Thursday 8 September 2016

MENGENAL RUMPON

Saat anda mempelajari metoda penangkapan yang mendasari teknologi penangkapan ikan, terdapat empat faktor utama yang harus anda pahami, yaitu: Ikan apa yang hendak ditangkap (Biologi Ikan),  dimana ikan akan ditangkap (fish ground), bagaimana sifatnya (fish behaviour) dan berapa jumlah yang akan/boleh ditangkap (stock assessments dan kelestarian).  Dari keempat faktor di atas, fish ground merupakan faktor penentu dalam menentukan keberhasilan penangkapan ikan, tanpa mengetahui fish ground ikan yang menjadi tujuan daerah penangkapan adalah pekerjaan menangkap ikan yang sia-sia.  Fish ground di alam merupakan suatu lingkungan kehidupan yang disukai ikan untuk berkumpul.  Berbagai faktor yang menyebabkan ikan mau berkumpul di lingkungan yang sesuai untuknya, yang dapat dipelajari pada mata kuliah biologi perikanan.  Secara umum ikan akan berkumpul saat makan, saat hendak memijah, dan saat bermigrasi (tuna adalah ikan yang bersifat higly migratory).
Sebuah pertanyaan yang selalu menggelitik para nelayan adalah bagaimana menangkap ikan yang paling mudah.  Jawabannya sederhana mungkin “jawaban bodoh” adalah menangkap ikan yang sedang “ngumpul” dan syukur-syukur “diem”.   Pernyataan “ngumpul dan diem” inilah yang memacu para nelayan berupaya mengumpulkan ikan dengan berbagai cara.  Cara yang sudah lama kita kenal adalah dengan menggunakan rumpon (fish agregate device) dan menggunakan atraksi cahaya. 
Mencari fish ground alam bukan pekerjaan mudah. Contoh yang paling sederhana adalah pada penangkapan ikan kembung dengan menggunakan payang tradisional,  kumpulan ikan hanya dapat diketahui oleh para nelayan yang sudah berpengalaman, atau berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari orang-orang tua mereka, bahkan tidak jarang dibarengi dengan mistis.  Contoh pada perikanan modern, bagaimana hunting purse seiner “around the ocean, by day, by weeks, even by month” hanya untuk mencari dan mengejar kumpulan-kumpulan ikan tuna yang sedang bermigrasi.
Di Indonesia penelitian-penelitian tentang keempat hal tersebut di atas terutama mengenai ikan-ikan yang hidup di kawasan perairan Indonesia boleh dikatakan masih langka.  Banyak data yang masih tersimpan di benak-benak para nelayan, para fishing master dan nakhoda kapal penangkap ikan bahkan perusahaan perikanan.  Indonesia sudah mencoba suatu langkah yang didasarkan pada teknologi penginderaan jarak jauh (Indrajah, remote sensing) sehingga mampu memantau perubahan suhu dan kandungan klorofil di permukaan laut hampir diseluruh perairan Indonesia.  Namun demikian perlu diingat bahwa, teknologi ini didasarkan pada pendeteksian perubahan suhu permukaan dan pergerakan air laut, sehingga untuk menentukan suatu fishing ground diperlukan data pendukung utama, yaitu data (insitu) hasil tangkapan.  Data inilah yang sulit diperoleh selain untuk melakukan penelitian yang demikian memerlukan biaya yang tidak sedikit dimana kita (Indonesia) belum banyak memilikinya.   Data indrajah dapat diperoleh setiap saat, namun data hasil tangkapan kontinu dari waktu ke waktu pada fishing ground yang sama masih menjadi pertanyaan besar.    Secara nasional Indonesia (dalam hal ini Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan telah menerapkan Proyek Fishing Log Book) dimana data hasil tangkapan di berbagai tempat pendaratan ikan dan kapal-kapal penangkap “diharapkan” dapat dicatat.  Selain itu Indonesia telah lama mengenal teknologi pendeteksian bawah air (Underwater fish detection devices). Dari hanya untuk memperkirakan kedalaman perairan hingga sekarang dapat digunakan untuk memprediksi baik karakteristik  perairan maupun biotanya.  Data hasil pendeteksian fish finder diproses dengan menggunakan program analisis seperti EP 500 pada komputer PC sederhana, atau secara life video sehingga dapat diprediksi jumlah densitas per spesies dan ukuran per ekor, berdasarkan layer tertentu dari dasar laut hingga ke permukaan dan kawasan, bahkan kecepatan dan arah pergerakan (schooling maupun individu), berdasarkan ukuran layer.  Mungkin suatu saat berbagai upaya di atas akan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu daerah penangkapan ikan tertentu pada waktu tertentu dan tersedia secara kontinu sekaligus “dapat dipahami dan mudah serta disukai” oleh para nelayan.
Berbicara mengenai fishing ground, tidak boleh terlepas dari berbagai kondisi perairan yang dinamis, kitapun harus memahami physical oceanography-nya, harus mengetahui kondisi dasar perairannya, dan lain sebagainya semua faktor alam yang mempengaruhi teknologi penangkapan ikan, seperti arus, angin, musim, gelombang, dll.).  Kondisi fisik daerah penangkapan akan sangat mempengaruhi Teknik Penangkapannya (fishing technique), Kapal Penangkap (fishing vessel), Disain Alat Penangkap Ikan (fishing gear design), Perlengkapan Kapal Penangkap Ikan (fishing equipment), Perlengkapan Komunikasi (communication equipment),  Perlengkapan Navigasi (navigational equipment), Kualifikasi dan kualitas SDM (fishing master, nakhoda, dan anak kapalnya), Biaya Operasional (bahan bakar, pelumas, bahan makanan, hak dan jaminan sosial bagi awak kapal seperti: gaji, premi, asuransi, sakit, bahkan keluarga yang ditinggalkannya), hingga manajemen.
Ikan pada umumnya adalah predator, yang besar memakan yang lebih kecil, yang paling kecil memakan crustacea, crustacea memakan plankton.  Sehingga pada salah satu mata rantai makannya adalah sangat tergantung dengan adanya unsur hara, chlorophyl dan sinar matahari menciptakan proses photosintesanya. 
Indonesia memperoleh sinar matahari sepanjang tahun. Hampir seluruh pulau-pulau besar memiliki sungai yang mengalirkan “bahan unsur hara, yang belum terdekomposisi..??”, pada kenyatanya, dengan terjadinya penggundulan hutan, maka yang dialirkan adalah sampah hutan dan endapan lumpur.  Diperparah lagi dengan hampir punahnya hutan mangrove dimana terciptanya awal rantai makanan biota laut.  Dengan kata lain sebesar apapun ikan di samudra sana, makanannya berawal di mangrove. 
Belajar dari phenomena ini maka terciptalah fish ground buatan.  Awalnya rumpon dibuat untuk menghasilkan unsur hara ditengah laut dari daun kelapa yang membusuk, kemudian terciptalah photosintesa, berlanjut dengan tumbuhnya phitoplankton, zoo plankton, berkumpul pula crustacea, dan biota laut tingkat tinggi yang berukuran makin besar dan makin besar akibat adanya sifat predator. 
Kita mengenal dua jenis fish ground, pertama adalah fish ground alami, dan kedua adalah fisih ground buatan.  Fish ground alami adalah fish ground yang sudah ada di laut.  Sedangkan fish ground buatan adalah fish ground yang diciptakan oleh manusia yang dibuat semirip mungkin dengan fish ground alami, yang dikenal dengan rumpon (Fish Aggregate Devices; FAD). 
Ditinjau dari konstruksi dan lokasi pemasangannya rumpon dibagi menjadi dua jenis, yaitu rumpon dangkal dan rumpon laut dalam. Dewasa ini, dengan diciptakannya alat pendeteksi bawah air (fish finder) yang cukup terjangkau harganya.  Rumpon tidak lagi dibuat untuk menciptakan rantai makanan, tapi rumpon dimanfaatkan sebagai attractor di fish ground yang telah diketahui melalui fish finder.
Ditinjau dari segi pengoperasiannya dibagi menjadi dua pula, yaitu rumpon tidak tetap (rumpon kenvensional yang berasal dari Tegal, Pekalongan, dan sekitarnya), dan rumpon tetap (rompong di Sulawesi dan payaos dari Filipina).  Sedangkan ditinjau dari segi bahan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.    Rumpon yang terbuat dari bagian tumbuhan.
2.    Rumpon yang terbuat bukan tumbuhan
3.    Rumpon yang terbuat dari gabungan bagian tumbuhan dan bukan tumbuhan  
Fishing ground buatan adalah suatu metoda bagaimana mengumpulkan ikan dengan menciptakan suasana atau lingkungan yang mirip dengan habitat asli dari jenis ikan yang hendak dikumpulkan. Pemilihan bahan untuk rumpon didasarkan pada penciptaan kondisi lingkungan tersebut.  Salah satunya untuk menciptakan rantai makanan.  Rantai makanan dibagi dalam dua proses.  Proses pertama menciptakan rantai makanan (food chain) yang akan menghasilkan kelimpahan zooplankton dan macronekton.  Proses kedua adalah menciptakan berlangsungnya hukum alam pada kehidupan ikan yaitu sifat predator (ikan besar memakan ikan yang kecil).  Pada proses yang kedua inilah yang diharapkan terjadi pengumpulan berbagai jenis dan ukuran ikan, dimulai dari ikan-ikan kecil hingga yang lebih besar secara bertahap.  Bila diperkirakan telah berkumpul ikan-ikan dalam jumlah yang banyak maka fungsi rumpon telah tercipta dengan baik.
Proses dekomposisi pada tumbuhan yang direndam di air laut hingga menghasilkan makanan yang diperlukan melalui beberapa tahapan.
Tahap pertama:        Proses pembusukan (dekomposisi) tumbuhan (chlorophyll) akan menumbuhkan diatomeae.
Tahap kedua:           Melimpahkan diatom yang sangat diperlukan sebagai makanan bagi phytoplankton. 


Tahap ketiga:           Terkonsentrasinya phytoplankton yang merupakan makanan utama bagi zooplankton.  (Phytoplankton dan zooplankton telah ada melimpah di seluruh lapisan perairan laut yang dapat cepat berkembang biak).

Setelah melimpahnya zooplankton maka akan mengundang ikan-ikan kecil untuk berkumpul dan memakannya.   Pada tahapan ini terjadilah proses kedua yaitu, penciptaan kondisi lingkungan  dimana ikan besar memakan ikan kecil.  Sekaligus memberikan perlindungan kepada ikan kecil untuk tidak dimakan secara langsung oleh ikan-ikan besar.   Sifat perlindungan rumpon terhadap ikan kecil ini ditujukan untuk memperpanjang waktu sehingga ikan-ikan dari berbagai jenis dan ukuran dapat lebih banyak berkumpul dalam jumlah yang besar. 


Gambar 1. Rumpon buatan konvensional
Pelampung (antang)
Jangkar
Tanda (umbul)
Gambar 2.  Komponen rumpon konvensional
PERSYARATAN:
1.    Tumbuhan harus yang mengandung banyak chlorophyll dan segar (bukan kering).
2.    Harus dapat cepat membusuk dan tahan lama (sekitar 15 hari) atau lebih (beserat memanjang dan liat).
3.    Harus dapat menciptakan lingkungan yang teduh (untuk berlindung dari biota yang tingkatnya lebih tinggi dan sinar matahari langsung).
4.    Mudah diangkat, diperbaharui, dipindah dan murah harganya.  

Proses pengumpulan ikan di rumpon sama dengan yang dijelaskan di atas, hanya saja ada perbedaan proses yang terjadi pada rumpon yang terbuat dari bahan bukan tumbuhan.  Rumpon yang terbuat dari tumbuhan tidak mampu bertahan lama (15 hari), sehingga diperlukan perbaikan, penambahan atau penggantian rumpon yang mengakibatkan pemborosan waktu, dan biaya yang berefek pada non efisiensi.   Proses siklus rantai makanan dan siklus kehidupan biota laut dari rumpon non tumbuhan (Gambar 113 – 115) adalah bersumber dari food chain dan coral life  cycle,  yaitu memberikan tempat tumbuh atau menempel biota karang sesuai dengan tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi dalam proses pembentukan lingkungan karang yang diupayakan untuk menciptakan habitat dari jenis ikan tertentu.
Rumpon laut dalam dapat dipasang pada kedalaman antara 270 – 3.700 m, dengan berbagai disain mulai dari pelampung bambu, drum, pontoon besi, pontoon alumunium, dan fiber glass.
Perkembangan FAD dengan berbagai keberhasilannya dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul dalam jumlah besar, telah mempengaruhi seluruh tingkat perikanan, tidak hanya perikanan artisanal atau subsistence, dapat meningkatkan hasil tangkap dan dapat melakukan penangkapan harian (one day fishing) juga  perikanan komersil dapat meningkatkan hasil tangkapannya dengan tajam, leisure fishing hampir setiap hari dapat menangkap ikan. 
FAD juga dapat mengurangi konsumsi bahan bakar, dengan mengurangi waktu pencarian (searching time) ikan, ikan-ikan besar yang berada di bawah rumpon dapat ditangkap dengan hand line sementara kapal drifting (Shomura, et al., 1982).

Sumber:

Santoso. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Seluk Beluk Rumpon dan Pemasangannya. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

No comments:

Pengembangan Produk Bekicot Ala Sushi

Permakluman:  Produk-produk yang ditampilkan merupakan Produk Olahan Hasil Perikanan Karya Finalis Lomba Inovator Pengembangan Produk ...