Friday, 31 July 2015

MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP BUDIDAYA IKAN KERAPU



Budidaya ikan laut di Indonesia telah mangalami perkembangan yang sangat pesat akhir-akhir ini. Upaya peningkatan sumber devisa Negara dari sector perikanan adalah dengan pengembangan perikanan yang berbasis kerakyatan. Salah satu upaya pemanfaatan lahan perairan Indonesia yang luas tersebut adalah melalui pengembangan usaha budidaya ikan Kerapu di karamba jaring apung (KJA).  Komoditas kerapu yang sudah berkembang di Indonesia ada dua spesies yaitu kerapu macan  atau Tiger Grouper (Epenephellus fuscogutatus) dan Kerapu Tikus atau Humpback Grouper (Cromileptes altivelis).



Penguasaan teknologi yang menyeluruh mengenai budidaya kerapu di KJA merupakan kunci dari keberhasilan usaha itu sendiri. Penguasaan ini meliputi pengetahuan internal ikan kerapu yang dipelihara serta beberapa faktor eksternal seperti teknik budidaya, pakan, serta hama dan penyakit ikan. Disamping itu pengetahuan mengenai lokasi budidaya, penentuan sarana dan prasarana.



Teknik budidaya ikan Kerapu Macan dan Kerapu tikus di KJA relative sederhana dan sama yaitu meliputi pendederan, penggelondongan serta pembesaran. Ketiga tahapan ini dibedakan berdasarkan ukuran awal tebar serta ukuran akhir ikan dipanen. Fase pendederan memiliki ukuran awal tebar benih hari ke-40 s/d 60 (D-40 – D-60) dan dipanen pada ukuran 25-30 gram/ekor utnuk selanjutnya dijadikan ukuran awal fase penggelondongan. Fase penggelondongan dipanen pada ukuran 75-100 gram/ekor, untuk dijadikan awal fase pembesaran yang berakhir pada ukuran konsumsi yaitu antara 400-600 gram/ekor.



Pakan merupakan faktor eksternal penting dalam budidaya ikan, sebab pakan merupakan satu-satunya  masukan gizi dan energy dari luar untuk menunjang pertumbuhannya. Pemberian pakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik dapat mengoptimalkan usaha budidaya ikan kerapu di KJA.



Pemantauan kualitas perairan yang kontinyu merupakan faktor eksternal lain yang menentukan keberhasilan budidaya. Hama dan penyakit diketahui  sering menjadi penyebab utama kegagalan.. pencegahan merupakan alternatif terbaik dibandingkan pengobatan.



Teknik panen dan metode transportasi memegang peranan penting dalam kelancaran usaha budidaya ikan. Seperti diketahui bahwa ikan kerapu merupakan komoditas ekspor yang memiliki nilai jual lebih bila dipasarkan dalam keadaan hidup.

Aspek-aspek npendukung budidaya di atas akan menjadi sia-sia bula usaha budidaya menghasilkan nilai akhir yang negative dalam ekonomi. Oleh karena itu, perhitungan, perhitungan yang matang dan terencana atas komponen-komponen utama maupun pendukung yang perlu dilalakukan.

SUMBER:
http//supmladong.kkp.go.id
Mulyadi A., 2014. Diktat Pembesaran Ikan Kerapu di Karamba Jaring Apung. Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Ladong, Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Aceh.


Thursday, 30 July 2015

MEMAHAMI TAKSONOMI, MORFOLOGI DAN ASPEK BIOLOGI IKAN KERAPU



Pendahuluan



Keberhasilan dalam usaha budidaya ikan tidak terlepas dari pengetahuan tentang biologi yang meliputi : Taksonomi, morfologi, penyebaran/distribusi, habitat, pakan dan kebiasaan makannya. Dengab mengetahui biologi ikan Kerapu maka usaha pengembangan teknologi budidaya dari fase pembenihan di bak terkendali hingga fase pembesaran yang dilakukan di karamba jaring apung akan berhasil.



Beberapa jenis ikan Kerapu yang telah berhasil dibudidayakan dan bahkan telah diekspor ke berbagai manca Negara antara lain : Kerapu macan, Kerapu Tikus, kerapu kertang dan lain-lain.



Menurut Nontji (9187), nama kerapu biasanya digunakan untuk empat marga anggota suku Srranidae, yaitu Epinephelus, Variola, Plectropomus dan Cromileptes. Sebagian besar anggota suku Serranidae hidup di perairan yang relative dangkal dengan dasar terumbu karang, tetapi beberapa jenis diantaranya dapat ditemukan pada kedalaman sekitar 300 m. adapun parameter ekologi yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu, yaitu temperature air 24-31ºC, salinitas antara 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut >3,5 ppm dan pH antara 7,8-8 (Yushimitsu et al., 1986).



Kerapu merupakan ikan karnivora yang cenderung menangkap mangsa yang aktif di dalam kolom air (Nybakken,, 1988). Hasil analisa isi perut ikan kerapu menunjukkan bahwa ikan kerapu merupakan pemangsa ikan-ikan yanglebih kecil, moluska dan beberapa jenis  udang (Nybakken, 1988). Sedangkan larva ikan kerapu merupakan pemangsa trokofor, zooplankton, kopeppoda dan larva bulu babi. Tampobolon dan Mulyadi (1989), menjelaskan bahwa ikan kerapu mempunyai kebiasaan makan di siang hari dan malam hari, namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari.







Takosonomi dan Morfologi Kerapu



Ikan kerapu telah menjadi komoditas ekspor dari hasil budidaya laut dan dari berbagai jenis kerapu yang telah banyak dibudidayakan secara komersial antara lain kerapu macan dan kerapu Tikus.



Phylum                  :    Chordata



Subphylum            :    Vertebrata



Class                    :    Osteichtyes



Sub-class              :    Actinopterygii



Ordo                    :    Percomorphi



Sub-ordo              :    Percoidea



Family                   :    Serranidae



Genus                   :    Ephinephelus



Species                 :    Ephinephelus suillus, E. fuscogutatus



                                 Kerapu lumpur, Kerapu macan.



Genus                   :    Cromileptes



Species                 :    Chromileptes altivelis (Kerapu Tikus



Geneus                 :    Plectropomus



Species                 :    Plectropomus maculates, P. leopardus



                                 Kerapu sunu







Ikan Kerapu macan merupakan ikan karang yang tergolong dalam family Serranidae dengan banyak nama lokal.



Heemstra (1993), telah mendiskripsikan morfologi ikan Kerapu Macan sebagai berikut : Bentuk badan memanjang gepeng atau agak membulat, luasan antar ousat (kepala) datar cenderung cekung. Kepala bagian depan untuk ikan dewasa terdapat lekukan mata yang cekung sampai dengan sirip punggung. pre operculum membundar dengan pinggiran bergerigi dengan tepi bagian atas cekung menurun secara vertikal ke hamper ujung operculum. Bagian tengah rahang bawah terdiri dari 3 atau 4 baris gigi dengan barisan bagian dalam dua (2) kali lebih panjang daripada bagian luar. Tapis insang terdiri dari 10-12 tungkai dengan bagian dasar tidak terhitung. Sirip punggung terdiri dari 14 – 15 tulang rawan dan 11 tulang keras dengan barisan ke-3 atau ke-4 lebih panjang  sedangkan pada sirip anus terdapat 3 tulang keras dan 8 tulang rawan dengan panjang 2,0 – 2,5 bagian panjang kepala. Warna tubuh coklat muda dengan lima seri tompel coklat besar yang tidak beraturan. Badan, kepala dan sirip ditutupi oleh titik-titik kecil coklat dimana pada bagian tompel berwarna lebih gelap. Sirip ekor membundar dan mata besar menonjol. Panjang, standar untuk ikan dewasa 11-55 cm.



 




Gambar Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscogutatus)











Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) mempunyai cirri-ciri morfologi sirip punggung dengan 10 duri keras dan 18 – 19 duri lunak, sirip perut dengan 3 duri keras dan 10 duri lunak, sirip ekor dengan 1 duri keras dan 70 duri lunak. Panjang total 3,3 -  3,8 kali tingginya, panjang kepala seperempat panjang total, leher bagian atas cekung dan semakin tua semakin cekung, mata seperenam kepala, sirip punggung semakin kebelakang melebar, warna putih kadang kecoklatan dengan totol hitam pada badan, kepala dan sirip. Weber and Beofort (1940) dalam Ahmad (1991). Sedangkan menurut Heemstra dan Randall (1993) seluruh permukaan tubuh kerapu Tikus berwarna putih keabuan, berbintik bulat hitam  dilengkapi sirip renang berbentuk melebar serta moncong kepala lancip menyerupai bebek atau tikus.



 




Gambar Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)







Selain jenis Kerapu Macan dan Kerapu Tikus ada beberapa jenis kerapu lain yang sudah bisa dibudidayakan di dalam Karamba Jaring Apun (KJA) antara lain :



Kerapu lumpur (Epinephelus tauvina).Nama lain dari jenis ikan ini adalah kerapu balong, estuary grouper.  Kerapu ini banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan benihnya mudah diperoleh di laut, terutama musim-musim tertentu. Habitat kerapu lumpur ada di  kawasan terumbu karang, perairan berpasir, dan bahkan hutan mangrove.




Ukurannya bisa mencapai 200 kg per ekor.



Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus, Plectropomus maculates, P.leavis) Ada dua jenis kerapu sunu yang dikenal sebagai ikan laut  komersial, yaitu jenis Plectropoma maculates dan Plectropoma leopardus. Kerapu sunu memiliki tubuh agak bulat memanjang (Jawa: gilig). Tubuh sering berwarna merah atau makot. Pada tubuhnya terdapat bintik-bintik berwarna biru, dengan tepi gelap.



 








 
Penyebaran/Distribusi



Ikan kerap macan tersebar luas dari wilayah asia Pasifik termasuk laut merah, tetapi lebih dikenal berasal dari Teluk Persi, Hawaii atau Polynesia. Terdapat pula dihampir seluruh perairan pulau tropis Hindia dan Samudra Pasifik Barat dari Pantai Timur Afrika sampai dengan Mozambika. Ikan ini dilaporkan banyak pula ditemukan di Madagaskar, India, Thailand, Indonesia, pantai tropis Australia, Jepang, Philipina, Papua Neuguinea, dan Kaledonia Baru (Heemstra, 1993). Di perairan Indonesia yang dikenal banyak ditemukan ikan kerapu Macan adalah perairan pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, pulau Buru, dan ambon (Weber dan Beaufort,1931).



Di Indonesia ikan Kerapu Tikus banyak ditemukan di wilayah perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Madura, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Ikan kerapu tersebar luas dari wilayah Asia Pasifik, Laut Merah, Polynesia, terdapat pula hamper semua perairan tropis Hindia, Pasifik Barat dan Pantai Timur Afrika.



Di Indonesia terdapat 38 jenis, 25 jenis diantaranya sangat umum dikenal masyarakat. Kerapu dapat tumbuh besar, bahkan dilaporkan di perairan Aceh pernah tertangkap ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) dengan panjang sekitar 2 meter dan berat kira-kira 200 kg. kerapu besar ini hidup di perairan pantai yang berlumpur didepan muara sungai (Nontji, 1987).







Siklus Reproduksi.



       Ikan kerapu merupakan ikan yang memiliki sifat reproduksi hermaprodit protogini, yaitu pada perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan akan berubah menjadi jantan apabila ikan tersebut tumbuh menjadi lebih besar atau bertambah umurnya. Fenomena perubahan jenis kelamin pada ikan kerapu erat hubungannya dengan aktivitas pemiajahan, umur, indeks kelamin dan ukuran.







Habitat



       Ikan kerapu Macan hidup di dasar perairan berbatu samai dengan kedalaman 60 meter dan daerah dangkal yang mengandung batu koral (Heemstra, 1993). Pada siklus hidupnya ikan Kerapu Macan muda hidup di perairan karang dengan kedalam 0,5 – 3 meter pada area padang lamun, selanjutnya menginjak dewasa menuju ke perairan yang lebih dalam.  Telur dan larva kerapu Macan bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal.



Ikan Kerapu Tikus banyak dijumpai di perairan batu karang, atau daerah karang berlumpur, hidup pada kedalaman 40 – 60 meter. Siklus hidupny sama dengan kerapu Macan.ikan kerapu termasuk kelompok ikan stenohaline (Breet dan Groves, 1979), oleh Karen aitu jenis ikan ini mampu beradaptasi pada lingkungan perairan yang  berkadar garam rendah. Ikan kerapu merupakan organisme yang bersifat nocturnal, dimana pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makan.



Menurut Chua dan Teng (1978), parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu, yaitu temperature berkisar 24 - 31ºC, salinitas berkisar 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut lebih dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8 – 8,0. Perairan dengan kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada perairan terumbu karang (Nybakken, 1988).




Pakan dan Kebiasan Pakan



Hampir seluruh jenis ikan Kerapu merupakan hewan karnivora. Ikan kerapu dewasa adalah pemakan ikan-ikan kecil, kepiting, dan udang-udangan, sedangkan larvanya memangsa larva moluska (trokofor), rotifer,  mikro krutacea, kopepoda, dan zooplankton. Sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolom air (Nybakken, 1988). Tampubolon dan Mulyadi (1989), mengungkapkan bahwa ikan kerapu mempunyai kebiasaan makan pada siang dan malam hari, namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari.


SUMBER:
http//supmladong.kkp.go.id
Mulyadi A., 2014. Diktat Pembesaran Ikan Kerapu di Karamba Jaring Apung. Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Ladong, Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Aceh.

Wednesday, 29 July 2015

PERSIAPAN WADAH DAN MEDIA BUDIDAYA ROTIFERA (PAKAN ALAMI)



 Rotifera adalah zooplankton yang biasa digunakan untuk pakan alami ikan, terutama untuk larva ikan yang ukurannya sangat kecil, seperti pada larva ikan malas (ikan betutu). Rotifera merupakan pakan awal larva Ikan. Untuk keperluan budidaya Rotifera, kita perlu membudidayakan Chlorella sp terlebih dahulu. Apabila kepadatan Chlorella sp. telah mencapai kepadatan tertinggi maka inokulasi bibit Rotifera ke dalam wadah Chlorella sp. dapat dilakukan.

 Gambar 1. Rotifera

Budidaya zooplankton, dalam hal ini Rotifera, merupakan pakan awal larva Ikan. Untuk keperluan budidaya Rotifera, kita perlu membudidayakan Chlorella sp terlebih dahulu. Apabila kepadatan Chlorella sp. telah mencapai kepadatan tertinggi maka inokulasi bibit Rotifera ke dalam wadah Chlorella sp. dapat dilakukan. Atau sebagian Chlorella sp. dipanen dan dipindahkan ke wadah budidaya Rotifera.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberi pakan berupa ragi roti pada Rotifera. Berdasarkan penelitian–penelitian yang sudah dilakukan, ternyata Rotifera yang diberi pakan ragi roti dapat menghasilkan populasi sepuluh kali dibandingkan dengan yang diberi fitoplankton. Kedua cara budidaya di atas dapat dilakukan, sebab Rotifera termasuk zooplankton yang bersifat filter feeder yaitu cara makannya dengan menyaring partikel makanan dari media tempat hidupnya.
Beberapa persyaratan lingkungan yang diperlukan Rotifera, antara lain suhu media tidak terlalu tinggi, yang baik sedikit di bawah suhu optimum. Suhu optimum untuk Rotifera Brachionus sp. adalah 25oC, walaupun dapat hidup pada suhu 15–31oC. Selanjutnya pH air di atas 6,6 di alam, namun pada kondisi budidaya biasanya 7,5; ammonia harus lebih kecil dari 1 ppm; oksigen terlarut >1,2 ppm.
Untuk cara budidaya dengan menggunakan Chlorella sp. sebagai pakan Rotifera, maka prosedur penyiapan wadah dan media sama seperti pada budidaya Chlorella sp. Wadah budidaya Rotifera dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Pada saat kepadatan Chlorella sp. mencapai puncak maka dilakukan inokulasi Rotifera; dan sehari (sesaat) sebelumnya pemupukan ulang perlu dilakukan. Tujuannya adalah agar supaya Chlorella sp. segera mendapatkan mineral sebelum populasi fitoplankton kekurangan mineral.

Cara di atas menggunakan wadah budidaya Rotifera yang sama dengan wadah budidaya Chlorella sp. Cara ini mempunyai kelemahan, yaitu dengan adanya pemupukan ulang maka hal ini akan menyebabkan kualitas air kurang baik untuk Rotifera. Cara yang lebih baik adalah dengan membudidayakan Rotifera pada wadah terpisah, dan fitoplankton serta medianya dipanen dari wadah fitoplankton dan dimasukkan ke wadah budidaya Rotifera setiap hari.
Kegiatan pertama untuk budidaya Rotifera adalah menyiapkan wadah yang bersih dan sudah disanitasi. Adapun cara penyiapan wadah dan air untuk budidaya Rotifera ini sama dengan persiapan dan air padabudidaya Chlorella. Jika populasi fitoplankton sudah mencapai puncak maka sebagian fitoplankton bersama media dipindahkan ke wadah Rotifera. Wadah fitoplankton yang sudah berkurang volume airnya, biasanya ditambahkan 50% kembali air tawar, lalu dipupuk ulang.
Penambahan fitoplankton ke wadah Rotifera dilakukan setiap hari. Penambahan dilakukan sampai hari ke 4 dan biasanya pada hari ke 5 panen Rotifera dapat dilakukan. Pada pemindahan Chlorella sp. perlu digunakan saringan berupa kantong penyaring (plankton net) yang lubangnya 100 mm, untuk mencegah kemungkinan terbawanya copepoda, yang nantinya akan memakan Rotifera.
Pada budidaya Rotifera dengan menggunakan Chlorella sp. sebagai pakannya diperlukan wadah/bak budidaya Chlorella sp. dan wadah/bak budidaya Rotifera sebanyak 6 : 1 (dalam volume). Artinya untuk menyiapkan makanan Rotifera dalam satu wadah diperlukan 6 wadah fitoplankton. Hal ini dilakukan karena populasi Chlorella sp. harus disediakan setiap hari untuk makanan Rotifera. Populasi Chlorella sp. akan mencapai puncak 5-6 hari, dan Rotifera 2–3 hari. Artinya untuk satu siklus budidaya Rotifera diperlukan tiga kali panen Chlorella sp., supaya budidaya Rotifera berlanjut maka diperlukan wadah Chlorella sp. 2 x 3 wadah, yaitu 6 wadah (volume). Budidaya Rotifera dengan menggunakan Chlorella sp. sebagai pakannya umum dilakukan di Panti Benih ikan karena biayanya murah.

SUMBER:
Mokoginta I., 2003.  Modul Budidaya Rotifera - Budidaya Pakan Alami Air Tawar. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Delbare, D. and Dhert, P. 1996. Cladoecerans, Nematodes and Trocophara Larvae, p. 283 – 295. In Manual on The Production and Use of Live Food (P. Lavens and P. Sorgelos, eds). FAO Fisheries Technical Paper 361.
Sulasingkin, D. 2003. Pengaruh konsentrasi ragi yang berbeda terhadap pertumbuhan populasi Daphnia sp. Skripsi. FPIK. IPB.

Pengembangan Produk Bekicot Ala Sushi

Permakluman:  Produk-produk yang ditampilkan merupakan Produk Olahan Hasil Perikanan Karya Finalis Lomba Inovator Pengembangan Produk ...