ABSTRAK
Ekosistem estuaria sebagai daerah ekoton, yaitu daerah
pertemuan antara ekosistem air tawar dengan air laut, menjadikan biota yang
hidup di perairan estuaria juga merupakan kombinasi dari kedua ekosistem asal
tersebut. Walaupun demikian secara relative, jumlah spesies laut lebih banyak
dijumpai di daerah estuaria. Ekosistem terumbu karang sebagai habitat bagi
berbagai jenis biota laut dengan tingkat keragaman hayati yang sangat tinggi
dan sulit ditandingi oleh ekosistem lainnya. Ekosistem estuaria dan terumbu
karang mempunyai konektivitas ekologis dan biota. Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem
tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga akan ikut terganggu. Yang
jelas interaksi yang harmonis antara kedua ekosistem ini harus dipertahankan
agar tercipta sinergi keseimbangan lingkungan.
Kata kunci:
hubungan ekologis dan biota, perairan estuaria, terumbu karang
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas 17.508
pulau dengan panjang garis pantai 81.791 km, memiliki keanekaragaman hayati
yang cukup tinggi seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan,
mamalia, reptilia, krustasea dan berbagai jenis moluska. Sumberdaya alam laut
tersebut merupakan salah satu modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan nasional (Dewanto, 2012).
Keberadaan
suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk
hidup dengan lingkungannya disebut dengan ekosistem. Menurut Kusumastanto
(2012) sebagai Negara yang terletak di kawasan tropis, Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta kelengkapan komponen-komponen
penyusun ekosistem. Ekositem pesisir tropis, seperti di Indonesia terdiri atas
berbagai jenis ekositem, seperti ekositem mangrove, padang lamun, terumbu
karang, estuaria pantai berpasir dan berbatu. Setiap jenis ekosistem pesisir tersebut
memiliki karakter tersendiri dan syarat lingkungan biofisik yang khas.
Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup yang berhubungan bebas
dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan
air tawar. Sebagai tempat pertemuan air laut
dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun
menurut waktu (Universitas
Terbuka, 2014).
Terumbu karang merupakan komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di daerah
tropika. Struktur dasar terumbu adalah bangunan kalsium
karbonat (kapur) yang sangat banyak, yang sebagian besar dibentuk oleh binatang
karang (polip). Hewan karang ini
termasuk kelas Anthozoa, filum Coelenterata, yang hidup berkoloni dan
masing-masing menempati semacam mangkuk kecil dari bahan kapur yang keras tadi.
Komunitas terumbu karang merupakan salah satu komunitas yang paling kaya jenis
di lautan dan bahkan juga di dunia (Universitas Terbuka, 2014).
Produktifitas
estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa
masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut.
Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria
sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang
berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput
laut, diatom bentik dan fitoplankton (http://www.ut.ac.id/
html/suplemen/mmpi5104/ f_peranan_estuaria.htm). Sedangkan pada ekosistem
terumbu karang, penyusun utama komunitas ini adalah hewan-hewan karang yang
membentuk aneka rupa karang keras (ordo Madreporaria). Di samping itu juga terdapat aneka jenis
karang lunak (Octocorallia),
gorgonia, kipas laut, cambuk laut serta berbagai jenis alga. Beberapa macam
alga juga memproduksi kalsium karbonat, bahkan kelompok alga yang disebut alga
koralin menghasilkan endapan kalsium karbonat di substrat yang ditumbuhinya dan
merekatkan bagian-bagian yang lepas, seperti pecahan karang, menjadi satu
(Universitas Terbuka, 2014).
Ekosistem
estuaria dan ekosistem terumbu karang memiliki hubungan yang sinergis dilihat
dari aspek ekologis dan biota, tidak hanya tergantung di mana organisme tadi
hidup, tetapi juga pada apa yang dilakukan organisme termasuk mengubah energi,
bertingkah laku, bereaksi, mengubah lingkungan fisik maupun biologi dan
bagaimana organisme dihambat oleh spesies lain. Melalui tulisan ini akan coba
diuraikan seberapa besar konektivitas ekologis dan biota antara kedua ekosistem
tersebut dan apabila salah satu sistem mengalami gangguan, berpengaruhkah terhadap
ekosistem yang lain.
METODOLOGI
Pengkajian
konektivitas antara ekosistem estuaria dengan ekosistem terumbu karang dari
sisi ekologis dan biota dilaksanakan pada tanggal 9 – 10 September 2014. Metode
yang digunakan dalam pengkajian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan teknik
yang digunakan: (1) pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal
dan internet yang berhubungan dengan topik yang diangkat; (2) pengolahan data
dan penyusunan kajian, dengan penjabaran dan penggalian ide/gagasan utama dan
ide pendukung dengan menggunakan 5 W (What,
Who, When, Where, Why), dan 1 H (How)
melalui pengolahan data dan penelusuran pustaka.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1. Konektivitas Ekologis
Menurut Kusumastanto (2012) Estuaria adalah
sebuah perairan semi tertutup dan memiliki hubungan langsung dengan laut lepas
dihadapannya serta pada umumnya senantiasa mendapat suplai air tawar dari
daratan. Di kawasan ini, proses fisika perairan, seperti pasang surut
senantiasa berlangsung menjadikan kawasan ini senantiasa bergerak dan dinamis
secara fisik kolom airnya. Pada saatnya, pergerakan kolom air yang sangat
dinamis menjadikan estuaria senantiasa bertukar masa air baik dengan perairan
tawar maupun dengan perairan laut lepas.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar pada
perairan estuaria akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan
lingkungan yang bervariasi, antara lain: (1) Tempat bertemunya arus air tawar
dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat
pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa
pengaruh besar pada biotanya; (2) Pencampuran kedua macam air tersebut
menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat
air sungai maupun sifat air laut; (3) Perubahan yang terjadi akibat adanya
pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis
dengan lingkungan sekelilingnya; dan (4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria
tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus
lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_definis.htm).
Secara umum salinitas yang tertinggi berada
pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang
terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada
garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah
daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar
cenderung terapung di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam.
Kondisi ini disebut estuaria positif atau estuaria baji garam (salt wedge
estuary) (Nybakken, 1988).
Sementara perubahan-perubahan salinitas di
kolom air estuaria dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di
dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa
lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air,
baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel
garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang
berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_sifat_estuaria.htm).
Ekosistem terumbu karang merupakan
ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan terus menerus dan tidak tahan
terhadap gangguan-gangguan alam yang berasal dari luar terumbu. Beberapa
faktor yang membatasi pertumbuhan karang adalah : cahaya,
diperlukan oleh Zooxanthellae untuk melakukan
fotosintesis dalam jaringan
karang. Suhu dapat merupakan faktor pembatas yang umum bagi karang.
Pertumbuhan karang yang optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu
tahunannya berkisar 23 – 25oC, akan tetapi karang juga dapat mentoleransi suhu
pada kisaran 20oC, sampai dengan 36 – 40oC (Nybakken, 1988).
Sementara itu sebagai hewan laut sejati,
terumbu karang memerlukan kadar garam air laut yang normal antara 32-35 atau
yang lebih tinggi. Di bagian laut yang berkadar garam lebih rendah,
misalnya dekat muara sungai-sungai besar, terumbu karang akan terhalang
pertumbuhannya. Berkurangnya laju fotosintesis akan mempengaruhi kemampuan
karang membentuk terumbu. Sehingga kedalaman laut yang optimal untuk
membentuk terumbu berada kurang dari 25 m, di mana cahaya matahari masih
memadai untuk fotosintesis. Umumnya terumbu karang tidak dapat terbentuk
pada kedalaman lebih dari 50-70 m (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_dskrip_tk.htm)
Di samping itu aliran sungai juga membawa
serta endapan tanah dan bahan organik lainnya. Bahan-bahan ini akan
memperkeruh air laut, mengurangi penetrasi sinar matahari, dan endapannya dapat
menutupi karang serta mematikan hewan-hewan karang. Oleh sebab itu karang
lebih berkembang pada wilayah-wilayah perairan dengan gelombang besar.
Gelombang laut yang kuat tidak banyak merusak karang yang masif.
Sementara itu, gelombang justru menghalangi pengendapan, memberikan air yang
segar dan memperkaya kandungan oksigen dalam air laut (http://www.ut.ac.id/ html/suplemen/mmpi5104/f_tipe_trumbu.htm).
Konektivitas:
a. Interaksi fisik
Estuaria dan terumbu karang berinteraksi
secara fisik melalui beberapa mekanisme, yaitu reduksi energi gelombang,
reduksi sedimen, dan pengaturan pasokan air baik air laut maupun air tawar dari
sungai. Biota perairan estuaria sangat bergantung pada keberadaan struktur
kokoh dari bangunan kapur terumbu karang sebagai penghalang aksi hidrodinamis
lautan, yaitu arus dan gelombang. Di zona reef front, terjadi produksi pecahan
fragmen kapur akibat hempasan gelombang dan terpaan arus yang terus-menerus.
Fragmen-fragmen kapur ini akan diproses oleh beberapa jenis ikan, bulu babi,
dan sponge untuk menghasilkan kerikil, pasir, dan lumpur. Selanjutnya kerikil,
pasir, dan lumpur akan diteruskan ke arah pantai oleh aksi gelombang dan arus
yang telah dilemahkan, sehingga membentuk akumulasi sedimen yang menjadi
substrat utama yang diperlukan di ekosistem estuaria.
b. Interaksi ekosistem daratan dan laut
- Estuaria: kawasan yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses laut seperti pasang surut, intrusi air laut dan percikan air
gelombang.
- Terumbu karang: kawasan perairan laut yang
masih dipengaruhi proses-proses aliran air sungai, limpasan air permukaan,
sedimen dan bahan pencemar.
c. Interaksi bahan organik
Bahan organik yang berasal dari estuaria
dapat mempengaruhi pertumbuhan dari terumbu karang. Tingginya partikel organik
yang tersuspensi diperairan dapat menurunkan fotosintesis di perairan. Partikel
organik ini akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan untuk
proses fotosintesis. Selain itu partikel organik yang terbawa dari ekosistem
mangrove ke ekosistem estuaria merupakan makanan bagi biota-biota perairan
seperti filter feeder dan detritus feeder. Beragam aktivitas manusia didaratan
seperti penebangan hutan dapat meningkatkan partikel organik diperairan.
Partikel yang tersuspensi terutama dalam bentuk partikel halus maupun kasar,
akan menimbulkan dampak negatif terhadap biota perairan estuaria dan ekosistem
terumbu karang, sebagai contoh menutupi sistem pernafasan yang mengakibatkan
biota tersebut susah bernafas.
2. Konektivitas Biota
Sebagai wilayah peralihan atau percampuran,
estuaria memiliki tiga komponen biota, yakni fauna yang berasal dari lautan,
fauna perairan tawar, dan fauna khas estuaria atau air payau. Fauna lautan yang
tidak mampu mentolerir perubahan-perubahan salinitas yang ekstrem biasanya
hanya dijumpai terbatas di sekitar perbatasan dengan laut terbuka, di mana
salinitas airnya masih berkisar di atas 30‰.
Sebagian fauna lautan yang toleran (eurihalin) mampu masuk lebih jauh ke
dalam estuaria, di mana salinitas mungkin turun hingga 15‰ atau kurang. Sebaliknya
fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5‰,
sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria. Fauna khas
estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar garam antara 5-30‰,
namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang sepenuhnya berair tawar atau
berair laut. Di antaranya terdapat
beberapa jenis tiram dan kerang (Ostrea,
Scrobicularia), siput kecil Hydrobia,
udang Palaemonetes, dan cacing polikaeta nereis (Universitas
Terbuka, 2014).
Di samping itu terdapat pula fauna-fauna
yang tergolong peralihan, yang berada di estuaria untuk sementara waktu saja. Beberapa jenis udang Penaeus, misalnya,
menghabiskan masa juvenilnya di sekitar estuaria, untuk kemudian pergi ke laut
ketika dewasa. Jenis-jenis sidat
(Anguilla) dan ikan salem (Salmo, Onchorhynchus) tinggal sementara waktu di
estuaria dalam perjalanannya dari hulu sungai ke laut, atau sebaliknya, untuk
memijah. Dan banyak jenis hewan lain,
dari golongan ikan, reptil, burung dan lain-lain, yang datang ke estuaria untuk
mencari makanan (Nybakken, 1988).
Organisme terbanyak di estuaria adalah para
pemakan detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi
unsur hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang
tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa
cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang
selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan
pemangsa dan burung. Melihat banyaknya
jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan bahwa
rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka. Dengan
pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari
daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada
ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari system (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ mmpi5104/f_peranan_estuaria.htm).
Terumbu karang merupakan
komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di daerah tropika. Struktur dasar terumbu adalah bangunan kalsium karbonat (kapur) yang
sangat banyak, yang sebagian besar dibentuk oleh binatang karang (polip). Hewan karang ini termasuk kelas Anthozoa,
filum Coelenterata, yang hidup berkoloni dan masing-masing menempati semacam
mangkuk kecil dari bahan kapur yang keras tadi. Komunitas terumbu karang
merupakan salah satu komunitas yang paling kaya jenis di lautan dan bahkan juga
di dunia (Universitas Terbuka, 2014).
Sebetulnya
jenis-jenis binatang karang hidup di lautan di seluruh dunia, termasuk di
wilayah kutub dan ugahari (temperate, bermusim empat). Akan tetapi hanya
hewan karang hermatipik yang
bisa menghasilkan terumbu,
dan karang ini hidup terbatas di wilayah tropis. Salah satu sebabnya
ialah karena karang hermatipik hidup bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan
(dinoflagellata) di dalam sel-sel tubuhnya. Kehidupan simbiotik yang
dikenal sebagai zooxanthellae ini
memerlukan sinar matahari yang cukup sepanjang tahun untuk berfotosintesis, dan
lingkungan yang relatif hangat dengan suhu optimal perairan sekitar 23-250C
(http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ mmpi5104/ f_dskrip_tk.htm).
Konektivitas
a.
Integrasi migrasi biota
Migrasi biota laut
merupakan suatu hubungan yang penting dan nyata antara terumbu karang dan ekosistem
estuaria. Ada dua kategori migrasi biota, yaitu:
-
Migrasi
jangka pendek untuk makan
Tipe migrasi ini umumnya dilakukan oleh
biota-biota dewasa. Ada dua strategi migrasi makan, yaitu: (1) Edge feeders
merupakan biota yang memanfaatkan suatu sistem habitat untuk berlindung, namun
berkelana jauh dari sistemnya untuk mencari makan; dan (2) Tipe migratory
feeders memiliki jarak migrasi yang relative jauh dan memiliki waktu tertentu
dalam melakukan kegiatannya.
-
Migrasi
daur hidup antara sistem yang berbeda
Tipe migrasi ini sering dijumpai pada
spesies-spesies ikan dan udang yang diketahui melakukan pemijahan dan
pembesaran larva di hutan mangrove atau padang lamun yang tertunya melewati
ekositem estuaria. Hal ini dimungkinkan oleh tersedianya banyak ruang
berlindung, kaya akan sumber makanan, dan kondisi lingkungan perairan yang
lebih statis dibandingkan terumbu karang. Lambat laun biota tersebut tumbuh dan
menjadi besar, sehingga ruang berlindung yang tersedia sudah tidak memadai lagi
dan mereka pun bermigrasi ke perairan yang lebih dalam seperti terumbu karang
atau laut lepas.
b.
Interaksi spesies biota
Biota yang hidup di
ekosistem estuari umumnya adalah percampuran antara yang hidup endemik, artinya
yang hanya hidup di estuari, dengan mereka yang berasal dari laut dan beberapa
yang berasal dari perairan tawar, khususnya yang mempunyai kemampuan
osmoregulasi yang tinggi. Bagi kehidupan banyak biota akuatik komersial,
ekosistem estuari merupakan daerah pemijahan dan asuhan.
Kepiting, tiram dan banyak ikan komersial merupakan hewan estuari.
Udang niaga yang memijah di laut lepas membesarkan larvanya di ekosistem ini
dengan memanfaatkannya sebagai sumber makanan.
SIMPULAN
1.
Dari segi ekologis, ekosistem terumbu
karang mempunyai keterkaitan dengan ekosistem estuaria. Hal ini disebabkan
karena terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan
lautan. Berbagai dampak kegiatan manusia dan mahluk hidup serta perubahan
faktor fisik dan kimia lingkungan yang ada di ekosistem estuaria akan
menimbulkan dampak pula pada ekosistem terumbu karang. Demikian pula dengan
kegiatan yang dilakukan di laut lepas dan ekosistem terumbu karang.
2.
Dari segi biota, sebagian besar biota
penghuni ekosistem estuaria adalah biota yang berasal dari ekosistem terumbu
karang dan laut. Bagi banyak biota akuatik, ekosistem estuari merupakan daerah mencari makan,
pemijahan dan asuhan. Keterkaitan ekosistem antara ekosistem estuaria dan
terumbu karang menciptakan suatu variasi habitat yang mempertinggi
keanekaragaman jenis organism.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto R.H., 2012.
Hubungan
Ekologis dan Biologis yang terjadi antara Mangrove, Lamun, dan
Terumbu Karang. http://fisheries90.blogspot.com/2012/06/ hubungan-ekologis-dan-biologis-yang.html
http://geographylovers.files.wordpress.com/2011/05/ekologi-laut-tropis1.pdf
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_peranan_estuaria.htm
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_tipe_trumbu.htm
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_Keanekaragaman_tk.htm
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_dskrip_tk.htm
Kusumastanto T.,
Adrianto L., Damar A., 2012. Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka, Tangerang Selatan.
Nybakken,
J.W. 1988. Biologi Laut:
suatu pendekatan ekologis. Alih bahasa H. Muh. Eidman dkk.
Penerbit Gramedia, Jakarta.
Universitas
Terbuka, 2014. Materi Inisiasi 3 “Ekosistem
Estuaria”. http://student.ut.ac.id/
Universitas
Terbuka, 2014. Materi Inisiasi 4 “Ekosistem
Terumbu Karang”. http://student.ut.ac.id/
No comments:
Post a Comment