1.
Potensi
lamun
Luas
padang lamun di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 km2 yang
dihuni oleh 13 jenis lamun. Suatu padang
lamun dapat terdiri dari vegetasi tunggal yakni tersusun dari satu jenis lamun
saja ataupun vegetasi campuran yang terdiri dari berbagai jenis lamun. Di
setiap padang lamun hidup berbagai biota lainnya yang berasosiasi dengan lamun,
yang keseluruhannya terkait dalam satu rangkaian fungsi ekosistem.
Lamun
juga penting bagi perikanan, karena banyak jenis ikan yang mempunyai nilai
ekonomi penting, hidup di lingkungan lamun. Lamun dapat befungsi sebagai tempat
ikan berlindung, memijah dan mengasuh anakannya, dan sebagai tempat mencari
makan. Selain ikan, beberapa biota lainnya yang mempunyai nilai ekonomi juga
dapat dijumpai hidup di padang lamun seperti teripang, keong lola (Trochus),
udang dan berbagai jenis kerang-kerangan. Beberapa hewan laut yang sekarang
makin terancam dan telah dilindungi seperti duyung (dugong) dan penyu (terutama
penyu hijau) makanannya terutama teridiri dari lamun. Lamun juga mempunyai
hubungan interkoneksi dengan mangrove dan terumbu karang sehingga diantara
ketiganya dapat terjadi saling pertukaran energi dan materi.
Dilihat
dari aspek pertahanan pantai, padang
lamun dengan akar-akarnya yang mencengkeram dasar laut dapat meredam gerusan
gelombang laut hingga padang lamun dapat mengurangi dampak erosi. Padang lamun
juga dapat menangkap sedimen hingga akan membantu menjaga kualitas air.
2.
Gangguan
dan ancaman terhadap lamun
Meskipun
lamun kini diketahui mempunyai banyak manfaat, namun dalam kenyataannya lamun
menghadapi berbagai ganggujan dan ancaman. Gangguan dan ancaman terhadap lamun
pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan yakni gangguan alam dan
gangguan dari kegiatan manusia (antropogenik).
1)
Gangguan
alam
Fenomena
alam seperti tsunami, letusan gunung api, siklon, dapat menimbulkan kerusakan
pantai, termasuk juga terhadap padang lamun. Tsunami yang dipicu oleh gempa
bawah laut dapat menimbulkan gelombang dahsyat yang menghantam dan
memorak-perandakan lingkungan pantai, seperti terjadi dalam tsunami Aceh
(2004). Gempa bumi, seperti gempa bumi Nias (2005) mengangkat sebagian dasar laut hingga
terpapar ke atas permukaan dan menenggelamkan bagian lainnya lebih dalam. Debu
letusan gunung api seperti letusan Gunung Tambora (1815) dan Krakatau (1883)
menyelimuti perairan pantai sekitarnya dengan debu tebal, hingga melenyapkan
padang lamun di sekitarnya.
Siklon
tropis dapat menimbulkan banyak kerusakan pantai terutama di lintang 10 - 20o
Lintang Utara maupun Selatan, seperti yang sering menerpa Filipina dan pantai
utara Australia. Kerusakan padang lamun di pantai utara Australia karena
diterjang siklon sering dilaporkan. Indonesia yang berlokasi tepat di
sabuk katulistiwa, bebas dari jalur
siklon, tetapi dapat menerima imbas dari siklon daerah lain. Siklon Lena (1993)
di Samudra Hindia misalnya, lintasannya mendekati Timor dan menimbulkan
kerusakan besar pada lingkungan pantai
di Maumere.
Selain
kerusakan fisik akibat aktivitas kebumian, kerusakan lamun karena aktivitas
hayati dapat pula menimbulkan dampak negatif pada keberadaan lamun. Sekitar 10
– 15 % produksi lamun menjadi santapan hewan herbivor, yang kemudian masuk
dalam jaringan makanan di laut. Di
Indonesia, penyu hijau, beberapa jenis ikan, dan bulu babi, mengkonsumsi daun
lamun. Duyung tidak saja memakan bagian dedaunannya tetapi juga sampai ke akar
dan rimpangnya.
2)
Gangguan
dari aktivitas manusia
Pada
dasarnya ada empat jenis kerusakan lingkungan perairan pantai yang disebabkan
oleh kegiatan manusia, yang bisa memberikan dampak pada lingkungan lamun:
1) Kerusakan fisik yang menyebabkan
degradasi lingkungan, seperti penebangan mangrove, perusakan terumbu karang dan
atau rusaknya habitat padang lamun;
2) Pencemaran laut, baik pencemaran asal
darat, maupun dari kegiatan di laut;
3) Penggunaan alat tangkap ikan yang tak
ramah lingkungan;
4) Tangkap lebih, yakni eksploitasi
sumberdaya secara berlebihan hingga meliwati kemampuan daya pulihnya
5) Perubahan
fungsi pantai untuk pelabuhan atau dermaga.
6) Eutrofikasi
(Blooming mikro alga dapat menutupi lamun dalam memperoleh sinar matahari).
7) Aquakultur
(pembabatan dari hutan mangrove untuk tambak memupuk tambak).
8) Water
polution (logam berat dan minyak).
a)
Kerusakan
fisik
Kerusakan
fisik terhadap padang lamun telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah di
Indonesia. Di Pulau Pari dan Teluk Banten, kerusakan padang lamun disebabkan
oleh aktivitas perahu-perahu nelayan yang mengeruhkan perairan dan merusak padang
lamun. Reklamasi dan pembangunan kawasan industri dan pelabuhan juga telah
melenyapkan sejumlah besar daerah padang lamun seperti terjadi di Teluk Banten.
Di Teluk Kuta (Lombok) penduduk membongkar karang-karang dari padang lamun
untuk bahan konstruksi, atau untuk membuka usaha budidaya rumput laut. Demikian
pula terjadi di Teluk Lampung. Di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resor
pariwisata di pantai banyak yang tak mengindahkan garis sempadan pantai,
pembangunan resor banyak mengorbankan padang lamun.
b.
Pencemaran
laut
Pencemaran
laut dapat bersumber dari darat (land based) ataupun dari kegiatan di
laut (sea based). Pencemaran asal darat dapat berupa limbah dari
berbagai kegiatan manusia di darat seperti limbah rumah tangga, limbah
industri, limbah pertanian, atau pengelolaan lahan yang tak memperhatikan
kelestarian lingkungan seperti pembalakan hutan yang menimbulkan erosi dan
mengangkut sedimen ke laut. Bahan pencemar asal darat dialirkan ke laut lewat
sungai-sungai atau limpasan (runoff).
Masukan
hara (terutama fosfat dan nitrat) ke
perairan pantai dapat menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan
berlebihan, yang mengakibatkan timbulnya ledakan populasi plankton (blooming)
yang mengganggu pertumbuhan lamun. Epiffit yang hidup menempel di permukaan daun
lamun juga dapat tumbuh kelewat subur dan menghambat pertumbuhan lamun.
Kegiatan penambangan didarat, seperti tambang bauksit di Bintan, limbahnya
terbawa ke pantai dan merusak padang lamun di depannya.
Pencemaran
dari kegiatan di laut dapat terjadinya misalnya pada tumpahan minyak di laut,
baik dari kegiatan perkapalan dan pelabuhan, pemboran, debalasting muatan kapal
tanker. Bencana yang amat besar terjadi saat kecelakaan tabrakan atau kandasnya
kapal tanker yang menumpahkan muatan minyaknya ke perairan pantai, seperti
kasus kandasnya supertanker Showa Maru yang merusak perairan pantai
Kepuluan Riau.
c. Penggunaan alat tangkap tak ramah
lingkungan
Beberapa
alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan dapat menimbulkan kerusakan pada
padang lamun seperti pukat harimau yang mengeruk dasar laut. Penggunaan bom dan
racun sianida juga ditengarai menimbulkan kerusakan padang lamun. Di Lombok
Timur dilaporkan kegiatan perikanan dengan bom dan racun yang menyebabkan
berkurangnya kerapatan dan luas tutupan lamun.
d. Tangkap lebih
Salah
satu tekanan berat yang menimpa ekosistem padang lamun adalah tangkap lebih (over
fishing), yakni eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan hingga
melampaui kemampuan ekosistem untuk segera memulihkan diri. Tangkap lebih bisa terjadi
pada ikan maupun hewan lain yang berasosiasi dengan lamun. Banyak jenis ikan
lamun yang kini semakin sulit dicari,
dan ukurannya pun semakin kecil. Demikian pula teripang pasir (Holothuria
scabra), dan keong lola (Trochus)
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sekarang sudah sangat sulit
dijumpai dalam alam. Duyung yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada lamun
kini telah menjadi hewan langka yang
dilindungi, demikian pula dengan penyu, terutama penyu hijau.
B.
Akar
masalah pengelolaan
Merujuk
pada gangguan atau kerusakan padang lamun seperti disebut di atas, maka
perlulah diidentifikasi akar masalahnya. Pada dasarnya manusia tak dapat
mengontrol dan mengelola fenomena alam seperti tsunami, gempa, siklon. Kita
hanya bisa melakukan mitigasi atau penanggulangan akibat yang ditimbulkannya.
Di samping itu alam juga mempunyai ketahanan (resilience) dan
mekanismenya sendiri untuk memulihkan dirinya dari gangguan sampai batas
tertentu.
Dalam
pengelolaan padang lamun, yang terpenting adalah mengenali terlebih dahulu akar
masalah rusaknya padang lamun yang pada dasarnya bersumber pada perilaku
manusia yang merusaknya. Berdasarkan
acuan tersebut maka akar masalah terjadinya kerusakan padang lamun dapat
dikenali sebagai berikut:
1
Kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang lamun dan perannya dalam lingkungan.
2
Kemiskinan
masyarakat
3
Keserakahan
mengeksploitasi sumberdaya laut;
4
Kebijakan
pengelolaan yang tak jelas;
5
Kelemahan
perundangan
6
Penegakan
hukum yang lemah
C. Pengelolaan
Ekosistem Lamun
Pelestarian ekosistem padang lamun
merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan
tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang
berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini
dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian,
sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan
kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan
porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu
diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama
penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat
terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang
masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Salah satu strategi penting yang
saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya
alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyakaratak
(Community Based Management). Raharjo (1996) mengemukakan bahwa
pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat
dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam konteks ini pula perlu
diperhatikan mengenai karakteristik lokal dari masyakarakat di suatu
kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber
daya alam pesisir adalah dekstrusi masyakarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Oleh karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian
yang tujuannya adalah untuk mangurangi tekanan terhadap sumberdaya
pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut.
D.
Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
Dalam perencanaan pembangunan pada
suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan
pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang
berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan
pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan
terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu
pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
E. Pengelolaan
Berbasis Masyarakat
Menurut definisi, pengelolaan
sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan
yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai
pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau
berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut
(Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base
management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung
jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya,
dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta
aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang
dimaksudkan di sini adalah co-management (pengelolaan bersama), yakni
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah
setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam
kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Pengelolaan berbasis
masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk
memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka
dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah dukungan untuk mengelola dan
menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan
untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini
menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari
pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dalam
pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang peranan penting
dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah
disepakati bersama. Sebaliknya, bila tidak ada dukungan partisipasi masyarakat
terhadap program yang sudah direncanakan oleh pemerintah, maka hasilnya tidak
akan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat
secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan.
Konsep pengelolaan yang mampu
menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan
pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management (Pomeroy dan
Williams, 1994). Dalam konsep Cooperative Management, ada dua pendekatan
utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (goverment
centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community
based management). Dalam konsep ini masyarakat lokal merupakan partner
penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam
pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah
satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek
pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara
langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak ada pengelolaan sumberdaya
alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai
pengguna dari sumberdaya alam tersebut.
Menurut Dahuri (2003) mengatakan
bahwa ada dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat,
yaitu: (1) konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah,
masyarakat pesisir, dan peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya), dan (2)
pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggung
jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat.
Konsep pengelolaan berbasis
masyarakat memiliki beberapa aspek positif (Carter, 1996), yaitu: (1) mampu
mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu
merefleksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3 )mampu
meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsif dan adaptif
terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal, (5) mampu meningkatkan
manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu menumbuhkan
stabilitas dan komitmen, dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola
secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun
pada dasarnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar
pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan
mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat permasalahan
pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yang menyangkut berbagai sektor,
maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri,
tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait. Kegagalan
pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh
masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan
sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program pembangunan
di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh atau
kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya
menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini
tidak mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang
lamun berbasis masyarakat ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah semua
komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam
pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun, diantaranya adalah
masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan peneliti lainnya.
Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt dapat diartikan
sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat
dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi.
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis
masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan,
sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya.
Pengelolaan berbasis masyarakat
harus mampu memecahkan dua persoalan utama, yaitu:
a)
masalah sumberdaya hayati (misalnya,
tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan
ekosistem dan konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan
modern),
b)
masalah lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang lamun
sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air,
pencemaran).
F.
Pendekatan Kebijakan
Perumusan kebijaksanaan pengelolaan
ekosistem padang lamun memerlukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan secara
optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan keterpaduan. Pendekatan kebijakan
ini mengacu kepada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara
terpadu, yaitu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
yang ada di wilayah pesisir. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penilaian
menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta merencanakan
kegiatan pembangunan. Pengelolaan ekosistem padang lamun secara terpadu
mencakup empat aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan
sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholders
(pemakai).
G.
Rehabilitasi
padang lamun
Merujuk
pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan utama dari
aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua
pendekatan: yakni: 1) rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) , dan 2)
rehabilitasi keras (hard rehabilitation).
1.
Rehabilitasi lunak
Rehabilitasi
lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah, dengan asumsi jika akar masalah dapat
diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi dirinya
sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian
perilaku manusia.
Rehabilitasi lunak bisa mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)
Kebijakan
dan strategi pengelolaan. Dalam
pengelolaan lingkungan diperlukan kebijakan dan strategi yang jelas untuk
menjadi acuan pelaksanaan oleh para pemangku kepentingan (stake holders).
b)
Penyadaran
masyarakat (Public awareness). Penyadaran masyarakat dapat dilaksanakan
dengan berbagai pendekatan seperti:
1)
Kampanye
penyadaran lewat media elektronik (televisi, radio), ataupun lewat media cetak
(koran, majalah, dll)
2)
Penyebaran
berbagai materi kampanye seperti: poster, sticker, flyer, booklet, dan
lain-lain
3)
Pengikut-sertaan
tokoh masyarakat (seperti pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh wanita,
seniman, dll) dalam penyebar-luasan
bahan penyadaran.
c)
Pendidikan.
Pendidikan mengenai lingkungan termasuk pentingnya melestarikan
lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan lewat jalur pendidikan
formal dan non-formal
d)
Pengembangan
riset. Riset
diperlukan untuk mendapatkan informasi yang akurat untuk mendasari pengambilan
keputusan dalam pengelolaan lingkungan.
e)
Mata
pencaharian alternatif. Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk
mengembangkan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat yang lebih sejahtera lebih mudah diajak untuk menghargai dan
melindungi lingkungan.
f)
Pengikut
sertaan masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan lingkungan dapat memberi
motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin keberlanjutannya. Kegiatan bersih
pantai dan pengelolaan sampah misalnya merupakan bagian dari kegiatan ini.
g)
Pengembangan
Daerah Pelindungan Padang Lamun (segrass sanctuary) berbasis masyarakat. Daerah Perlindungan Padang Lamun
(DPPL) merupakan bank sumberdaya yang dapat lebih menjamin ketersediaan
sumberdaya ikan dalam jangka panjang. DPPL berbasis masyrakat lebih menjamin
keamanan dan keberlanjutan DPPL.
h)
Peraturan
perundangan. Pengembangan
pengaturan perundangan perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak
meninggalkan kepentingan masyarakat luas.
Keberadaan hukum adat, serta kebiasaan masyarakat lokal perlu dihargai
dan dikembangkan.
i)
Penegakan
hukum secara konsisten. Segala peraturan perundangan tidak
akan ada manfaatnya bila tidak dapat ditegakkan secara konsisten.
Lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum perlu diperkuat, termasuk
lembaga-lembaga adat.
2. Rehabilitasi keras
Rehabilitasi
keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di lapangan. Ini dapat
dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi
lamun di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan transplantasi lamun
belum berkembang luas di Indonesia. Berbagai percobaan transpalantasi lamun
telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang masih dalam
taraf awal. Pengembangan transplantaasi lamun telah dilaksanakan di luar negeri
dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Sumber:
Suharni dan
Iman. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Lamun.
Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
No comments:
Post a Comment