Saat anda mempelajari metoda penangkapan
yang mendasari teknologi penangkapan ikan, terdapat empat faktor utama yang
harus anda pahami, yaitu: Ikan apa yang hendak ditangkap (Biologi Ikan), dimana ikan akan ditangkap (fish ground),
bagaimana sifatnya (fish behaviour) dan berapa jumlah yang akan/boleh ditangkap
(stock assessments dan kelestarian).
Dari keempat faktor di atas, fish ground merupakan faktor penentu dalam
menentukan keberhasilan penangkapan ikan, tanpa mengetahui fish ground ikan
yang menjadi tujuan daerah penangkapan adalah pekerjaan menangkap ikan yang
sia-sia. Fish ground di alam merupakan
suatu lingkungan kehidupan yang disukai ikan untuk berkumpul. Berbagai faktor yang menyebabkan ikan mau
berkumpul di lingkungan yang sesuai untuknya, yang dapat dipelajari pada mata
kuliah biologi perikanan. Secara umum
ikan akan berkumpul saat makan, saat hendak memijah, dan saat bermigrasi (tuna
adalah ikan yang bersifat higly migratory).
Sebuah pertanyaan yang selalu menggelitik
para nelayan adalah bagaimana menangkap ikan yang paling mudah. Jawabannya sederhana mungkin “jawaban bodoh”
adalah menangkap ikan yang sedang “ngumpul” dan syukur-syukur “diem”. Pernyataan “ngumpul dan diem” inilah yang
memacu para nelayan berupaya mengumpulkan ikan dengan berbagai cara. Cara yang sudah lama kita kenal adalah dengan
menggunakan rumpon (fish agregate device) dan menggunakan atraksi cahaya.
Mencari fish ground alam bukan pekerjaan
mudah. Contoh yang paling sederhana adalah pada penangkapan ikan kembung dengan
menggunakan payang tradisional, kumpulan
ikan hanya dapat diketahui oleh para nelayan yang sudah berpengalaman, atau
berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari orang-orang tua mereka, bahkan tidak
jarang dibarengi dengan mistis. Contoh
pada perikanan modern, bagaimana hunting purse seiner “around the ocean, by
day, by weeks, even by month” hanya untuk mencari dan mengejar kumpulan-kumpulan
ikan tuna yang sedang bermigrasi.
Di Indonesia penelitian-penelitian
tentang keempat hal tersebut di atas terutama mengenai ikan-ikan yang hidup di
kawasan perairan Indonesia boleh dikatakan masih langka. Banyak data yang masih tersimpan di
benak-benak para nelayan, para fishing master dan nakhoda kapal penangkap ikan
bahkan perusahaan perikanan. Indonesia sudah
mencoba suatu langkah yang didasarkan pada teknologi penginderaan jarak jauh
(Indrajah, remote sensing) sehingga
mampu memantau perubahan suhu dan kandungan klorofil di permukaan laut hampir
diseluruh perairan Indonesia . Namun demikian perlu diingat bahwa, teknologi
ini didasarkan pada pendeteksian perubahan suhu permukaan dan pergerakan air
laut, sehingga untuk menentukan suatu fishing ground diperlukan data pendukung
utama, yaitu data (insitu) hasil tangkapan. Data inilah yang sulit diperoleh selain untuk
melakukan penelitian yang demikian memerlukan biaya yang tidak sedikit dimana
kita (Indonesia) belum banyak memilikinya.
Data indrajah dapat diperoleh setiap saat, namun data hasil tangkapan kontinu
dari waktu ke waktu pada fishing ground yang sama masih menjadi pertanyaan
besar. Secara nasional Indonesia
(dalam hal ini Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan telah
menerapkan Proyek Fishing Log Book) dimana data hasil tangkapan di berbagai
tempat pendaratan ikan dan kapal-kapal penangkap “diharapkan” dapat
dicatat. Selain itu Indonesia telah lama
mengenal teknologi pendeteksian bawah air (Underwater fish detection devices).
Dari hanya untuk memperkirakan kedalaman perairan hingga sekarang dapat
digunakan untuk memprediksi baik karakteristik
perairan maupun biotanya. Data
hasil pendeteksian fish finder diproses dengan menggunakan program analisis seperti
EP 500 pada komputer PC sederhana, atau secara life video sehingga dapat diprediksi jumlah densitas per spesies
dan ukuran per ekor, berdasarkan layer tertentu dari dasar laut hingga ke
permukaan dan kawasan, bahkan kecepatan dan arah pergerakan (schooling maupun individu), berdasarkan
ukuran layer. Mungkin suatu saat berbagai
upaya di atas akan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu daerah
penangkapan ikan tertentu pada waktu tertentu dan tersedia secara kontinu
sekaligus “dapat dipahami dan mudah serta disukai” oleh para nelayan.
Berbicara mengenai fishing ground, tidak
boleh terlepas dari berbagai kondisi perairan yang dinamis, kitapun harus
memahami physical oceanography-nya, harus mengetahui kondisi dasar
perairannya, dan lain sebagainya semua faktor alam yang mempengaruhi teknologi
penangkapan ikan, seperti arus, angin, musim, gelombang, dll.). Kondisi fisik daerah penangkapan akan sangat
mempengaruhi Teknik Penangkapannya (fishing
technique), Kapal Penangkap (fishing
vessel), Disain Alat Penangkap Ikan (fishing
gear design), Perlengkapan Kapal Penangkap Ikan (fishing equipment), Perlengkapan Komunikasi (communication equipment),
Perlengkapan Navigasi (navigational
equipment), Kualifikasi dan kualitas SDM (fishing master, nakhoda, dan anak
kapalnya), Biaya Operasional (bahan bakar, pelumas, bahan makanan, hak dan
jaminan sosial bagi awak kapal seperti: gaji, premi, asuransi, sakit, bahkan
keluarga yang ditinggalkannya), hingga manajemen.
Ikan pada umumnya adalah predator, yang
besar memakan yang lebih kecil, yang paling kecil memakan crustacea, crustacea
memakan plankton. Sehingga pada salah
satu mata rantai makannya adalah sangat tergantung dengan adanya unsur hara,
chlorophyl dan sinar matahari menciptakan proses photosintesanya.
Indonesia memperoleh sinar matahari
sepanjang tahun. Hampir seluruh pulau-pulau besar memiliki sungai yang
mengalirkan “bahan unsur hara, yang belum terdekomposisi..??”, pada kenyatanya,
dengan terjadinya penggundulan hutan, maka yang dialirkan adalah sampah hutan
dan endapan lumpur. Diperparah lagi
dengan hampir punahnya hutan mangrove dimana terciptanya awal rantai makanan
biota laut. Dengan kata lain sebesar
apapun ikan di samudra sana, makanannya berawal di mangrove.
Belajar dari phenomena ini maka
terciptalah fish ground buatan. Awalnya
rumpon dibuat untuk menghasilkan unsur hara ditengah laut dari daun kelapa yang
membusuk, kemudian terciptalah photosintesa, berlanjut dengan tumbuhnya
phitoplankton, zoo plankton, berkumpul pula crustacea, dan biota laut tingkat
tinggi yang berukuran makin besar dan makin besar akibat adanya sifat
predator.
Kita mengenal dua jenis fish ground,
pertama adalah fish ground alami, dan kedua adalah fisih ground buatan. Fish ground alami adalah fish ground yang
sudah ada di laut. Sedangkan fish ground
buatan adalah fish ground yang diciptakan oleh manusia yang dibuat semirip
mungkin dengan fish ground alami, yang dikenal dengan rumpon (Fish Aggregate
Devices; FAD).
Ditinjau dari konstruksi dan lokasi
pemasangannya rumpon dibagi menjadi dua jenis, yaitu rumpon dangkal dan rumpon
laut dalam. Dewasa ini, dengan diciptakannya alat pendeteksi bawah air (fish
finder) yang cukup terjangkau harganya.
Rumpon tidak lagi dibuat untuk menciptakan rantai makanan, tapi rumpon
dimanfaatkan sebagai attractor di fish ground yang telah diketahui melalui fish
finder.
Ditinjau dari segi pengoperasiannya
dibagi menjadi dua pula, yaitu rumpon tidak tetap (rumpon kenvensional yang
berasal dari Tegal, Pekalongan, dan sekitarnya), dan rumpon tetap (rompong di Sulawesi dan payaos dari Filipina). Sedangkan ditinjau dari segi bahan dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Rumpon
yang terbuat dari bagian tumbuhan.
2. Rumpon
yang terbuat bukan tumbuhan
3.
Rumpon yang terbuat dari
gabungan bagian tumbuhan dan bukan tumbuhan
Fishing ground buatan adalah suatu metoda
bagaimana mengumpulkan ikan dengan menciptakan suasana atau lingkungan yang
mirip dengan habitat asli dari jenis ikan yang hendak dikumpulkan. Pemilihan
bahan untuk rumpon didasarkan pada penciptaan kondisi lingkungan tersebut. Salah satunya untuk menciptakan rantai
makanan. Rantai makanan dibagi dalam dua
proses. Proses pertama menciptakan
rantai makanan (food chain) yang akan menghasilkan kelimpahan zooplankton dan
macronekton. Proses kedua adalah
menciptakan berlangsungnya hukum alam pada kehidupan ikan yaitu sifat predator
(ikan besar memakan ikan yang kecil).
Pada proses yang kedua inilah yang diharapkan terjadi pengumpulan
berbagai jenis dan ukuran ikan, dimulai dari ikan-ikan kecil hingga yang lebih
besar secara bertahap. Bila diperkirakan
telah berkumpul ikan-ikan dalam jumlah yang banyak maka fungsi rumpon telah
tercipta dengan baik.
Proses dekomposisi pada tumbuhan yang
direndam di air laut hingga menghasilkan makanan yang diperlukan melalui
beberapa tahapan.
Tahap pertama: Proses pembusukan (dekomposisi) tumbuhan (chlorophyll) akan
menumbuhkan diatomeae.
Tahap kedua: Melimpahkan diatom yang sangat diperlukan sebagai makanan
bagi phytoplankton.
Tahap ketiga: Terkonsentrasinya phytoplankton yang
merupakan makanan utama bagi zooplankton.
(Phytoplankton dan zooplankton telah ada melimpah di seluruh lapisan
perairan laut yang dapat cepat berkembang biak).
Setelah
melimpahnya zooplankton maka akan mengundang ikan-ikan kecil untuk berkumpul
dan memakannya. Pada tahapan ini
terjadilah proses kedua yaitu, penciptaan kondisi lingkungan dimana ikan besar memakan ikan kecil. Sekaligus memberikan perlindungan kepada ikan
kecil untuk tidak dimakan secara langsung oleh ikan-ikan besar. Sifat perlindungan rumpon terhadap ikan
kecil ini ditujukan untuk memperpanjang waktu sehingga ikan-ikan dari berbagai
jenis dan ukuran dapat lebih banyak berkumpul dalam jumlah yang besar.
Gambar 1. Rumpon
buatan konvensional
|
|
|
Pelampung
(antang)
|
Jangkar
|
Tanda
(umbul)
|
Gambar 2. Komponen
rumpon konvensional
PERSYARATAN:
1. Tumbuhan
harus yang mengandung banyak chlorophyll dan segar (bukan kering).
2. Harus
dapat cepat membusuk dan tahan lama (sekitar 15 hari) atau lebih (beserat
memanjang dan liat).
3. Harus
dapat menciptakan lingkungan yang teduh (untuk berlindung dari biota yang
tingkatnya lebih tinggi dan sinar matahari langsung).
4. Mudah
diangkat, diperbaharui, dipindah dan murah harganya.
Proses pengumpulan ikan di rumpon sama
dengan yang dijelaskan di atas, hanya saja ada perbedaan proses yang terjadi
pada rumpon yang terbuat dari bahan bukan tumbuhan. Rumpon yang terbuat dari tumbuhan tidak mampu
bertahan lama (15 hari), sehingga diperlukan perbaikan, penambahan atau
penggantian rumpon yang mengakibatkan pemborosan waktu, dan biaya yang berefek
pada non efisiensi. Proses siklus
rantai makanan dan siklus kehidupan biota laut dari rumpon non tumbuhan (Gambar
113 – 115) adalah bersumber dari food chain dan coral life cycle,
yaitu memberikan tempat tumbuh atau menempel biota karang sesuai dengan
tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi dalam proses pembentukan
lingkungan karang yang diupayakan untuk menciptakan habitat dari jenis ikan
tertentu.
Rumpon laut dalam dapat dipasang pada
kedalaman antara 270 – 3.700 m, dengan berbagai disain mulai dari pelampung
bambu, drum, pontoon besi, pontoon alumunium, dan fiber glass.
Perkembangan FAD dengan berbagai
keberhasilannya dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul dalam jumlah
besar, telah mempengaruhi seluruh tingkat perikanan, tidak hanya perikanan
artisanal atau subsistence, dapat meningkatkan hasil tangkap dan dapat
melakukan penangkapan harian (one day fishing) juga perikanan komersil dapat meningkatkan hasil
tangkapannya dengan tajam, leisure fishing hampir setiap hari dapat menangkap
ikan.
FAD juga dapat mengurangi konsumsi bahan bakar,
dengan mengurangi waktu pencarian (searching time) ikan, ikan-ikan besar yang
berada di bawah rumpon dapat ditangkap dengan hand line sementara kapal
drifting (Shomura, et al., 1982).
Sumber:
Santoso. 2011. Modul
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Seluk Beluk Rumpon dan Pemasangannya. Jakarta,
Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
No comments:
Post a Comment