurunkan kualitas ikan di Danau Tondano. Karena itu, perlu ada aturan atau ditata lokasi untuk beternak ikan. Sebab kalau sembarangan, itu jelas akan berdampak buruk bagi petani,"Jadi ikan-ikan harus kita pelihara, namun bukan secara sembarangan," katanya.
Sementara Prof Dr Yong Ohoitimur menekankan pentingnya meningatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga danau ini. Kalau tidak, akan berdampak pada pembangunan karena Danau ini dimanfatkan untuk Pembangkit Listrik. [136]
Hal tersebut dikatakan Prof Dr Treesje Londa Msi Ketua Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Negeri Manado disela-sela "Simposium Danau Tondano" Jumat (4/11) petang di Tondano. Dalam Simposium, yang dilaksanakan berkaitan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-583 Kabupaten Minahasa pada Sabtu (5/11) ini, hadir juga pembicara Bupati Minahasa Drs Vreyke Runtu , Prof Dr Ir Deasy Mantiri DEA Pakar Kelautan dan Perikanan dari Universitas Sam Ratulangi, Prof Dr Yong Ohoytimur dari Sekolah Tinggi Filsafat Pineleng, dan Dra Meity Tanor MSi ahli lingkungan dari Unima dan dari PT Freeport yang membagi pengalaman dalam mengatasi kerusakan lingkungan.
Prof Londa mengatakan, dari penelitianya sejak tahun 1939 hingga tahun 2000 terus terjadi pendangkalan dari 45 meter kedalaman danau hingga tinggal 14 meter saat ini."Ini memprihatinkan kalau kika tidak lakukan langkah pencegahan dengan menanam pohon dan langkah yang lain,"kata Londa.
Menurutnya, pendangkakan terjadi karena banyaknya lumpur dan juga munculnya eceng gondok di danau saat ini. Hal yang lain juga dikatakan Prof Dr Deasy Mantiri. Menurutnya, kondisi danau yang banyak eceng gondok telah menurunkan kualitas ikan di Danau Tondano. Karena itu, perlu ada aturan atau ditata lokasi untuk beternak ikan. Sebab kalau sembarangan, itu jelas akan berdampak buruk bagi petani,"Jadi ikan-ikan harus kita pelihara, namun bukan secara sembarangan," katanya.
Sementara Prof Dr Yong Ohoitimur menekankan pentingnya meningatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga danau ini. Kalau tidak, akan berdampak pada pembangunan karena Danau ini dimanfatkan untuk Pembangkit Listrik. [136]
http://www.suarapembaruan.com/
Nila Salin Mampu Hidup di Air Asin
Selasa, 29 November 2011 |
14:51
Ikan Nila
Salin toleran terhadap salinitas 20 ppt. SP/Ari Supriyanti Rikin
Berita Terkait
[JAKARTA] Untuk menjawab tantangan perubahan iklim global dan
degradasi lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ikan, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil berinovasi menghasilkan ikan nila salin
yang toleran terhadap salinitas atau tingkat keasinan air lebih dari 20 ppt
(perairan payau).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan konsumsi paling populer dan layak dikembangkan sebagai sumber protein masyarakat. Namun lahan budidaya di perairan air tawar cenderung menyempit akibat desakan pemanfaatan lahan untuk industri dan pemukiman. Sementara itu sekitar 30-40 persen dari total 1,2 juta hektar lahan pertambakan dalam kondisi terlantar dan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Menjawab hal itu, Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar mengatakan BPPT berhasil melakukan inovasi teknologi terhadap tiga produk yakni ikan nila salin unggul, pakan suplemen protein rekombinan pertumbuhan dan vaksin DNA Streptococcus. Tiga produk tersebut saat ini memasuki proses sertifikasi sehingga nantinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Nila salin menjadi jalan keluar budidaya ikan yang bisa memanfaatkan perairan dengan salinitas tinggi. Karena kita ingin memanfaatkan tambak-tambak yang terlantar dengan keunggulan nila salin yang tahan terhadap salinitas air di atas 20 ppt sehingga dapat dibudidaya di dekat pantai karena intrusi air laut atau kondisi air seperti Jakarta dimana salinitas lebih dari normal," katanya saat soft launching ikan nila salin, protein rekombian pertumbuhan dan vaksin DNA Streptococcus di Jakarta, Selasa (29/11).
Hadir dalam soft launching nila salin adalah Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Listyani Wijayanti. Menurut Listyani, rasa nila salin setelah dimasak jauh lebih lezat dibanding ikan nila air tawar atau bahkan mujair.
Perekayasa Biologi dan Budidaya Ikan BPPT Husni Amarullah menjelaskan bibit nila salin diperoleh dari seleksi nila sifat unggul melalui metode diallel crossing untuk mengetahui bibit yang tahan salinitas tinggi. Konsep desain nila salin tambah Husni dimulai tahun 2008, sedangkan diallel crossing dilakukan tahun 2009 dengan pengujian salinitas 10 ppt dan tahun 2010 salinitas 20 ppt.
"Keunggulan nila salin selain kuat menghadapi salinitas tinggi juga panen lebih cepat. Jika menebar bibit berukuran 5-10 cm bobot 250 gram dicapai dalam waktu 3-4 bulan atau jika ingin 600 gram bisa ditambah tiga bulan lagi. Sedangkan mujair dalam waktu 3-4 bulan hanya berbobot 100 gram saja," ungkapnya.
Selain dibutuhkan bibit nila salin unggul, budidaya nila salin juga harus didukung penyiapan pakan suplemen protein rekombinan pertumbuhan untuk pemacuan pertumbuhan nila salin. Sedangkan untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri Streptococcus nila salin diberi vaksin DNA Streprococcus supaya tahan terhadap serangan bakteri tersebut.
Husni menambahkan, ikan nila salin yang terkena penyakit dari bakteri Streptococcus ini berciri bintik-bintik di kulit ikan, mata keluar dan bengkak.
Terkait ketersediaan pakan suplemen protein rekombian, Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian BPPT Nenie Yustiningsih menyatakan pakan tersebut merupakan suplemen yang ditambahkan ke dalam pakan ikan. Formula protein pakan pertumbuhan itu harus diproduksi oleh industri, barulah pembudidaya ikan mencampurkannya ke pakan ikan.
Dalam acara soft launching itu BPPT juga melakukan penandatanganan nota kerja sama (MoU) dengan Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah tentang penerapan teknologi produksi benih ikan nila unggul, dengan Ketua Koperasi Gerakan Pengembangan Perikanan Pantai Utara (Gapura) Perhimpunan Petani Tambak Pantura Karawang Endi Muchtaruddin tentang inovasi teknologi produksi ikan salin dalam rangka peningkatan produktivitas nila Salin.
Kerja sama juga dilakukan antara BPPT dengan Direktur PT Nuansa Ayu Karamba Martin tentang uji coba pemanfaatan pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) dan vaksin Steptococcus pada pembudidayaan ikan nila salin sistem karamba jaring apung di perairan laut. [R-15]
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan konsumsi paling populer dan layak dikembangkan sebagai sumber protein masyarakat. Namun lahan budidaya di perairan air tawar cenderung menyempit akibat desakan pemanfaatan lahan untuk industri dan pemukiman. Sementara itu sekitar 30-40 persen dari total 1,2 juta hektar lahan pertambakan dalam kondisi terlantar dan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Menjawab hal itu, Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar mengatakan BPPT berhasil melakukan inovasi teknologi terhadap tiga produk yakni ikan nila salin unggul, pakan suplemen protein rekombinan pertumbuhan dan vaksin DNA Streptococcus. Tiga produk tersebut saat ini memasuki proses sertifikasi sehingga nantinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Nila salin menjadi jalan keluar budidaya ikan yang bisa memanfaatkan perairan dengan salinitas tinggi. Karena kita ingin memanfaatkan tambak-tambak yang terlantar dengan keunggulan nila salin yang tahan terhadap salinitas air di atas 20 ppt sehingga dapat dibudidaya di dekat pantai karena intrusi air laut atau kondisi air seperti Jakarta dimana salinitas lebih dari normal," katanya saat soft launching ikan nila salin, protein rekombian pertumbuhan dan vaksin DNA Streptococcus di Jakarta, Selasa (29/11).
Hadir dalam soft launching nila salin adalah Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Listyani Wijayanti. Menurut Listyani, rasa nila salin setelah dimasak jauh lebih lezat dibanding ikan nila air tawar atau bahkan mujair.
Perekayasa Biologi dan Budidaya Ikan BPPT Husni Amarullah menjelaskan bibit nila salin diperoleh dari seleksi nila sifat unggul melalui metode diallel crossing untuk mengetahui bibit yang tahan salinitas tinggi. Konsep desain nila salin tambah Husni dimulai tahun 2008, sedangkan diallel crossing dilakukan tahun 2009 dengan pengujian salinitas 10 ppt dan tahun 2010 salinitas 20 ppt.
"Keunggulan nila salin selain kuat menghadapi salinitas tinggi juga panen lebih cepat. Jika menebar bibit berukuran 5-10 cm bobot 250 gram dicapai dalam waktu 3-4 bulan atau jika ingin 600 gram bisa ditambah tiga bulan lagi. Sedangkan mujair dalam waktu 3-4 bulan hanya berbobot 100 gram saja," ungkapnya.
Selain dibutuhkan bibit nila salin unggul, budidaya nila salin juga harus didukung penyiapan pakan suplemen protein rekombinan pertumbuhan untuk pemacuan pertumbuhan nila salin. Sedangkan untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri Streptococcus nila salin diberi vaksin DNA Streprococcus supaya tahan terhadap serangan bakteri tersebut.
Husni menambahkan, ikan nila salin yang terkena penyakit dari bakteri Streptococcus ini berciri bintik-bintik di kulit ikan, mata keluar dan bengkak.
Terkait ketersediaan pakan suplemen protein rekombian, Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian BPPT Nenie Yustiningsih menyatakan pakan tersebut merupakan suplemen yang ditambahkan ke dalam pakan ikan. Formula protein pakan pertumbuhan itu harus diproduksi oleh industri, barulah pembudidaya ikan mencampurkannya ke pakan ikan.
Dalam acara soft launching itu BPPT juga melakukan penandatanganan nota kerja sama (MoU) dengan Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah tentang penerapan teknologi produksi benih ikan nila unggul, dengan Ketua Koperasi Gerakan Pengembangan Perikanan Pantai Utara (Gapura) Perhimpunan Petani Tambak Pantura Karawang Endi Muchtaruddin tentang inovasi teknologi produksi ikan salin dalam rangka peningkatan produktivitas nila Salin.
Kerja sama juga dilakukan antara BPPT dengan Direktur PT Nuansa Ayu Karamba Martin tentang uji coba pemanfaatan pakan protein rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) dan vaksin Steptococcus pada pembudidayaan ikan nila salin sistem karamba jaring apung di perairan laut. [R-15]
Impor
Ikan, Manfaat Versus Petaka
Selasa, 6 Desember 2011 | 08:07 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Impor ikan adalah opsi terakhir. Demikian
penegasan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo terkait
kebijakan membuka keran impor ikan bagi kepentingan industrialisasi perikanan.
Pernyataan itu boleh jadi melegakan kalangan industri pengolahan ikan di Tanah Air yang kerap kekurangan bahan baku. Utilitas pabrik pengolahan ikan saat ini rata-rata kurang dari 50 persen. Tahun ini, tak sedikit pula pabrik pengolahan ikan dan udang yang bangkrut dengan berbagai sebab.
Namun, benarkah instrumen impor ikan adalah opsi pamungkas yang tepat untuk mengatasi kekurangan bahan baku?
Dalam periode 2009-2014, pemerintah menargetkan peningkatan produksi ikan, baik tangkap maupun budidaya. Jika tahun 2009 produksi perikanan tangkap diproyeksikan 5,38 juta ton, tahun 2014 diperkirakan mencapai 5,5 juta ton.
Sementara itu, produksi perikanan budidaya bahkan ditargetkan naik sampai 353 persen, yakni dari 4,78 juta ton pada tahun 2009 menjadi 16,89 juta ton pada tahun 2014.
Untuk mendukung kenaikan produksi, pemerintah menggulirkan dana stimulus senilai triliunan rupiah, berupa paket bantuan benih ikan, program bantuan 1.000 kapal nelayan guna mendorong daya jelajah dan hasil tangkapan ikan, serta penyaluran kredit usaha rakyat dari perbankan.
Di tengah upaya menggenjot produksi perikanan, masalah kekurangan bahan baku industri pengolahan belum menunjukkan titik terang. Desakan impor ikan terus muncul dari kalangan industri pengolahan.
Hasil tangkapan ikan yang musiman, yakni panen dan paceklik pada bulan-bulan tertentu, hingga kini belum direspons dengan pembenahan sistem logistik perikanan. Selama puluhan tahun negara mengelola sektor kelautan dan perikanan, tidak ada sistem penyimpanan dan pengangkutan ikan yang memadai dari sentra produksi menuju industri pengolahan.
Potensi hasil tangkapan ikan yang masih banyak di wilayah Indonesia bagian timur belum terdistribusi optimal untuk mengisi kebutuhan industri olahan. Bahkan, sejumlah nelayan di wilayah Maluku Tenggara terpaksa membuang ikan hasil tangkapan akibat tidak terserap pedagang dan industri olahan.
Timbul kesan, tidak ada desain pengolahan ikan yang terencana dan sejalan dengan produksi ikan.
Belakangan ini, hampir semua gudang penyimpanan ikan penuh terisi dengan hasil tangkapan nelayan yang berlimpah. Berbarengan dengan itu, produk impor ikan mulai masuk. Izin impor ikan yang diurus berbulan-bulan lalu oleh importir, baru masuk pada bulan-bulan ini. Harga ikan pun jatuh.
Ironisnya, impor ikan sebagai ”amunisi terakhir” kerap diwarnai penyalahgunaan, berupa izin impor ikan yang dipermainkan ataupun produk ikan ilegal. Produk ikan impor yang seharusnya untuk bahan baku pengolahan bocor membanjiri pasar lokal. Celakanya, produk ikan ilegal ditemukan mengandung formalin dan zat berbahaya.
Masih teringat beberapa bulan lalu, kasus ikan kembung, ikan lele, dan ikan teri ilegal yang menyusup ke Indonesia melalui wilayah perbatasan di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Ikan impor asal Malaysia dan China itu ditemukan mengandung penyakit berbahaya dan formalin.
Merembesnya produk impor ikan ilegal tidak hanya membahayakan kesehatan konsumen. Hasil jerih payah nelayan dan pembudidaya terpuruk oleh ikan impor berharga murah yang membanjiri pasar domestik. Apalagi isu ikan impor mengandung formalin dan penyakit berbahaya tadi membuat konsumen, sementara menolak mengonsumsi ikan.
Pernyataan itu boleh jadi melegakan kalangan industri pengolahan ikan di Tanah Air yang kerap kekurangan bahan baku. Utilitas pabrik pengolahan ikan saat ini rata-rata kurang dari 50 persen. Tahun ini, tak sedikit pula pabrik pengolahan ikan dan udang yang bangkrut dengan berbagai sebab.
Namun, benarkah instrumen impor ikan adalah opsi pamungkas yang tepat untuk mengatasi kekurangan bahan baku?
Dalam periode 2009-2014, pemerintah menargetkan peningkatan produksi ikan, baik tangkap maupun budidaya. Jika tahun 2009 produksi perikanan tangkap diproyeksikan 5,38 juta ton, tahun 2014 diperkirakan mencapai 5,5 juta ton.
Sementara itu, produksi perikanan budidaya bahkan ditargetkan naik sampai 353 persen, yakni dari 4,78 juta ton pada tahun 2009 menjadi 16,89 juta ton pada tahun 2014.
Untuk mendukung kenaikan produksi, pemerintah menggulirkan dana stimulus senilai triliunan rupiah, berupa paket bantuan benih ikan, program bantuan 1.000 kapal nelayan guna mendorong daya jelajah dan hasil tangkapan ikan, serta penyaluran kredit usaha rakyat dari perbankan.
Di tengah upaya menggenjot produksi perikanan, masalah kekurangan bahan baku industri pengolahan belum menunjukkan titik terang. Desakan impor ikan terus muncul dari kalangan industri pengolahan.
Hasil tangkapan ikan yang musiman, yakni panen dan paceklik pada bulan-bulan tertentu, hingga kini belum direspons dengan pembenahan sistem logistik perikanan. Selama puluhan tahun negara mengelola sektor kelautan dan perikanan, tidak ada sistem penyimpanan dan pengangkutan ikan yang memadai dari sentra produksi menuju industri pengolahan.
Potensi hasil tangkapan ikan yang masih banyak di wilayah Indonesia bagian timur belum terdistribusi optimal untuk mengisi kebutuhan industri olahan. Bahkan, sejumlah nelayan di wilayah Maluku Tenggara terpaksa membuang ikan hasil tangkapan akibat tidak terserap pedagang dan industri olahan.
Timbul kesan, tidak ada desain pengolahan ikan yang terencana dan sejalan dengan produksi ikan.
Belakangan ini, hampir semua gudang penyimpanan ikan penuh terisi dengan hasil tangkapan nelayan yang berlimpah. Berbarengan dengan itu, produk impor ikan mulai masuk. Izin impor ikan yang diurus berbulan-bulan lalu oleh importir, baru masuk pada bulan-bulan ini. Harga ikan pun jatuh.
Ironisnya, impor ikan sebagai ”amunisi terakhir” kerap diwarnai penyalahgunaan, berupa izin impor ikan yang dipermainkan ataupun produk ikan ilegal. Produk ikan impor yang seharusnya untuk bahan baku pengolahan bocor membanjiri pasar lokal. Celakanya, produk ikan ilegal ditemukan mengandung formalin dan zat berbahaya.
Masih teringat beberapa bulan lalu, kasus ikan kembung, ikan lele, dan ikan teri ilegal yang menyusup ke Indonesia melalui wilayah perbatasan di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Ikan impor asal Malaysia dan China itu ditemukan mengandung penyakit berbahaya dan formalin.
Merembesnya produk impor ikan ilegal tidak hanya membahayakan kesehatan konsumen. Hasil jerih payah nelayan dan pembudidaya terpuruk oleh ikan impor berharga murah yang membanjiri pasar domestik. Apalagi isu ikan impor mengandung formalin dan penyakit berbahaya tadi membuat konsumen, sementara menolak mengonsumsi ikan.
Petaka
Tidak akan pernah ada manfaat
impor ikan bagi kebangkitan industrialisasi perikanan selama sistem pengawasan
lemah. Nelayan yang miskin semakin miskin dengan impor ikan tadi.
Sudah saatnya pemerintah serius menyusun sistem logistik perikanan nasional dan pembenahan distribusi ikan dari sentra produksi ke pengolahan. Dorong investasi pengolahan ke wilayah timur yang dekat dengan sumber ikan.
Tentunya, kita sama sekali tidak menginginkan negara kelautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ini terpuruk oleh ketergantungan impor. Bangkitkan kemandirian bangsa bahari ini! (BM Lukita Grahadyarini)
Sudah saatnya pemerintah serius menyusun sistem logistik perikanan nasional dan pembenahan distribusi ikan dari sentra produksi ke pengolahan. Dorong investasi pengolahan ke wilayah timur yang dekat dengan sumber ikan.
Tentunya, kita sama sekali tidak menginginkan negara kelautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ini terpuruk oleh ketergantungan impor. Bangkitkan kemandirian bangsa bahari ini! (BM Lukita Grahadyarini)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Erlangga Djumena
Sejuta Nelayanan Tidak Melaut Akibat Cuaca Ekstrem
http://www.ppnsi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=186:sejuta-nelayanan-tidak-melaut-akibat-cuaca-ekstrem&catid=15:perikanan-a-kelautan&Itemid=108
Minggu, 18 Desember 2011 00:00 |
Cuaca
ekstrem sudah mulai mengganggu kehidupan nelayan. Aktivitas mencari ikan dilaut
menjadi terganggu. Ketua Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia
(PPNSI), Bahruzin mengatakan jumlah nelayan yang menjadi anggota PPNSI mencapai
4 juta orang, namun akibat cuaca buruk yang terjadi selama beberapa bulan
terakhir menyebabkan sekitar 30 persen atau sekitar 1,2 juta nelayan tidak
beraktivitas.
“Jika melaut, risikonya sangat besar. Mereka dapat terhantam ombak. Ini terjadi hampir setiap tahun," paparnya, Selasa (13/12).
Saat ini, tinggi ombak di wilayah perairan Jabar dapat mencapai 3-5 meter, sangat berbahaya dan berisiko bagi para nelayan. Sedangkan Laut Selatan Jabar, sambung dia, kondisinya lebih baik daripada Utara. "Populasi ikan pun masih kaya dan jauh lebih banyak daripada Laut Utara," ucapnya.
Kementrian Kelautan memberikan sumbangan berupa perahu 30 GT (Gross Ton) sekitar 20 unit. Akan tetapi perahu tersebut tidak dilengkapi radar pencari ikan.
"Selain itu, tidak sembarangan nelayan yang mengoperasikannya. Penyebabnya, yang dapat mengoperasikan perahu itu adalah nelayan yang bersertifikat," urai dia.
"Kami pun ingin pemerintah membangun sentra pengolahan ikan, yang dapat menampung hasil tangkapan nelayan yang tidak terjual di pelelangan ikan. Banyak ikan busuk karena tidak terjual di pelelangan." (ril)
“Jika melaut, risikonya sangat besar. Mereka dapat terhantam ombak. Ini terjadi hampir setiap tahun," paparnya, Selasa (13/12).
Saat ini, tinggi ombak di wilayah perairan Jabar dapat mencapai 3-5 meter, sangat berbahaya dan berisiko bagi para nelayan. Sedangkan Laut Selatan Jabar, sambung dia, kondisinya lebih baik daripada Utara. "Populasi ikan pun masih kaya dan jauh lebih banyak daripada Laut Utara," ucapnya.
Kementrian Kelautan memberikan sumbangan berupa perahu 30 GT (Gross Ton) sekitar 20 unit. Akan tetapi perahu tersebut tidak dilengkapi radar pencari ikan.
"Selain itu, tidak sembarangan nelayan yang mengoperasikannya. Penyebabnya, yang dapat mengoperasikan perahu itu adalah nelayan yang bersertifikat," urai dia.
"Kami pun ingin pemerintah membangun sentra pengolahan ikan, yang dapat menampung hasil tangkapan nelayan yang tidak terjual di pelelangan ikan. Banyak ikan busuk karena tidak terjual di pelelangan." (ril)
Sumber:
http://www.parahyangan-online.com/berita-420-sejuta-nelayanan-tidak-melaut-akibat-cuaca-ekstrem.html
Kapan Nelayan Sejahtera ?
http://www.ppnsi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=170:kapan-nelayan-sejahtera-&catid=29:perikanan-a-kelautan&Itemid=116
Selasa, 13 Desember 2011 17:20 |
Petani
dan nelayan adalah profesi mayoritas penduduk negeri ini. Hampir 60% penduduk
Indonesia berada di pedesaan dan pesisir pantai. Profesi ini sesuai dengan alam
Indonesia yang memang agraris dan laut sebagai wilayah terbesar negeri ini.
Namun nampaknya profesi ini menjadi penyumbang besar kemiskinan dan rendahnya
kualitas SDM bangsa kita. Kemiskinan sebagai penyakit sosial negara berkembang
terus saja semakin bertambah di kalangan petani dan nelayan khususnya.
Seolah–olah menjadi nelayan adalah keterpaksaan, padahal laut kita kaya raya
dan menyimpan triliunan kekayaan jika mampu diambil oleh nelayan.
Kenyataannya nelayan masih terpuruk dalam kubangan kemiskinan dan kebodohan, jauh dari istilah sejahtera. Di sisi lain politisi dan birokrasi “bergelimang” harta dan kekayaan, hasil laut hanya dinikmati segelintir pengusaha serakah yang enggan berbagi walaupun sekadar program CSR yang menjadi kewajiban mereka untuk membantu nelayan. Inilah fakta negeri yang orang mengatakan jamrud khatulistiwa. Kalau seperti ini kapan nelayan akan sejahtera? Menunggu sampai ikan di laut habis oleh aksi illegal fishing kapal asing yang berkolaborasi dengan penjahat dalam negeri? atau memang nelayan tidak akan bisa sejahtera? Sulitkan membuat nelayan sejahtera? Kabar tentang impor ikan semakin membuat nelayan sesak dadanya, kenapa pejabat negeri ini berperilaku kayak tengkulak. Berpikir hanya mencari untung semata.
Kebijakan Diskriminatif
Subsidi BBM untuk nelayan sebagai modal utama mencari ikan
sangat kecil, bahkan sangat kecil. Setiap tahun nelayan membutuhkan 1,2 juta
kiloliter. Kebutuhan total BBM bersubsidi sektor perikanan setiap tahun
mencapai 2.516.976 kl, meliputi 1.955.376 kl untuk nelayan dan 561.600 kl untuk
pembudidaya ikan. Tahun 2009, Pertamina hanya mampu menyalurkan 1,32 juta kl.
Bagaimana nelayan akan melaut kalau BBM saja tidak ada? Bandingkan dengan BBM
subsidi yang dinikmati pemilik mobil mewah di kota–kota besar, sangat
menyedihkan.
Selain BBM kebutuhan akan peralatan tangkap, minimnya peralatan tangkap membuat nelayan sangat terbatas dalam beroperasi menangkap ikan. Bantuan kapal–kapal besar yang bertonase di atas 10 gros ton tidak mampu dikelola nelayan dengan baik karena minimnya kemampuan dan operasional. Kebijakan salah arah berupa bantuan kapal ini akhirnya dinikmati cukong–cukong bermodal besar yang akhirnya menjadikan nelayan sebagai buruh semata, bukan nelayan tapi buruh nelayan. Ironisnya setiap tahun model bantuan ini terus saja diduplikasi oleh APBN dan APBD propinsi.
Ketimpangan kebijakan juga terjadi pada faktor perlindungan kepada nelayan akan akses keamanan dan bencana alam. Dua faktor ini sampai sekarang belum ada payung hukum yang bisa melindungi mereka. RUU Kelautan sejak jaman Megawati sampai SBY menjabat dua kali belum juga berhasil disahkan menjadi UU dan PP sebagai tindaklajutnya. Kisah penangkapan dan kematian nelayan di Malaysia seolah hanya angin lalu. Kasus kematian nelayan di Jepara karena terhantam ombak juga tidak ada solusi sistematis dari pemerintah, saat nelayan terkena bencana kelaparan bahkan kematian akibat bencana alam sikap pemerintah hanya iba dan memberikan santunan ala kadarnya sebagai tanda sedih. Nelayan tidak membutuhkan belas kasihan karena faktor kemanusian semata, itu tugas sebagai sesama manusia. Pemerintah tugasnya memberikan kepastian hukum dan legalitas skala nasional sebagai wujud keseriusan melindungi nelayan.
Akhirnya faktor kebijakan, keamanan, ketersedian BBM dan alat–alat tangkap yang nyaris tidak serius diurus oleh pemerintah akhirnya NTP (Nilai Tukar Nelayan ) sebagai rangkuman kesejahteraan nelayan setiap tahun tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Ternyata kebijakan pengentasan kemiskinan mulai tahun 2006 sampai 2010 belum mampu mengurangi angka kemiskinan nelayan, bahkan semakin bertambah.
Kemiskinan nelayan seiring dengan Nilai Tukar Nelayan yang sampai sekarang juga semakin mengenaskan. Kalau di petani ada Nilai tukar petani sekarang mulai menunjukkan kenaikan, di nelayan menunjukkan kemunduran.
Menurut data DKP 2001 Jumlah seluruh KK nelayan tahun 1998 = 4 juta orang dengan pendapatan kotor per KK per tahun = Rp4.750.000. Pendapatan kotor per KK per bulan = Rp395.383. Data statistik yang lain menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp48.301,- per hari. Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap DKP, pada 2007 rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya sebesar Rp445.000 per keluarga per bulan.
Berdasarkan hasil perhitungan BPS, NTN tahun 2008 terdapat peningkatan, yaitu hingga Desember 2008 mencapai angka 103,9. Jumlah ini meningkat sebesar 1,04% dibandingkan pada awal tahun, bulan Januari 2008 yang hanya sebesar 99,7. Artinya, pada akhir tahun 2008, nelayan telah dapat menyimpan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meskipun di awal tahun mengalami ketekoran biaya hidup. Melihat kondisi ini memang miris sekali kondisi keluarga nelayan. Dengan pendapatan 445.000/bulan mana mungkin mereka berpikir akan pendidikan, kesehatan, untuk kebutuhan pangan saja tidak bisa makan 3 kali sehari.
Data Badan Pusat Statistik (2011) terlihat bahwa rata-rata nilai tukar nelayan nasional per September 2011 tercatat hanya mencapai 103.80 atau menurun jika dibandingkan tahun 2009 yang nilainya mencapai 105.05. Kita cermati sejak 2008–2011 sekarang NTN nelayan semakin turun, artinya kesejahteraan nelayan juga semakin turun dan semakin miskin.
Inilah ironi di hari Nusantara yang jatuh tanggal 13 Desember, nusantara yang kaya raya ternyata belum mampu membuat nelayan sejahtera. Bukan karena laut atau sumber daya alam kita yang terbatas, namun kebijakan dan kepedulian pemimpin kita jauh dari harapan.
Selain BBM kebutuhan akan peralatan tangkap, minimnya peralatan tangkap membuat nelayan sangat terbatas dalam beroperasi menangkap ikan. Bantuan kapal–kapal besar yang bertonase di atas 10 gros ton tidak mampu dikelola nelayan dengan baik karena minimnya kemampuan dan operasional. Kebijakan salah arah berupa bantuan kapal ini akhirnya dinikmati cukong–cukong bermodal besar yang akhirnya menjadikan nelayan sebagai buruh semata, bukan nelayan tapi buruh nelayan. Ironisnya setiap tahun model bantuan ini terus saja diduplikasi oleh APBN dan APBD propinsi.
Ketimpangan kebijakan juga terjadi pada faktor perlindungan kepada nelayan akan akses keamanan dan bencana alam. Dua faktor ini sampai sekarang belum ada payung hukum yang bisa melindungi mereka. RUU Kelautan sejak jaman Megawati sampai SBY menjabat dua kali belum juga berhasil disahkan menjadi UU dan PP sebagai tindaklajutnya. Kisah penangkapan dan kematian nelayan di Malaysia seolah hanya angin lalu. Kasus kematian nelayan di Jepara karena terhantam ombak juga tidak ada solusi sistematis dari pemerintah, saat nelayan terkena bencana kelaparan bahkan kematian akibat bencana alam sikap pemerintah hanya iba dan memberikan santunan ala kadarnya sebagai tanda sedih. Nelayan tidak membutuhkan belas kasihan karena faktor kemanusian semata, itu tugas sebagai sesama manusia. Pemerintah tugasnya memberikan kepastian hukum dan legalitas skala nasional sebagai wujud keseriusan melindungi nelayan.
Akhirnya faktor kebijakan, keamanan, ketersedian BBM dan alat–alat tangkap yang nyaris tidak serius diurus oleh pemerintah akhirnya NTP (Nilai Tukar Nelayan ) sebagai rangkuman kesejahteraan nelayan setiap tahun tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Ternyata kebijakan pengentasan kemiskinan mulai tahun 2006 sampai 2010 belum mampu mengurangi angka kemiskinan nelayan, bahkan semakin bertambah.
Kemiskinan nelayan seiring dengan Nilai Tukar Nelayan yang sampai sekarang juga semakin mengenaskan. Kalau di petani ada Nilai tukar petani sekarang mulai menunjukkan kenaikan, di nelayan menunjukkan kemunduran.
Menurut data DKP 2001 Jumlah seluruh KK nelayan tahun 1998 = 4 juta orang dengan pendapatan kotor per KK per tahun = Rp4.750.000. Pendapatan kotor per KK per bulan = Rp395.383. Data statistik yang lain menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp48.301,- per hari. Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap DKP, pada 2007 rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya sebesar Rp445.000 per keluarga per bulan.
Berdasarkan hasil perhitungan BPS, NTN tahun 2008 terdapat peningkatan, yaitu hingga Desember 2008 mencapai angka 103,9. Jumlah ini meningkat sebesar 1,04% dibandingkan pada awal tahun, bulan Januari 2008 yang hanya sebesar 99,7. Artinya, pada akhir tahun 2008, nelayan telah dapat menyimpan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meskipun di awal tahun mengalami ketekoran biaya hidup. Melihat kondisi ini memang miris sekali kondisi keluarga nelayan. Dengan pendapatan 445.000/bulan mana mungkin mereka berpikir akan pendidikan, kesehatan, untuk kebutuhan pangan saja tidak bisa makan 3 kali sehari.
Data Badan Pusat Statistik (2011) terlihat bahwa rata-rata nilai tukar nelayan nasional per September 2011 tercatat hanya mencapai 103.80 atau menurun jika dibandingkan tahun 2009 yang nilainya mencapai 105.05. Kita cermati sejak 2008–2011 sekarang NTN nelayan semakin turun, artinya kesejahteraan nelayan juga semakin turun dan semakin miskin.
Inilah ironi di hari Nusantara yang jatuh tanggal 13 Desember, nusantara yang kaya raya ternyata belum mampu membuat nelayan sejahtera. Bukan karena laut atau sumber daya alam kita yang terbatas, namun kebijakan dan kepedulian pemimpin kita jauh dari harapan.
Riyono
Sekjen DPP Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia
Indonesia-China Gelar Pameran Teknologi Tepat Guna
Penulis : Banar Fil Ardhi | Rabu, 14 Desember 2011 | 01:04 WIB
KOMPAS
IMAGES/BANAR FIL ARDHI
Menteri Riset dan
Teknologi RI, Gusti Muhammad Hatta (paling kanan), Wakil Menteri Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Republik Rakyat China, H.E Dr. Cao Jianlin (tengah),
dan Duta Besar Republik Rakyat China, H.E Mrs. Zhang Qiyue (paling kiri), saat
saat pembukaan Pameran Teknologi Tepat Guna Indonesia - China, di Hotel
Bidakara, Jakarta, Selasa (13/12/2011). Pameran yang menampilkan berbagai
produk inovasi dan teknologi kedua negara tersebut akan berlangsung hingga 15
Desember 2011. KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI
JAKARTA,
KOMPAS.com — Kementerian Riset dan Teknologi RI bekerja sama dengan
Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi China menyelenggarakan "The
2011 Indonesia-China Science and Technology Conference and Exhibition"
yang diselenggarakan pada Selasa, 13-15 Desember 2011 di Hotel Bidakara,
Jakarta Selatan.
Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta mengatakan,
acara ini bertujuan untuk saling tukar informasi di bidang teknologi agar
perkembangan teknologi di kedua negara seimbang.
"Dalam kegiatan ini, kedua negara, China dan Indonesia,
bisa bertukar informasi di bidang pengetahuan dan teknologi," ujarnya saat
ditemui seusai pembukaan acara pameran teknologi tepat guna tersebut di Hotel
Bidakara, Selasa (13/12/2011).
Lebih lanjut, Gusti menambahkan bahwa diperlukan suatu nota
kesepahaman (MoU) untuk mengatasi tantangan global dan mengisi permintaan dunia
terhadap hasil ilmiah dan teknologi maju.
"Kedua negara menyadari bahwa selain ajang pendidikan
pameran dan konferensi, MoU ini untuk promosi dan jembatan kerja sama di bidang
iptek," tambahnya.
Pemerintah Indonesia dan China sepakat mewujudkan
penandatanganan MoU dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan tiap-tiap
negara yang meliputi kerja sama bidang prioritas, seperti teknologi informasi dan
komunikasi, pertanian, serta kelautan dan perikanan.
Demikian juga di bidang pendidikan, seperti bioteknologi dan
ilmu biomedis; bidang energi; penanggulangan bencana, termasuk nonteknologi;
serta area lainnya.
Editor : Benny N Joewono
No comments:
Post a Comment