Monday, 30 April 2018

Perakitan Alat Radiasi UV untuk Menekan Bakteri Pathogen dalam Perikanan Budidaya

DESKRIPSI TEKNOLOGI

Tujuan Penerapan Teknologi

Untuk menciptakan Alat Radiasi Ultraviolet (UV) sederhana untuk menekan populasi bakteri pathogen dalam air pemeliharaan ikan baik dalam perbenihan maupun pembesaran ikan indoor . Manfaat kegiatan untuk menyediakan alat radiator ultraviolet sederhana, efisien dan dapat diterapkan dengan mudah oleh masyarakat perbenihan dan pembudidaya ikan baik skala besar maupun kecil.

Pengertian

Gambar 1. Penyaring dengan ultraviolet perdana hasil rakitan sederhana versi baru berukuran 8”.

Filter : Proses penyaringan air sehingga air lebih baik bersih dari partikel/kotoran dari dibandingkan dengan air sebelum difilter. Sinar ultraviolet (UV) : Sinar radiasi yang berada pada kisaran panjang gelombang antara 40 – 400 nm Patogen : agen biologi yang penyebabkan munculnya penyakit atau infeksi penyakit. Bakteri patogen : bersifat saprifit dan menyerang ikan ketika ikan dalam kondisi yang tidak fit atau seimbang serta defisiensi nutrisi.

RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS

Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Air yang akan diradiasi dengan ultraviolet harus bersih dari partikel, dengan pengendapan dan penyaringan terlebih dahulu:

Efektifitas radiasi Ultraviolet akan lebih baik apabila air yang diradiasi bebas kotoran/ partikel

Lampu UV tidak cepat buram cahayanya karena lampunya cepat kotor.

Cara penerapan teknologi

Pada tahap awal dilakukan uji coba dengan membuat radiator dengan lampu UV three in one, dimana dalam 1 tabung yang berukuran 8” dipasang 3 buah lampu UV. Langkah – langkah yang dilakukan dalam pembuatan radiator-UV hasil rakitan sederhana adalah :

1. Membuat piringan dari pipa paralon dengan Ø 8”, lalu membuat lubang tempatpemasangan lampu UV, dimana pada masing piringan dibuat sebanyak 3 lubang.

2. Membuat cincin dengan Ø 8” dengan ketebalan ± 1,5 cm.

3. Setelah itu dilakukan pemasangan piringan dan cincin pada Tee Ø 8” dan dilakukanpemasangan sambungan sohk drak (watermur) pada masing –masing lubang.

4. Setelah itu dilakukan pengeleman pada watermur dengan ketingian lem ± 1 cm,kemudian Tee Ø 8” yang dilem didiamkan selam ± 24 jam dimana untuk 1 tabung penyaring dengan ultraviolet membutuhkan 2 Tee Ø 8” yang dilem untuk dipasang pada sisi kiri dan kanan lampu.

5. Setelah itu dilakukan penyambungan Tee kiri dengan tee kanan dengan menambahkanpipa paralon Ø 8” ± 60 cm.

6. Lalu lampu dipasang pada masing – masing lubang dan disambung kabel dan panelcontrol.

7. Setelah semua terpasang dengan baik, lampu UV siap digunakan.

8. Penggunaan lampu UV dengan cara memasang pipa air pada pemasukan UV danmemasang pipa pengeluaran di bagian outlet lampu UV.

parator" style="clear: both; text-align: center;">

Gambar 2. Alat Radiasi UV dengan menggunakan pipa 8" (3 balon) Lampu UV Ф Pipa tabung

APLIKASI PENYARING DENGAN ULTRAVIOLETSEDERHANA BUATAN BBAP TAKALAR

Tabel 1. Aplikasi penggunaan radiasi UV yang telah diterapkan

KEUNGGULAN TEKNOLOGI

Pada perekayaan ini dilakukan dengan membandingkan antara UV hasil rakitan sebelumnya (yang tidak dapat diganti lampu UV-nya sehingga hanya dapat digunakan hingga mati). Dengan modifikasi di beberapa bagian, alat radiasi UV buatan BBAP Takalar lebih sederhana, mudah diganti lampunya saja dan efektifitasnya dalam menekan populasi bakteri pathogen lebih baik dibanding dengan UV radiasi buatan sebelumnya . memperoleh penyaring dengan ultraviolet hasil rakitan sederhana versi baru pada BBAP Takalar.

Uraian tentang keberhasilan teknologi dibandingkan dengan yang sudah ada

 Alat radiasi UV sebelumnya kurang efisien karena tidak dapat diganti-ganti lampu UV-nya dengan yang baru apabila lampu UV putus/mati sedangkan hasil rakitan versi baru, lampu UV dapat diganti dengan mudah setiap saat tanpa harus menganti/membuang seluruh sistem alat, sehingga lebih efisien

 Alat radiasi UV sebelumnya kurang layak digunakan karena efektifitas membunuh bakteri dan mikroorganisme kurang sempurna. Model lama lampu UV nya tidak dapat dibersihkan dari kotoran yang menempel sedangkan model baru lampu UV nya dapat dengan mudah dibersihkan setiap saat.

Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautam dan perikanan

 Alat radiasi UV ini, mudah diterapkan dalam segala jenis usaha. Perikanan budidaya baik untuk perbenihan maupun pembesaran dalam bak indoor, ikan tawar maupun ikan laut.

 Dari segi pemanfaatan alat radiasi UV rakitan BBAP Takalar dapat diterima dan dimanfaatkan oleh pelaku usaha perikanan buidaya.

 Dari segi ekonomi, alat radiasi UV rakitan sederhana versi baru ini lebih efisien dan lebih murah.

 Dari segi teknis, filter hasil rakitan tersebut dapat berfungsi dengan baik untuk menekan populasi bakteri pada media air pemeliharaan.

 Alat radiasi UV yang baru ini, desain nya lebih baik dan enak dipandang mata dibandingkan dengan yang sebelumnya, juga penggunaan lampu UV dapat diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Tabel 2. Hasil pengukuran bakteri pada Air Media Pemeliharaan sebelum di UV dan setelah di UV di BBAP Takalar Ramah lingkungan Dengan alat radiasi UV ini lebih ramah terhadap lingkungan karena: dapat dilakukan pergantian lampu UV, lebih ramah lingkungan karena :  Tidak perlu melakukan pergantian bahan dan alat secara keseluruhan jika lampu UV mati  Dengan alat radiasi UV ini tidak perlu lagi menggunakan bahan kimia atau obat antibiotik untuk membasmi bakteri atau microorganisme pathogen, sehingga tidak mencemari lingkungan

LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH REKOMENDASI

Unit rancang bangun dan unit pembenihan udang windu dan vannamei di Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Kegiatan pembuatan dilakukan pada bulan Mei tahun 2006, namun pengkajian, pengembangan dan penerapan terus dan masih dilakukan sampai saat ini.

Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan alat radiasi ultraviolet adalah semua wilayah yang mengoperasikan usaha perbenihan dan pembudidayaan ikan indoor, baik untuk ikan laut maupun ikan tawar. Alat ini juga memungkinkan digunakan untuk memproduksi air bebas bakteri di daerah yang sanitasinya kurang baik.

KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF

Dampak negatif adalah bila terkena radiasi sinar ultraviolet namun pengamanan sinar UV dapat ditutup dengan baik, sehingga tidak berbahaya bagi kehidupan ikan maupun manusia.

KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA

Analisa Usaha

Untuk pembuatan alat radiasi UV lampu UV dengan 1 mata , 1 p a k e t p e m b u a t a n membutuhkan dana Rp 2.500.000  Pembelian lampu UV impor dipasaran dengan 1 mata uv (harga minimal) adalah Rp 7.500.000  Keuntungan yang diperoleh dengan membuat alat radiasi ultraviolet rakitan adalah Rp 5.000.000  Keuntungan yang diperoleh akan lebih banyak lagi jika jumlah lampu UV yang digunakan lebih banyak. Hasil dan dampak yang diperloleh dalam dari alat Radiasi UV sederhana

Tabel 3. Rincian Biaya yang akan digunakan dalam pembuatan No. Parameter Spesifikasi 1 Debit air (m3/jam) 33 2 Daya tahan lampu (jam) 8.000, efisiensi menurun 15% setelah 5.000 jam pemakaian 3 Panjang gelombang (nm) 254 4 Dosis UV (µm/detik/cm2) ˃ 30.000 atau 15,3 W pada 1 m 5 Unit listrik 220 -240 volt 50-60 Hz 36 watt 6 Sistem peringatan LED 7 Jumlah lampu (buah) 4 8 Dimensi (mm) Ø 2,5” x 55” 9 Lampu UV Philips - Holland 10 Tipe lampu UV – C TUV 36 W; T8 11 Tipe cap/base G 36
ini adalah produksi benih akan meningkat karena bakteri pathogen dapat dibasmi dengan tanpa penggunaan bahan kimia atau obatobatan yang lebih mahal. Alat ini dapat dipesan dengan harga jauh lebih murah daripada alat serupa yang di impor.

TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI

Tingkat komponen yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah 90% produk dalam negeri dan 10 % dari luar negeri, hampir semua semua bahan dan peralatan yang diperlukan tersedia di pasaran lokal.

Sumber:

Faridah S., dkk. 2013. Perakitan Alat Radiasi UV untuk Menekan Bakteri Pathogen dalam Perikanan Budidaya. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Teknologi Sistem Resirkulasi Untuk Pemeliharaan Induk Udang Vannamei (litopenaeus Vannamei)

DESKRIPSI TEKNOLOGI

Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi

Tujuan untuk mengembangkan usaha pemeliharaan induk vannamei dan memperoleh sistem pemeliharan yang sesuai untuk induk udang vannamei sehingga dapat meningkatkan produktivitas induk. Manfaat kegiatan untuk memperoleh nauplius yang bermutu dari induk vannamei .

PENGERTIAN/DEFINISI

Resirkulasi : Proses pergantian air yang dilakukan secara tertutup. Sistem perputaran air tertutup, tidak ada penambahan air dari luas sistem, kalaupun ada hanya sedikit sebagai pengganti air yang menguap.

RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS

Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi

Sistem resirkulasi pada pemeliharaan induk vannamei dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh air media pemeliharaan pada suhu 26o-27oC karena udang ini berasal dari Amerika yang bersuhu lebih rendah. Sistem resirkulasi dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh suhu air media pemeliharan yang stabil (26o-27oC). Untuk memperoleh kisaran suhu tersebut suhu 26o-27oC dilakukan modifikasi ruang pemeliharaan induk dengan memasangkan AC 1 PK sebanyak 2 buah dan agar suhu lebih stabil maka dibuatkan plafon pada ruang pemeliharaan induk.

Detail SOP mencakup

a. Gambaran/uraian/rincian teknologi

Sistem resirkulasi yang digunakan pada pemeliharaan induk vannamei asal Amerika dilakukan secara tiga tahap yaitu:

I. Air disaring pada saringa fisik dengan susunan arang dan pasir kuarsa,

II. Air disaing dengan filter fisik dengan system gravitasi denga n menggunakan zeolit, pasir kuarsa, karbon aktif/arang, ijuk dan batu kali,

III. Air disaring menggunakan ultra violet. Setelah itu air dimasukkan ke dalam bak pemeliharan induk.

b. Cara penerapan teknologi yang diurut mulai dari persiapan sampai aplikasi Dalam perekayasaan ini air laut yang digunakan dialirkan melalui sistem filtrasi BBAP Takalar yaitu air yang dipompa dari laut dialirkan dalan filter dengan material terdiri dari batu kali, pasir kwarsa dan arang tempurung. Kemudian air dialirkan ke dalam bak tandon untuk diendapkan. Dari bak tandon air dialirkan ke bak-bak pemeliharaan melalui presure filter dan ultraviolet.

Untuk mempertahankan kualitas`air di bak pemeliharaan maka dilakukan penyiponan dan proses sirkulasi. Pengukuran kualitas air seperti suhu, salinitas, DO dan pH dilakukan pada setiap hari, sedangkan alkalinitas dan TOM dilakukan setiap 3 hari.

KEUNGGULAN TEKNOLOGI

Uraian tentang teknologi yang baru dan modifikasi

Pada pemeliharaan induk udang vanamei supaya produktif dan sehat diperlukan suhu air yang lebih rendah (26-27 C) dibandingkan dengan suhu air rata-rata di Indonesia berkisar antara 27.8-o 29.7o C. Untuk menurunkan suhu digunakan alat yang disebut Chiller, harganya cukup mahal sekali, sekitar Rp 50.000.000 hingga Rp 70.000.000. Untuk mengatasi hal tersebut maka diciptakan tempat dengan memodifikasi ruangan pemeliharaan induk induk dengan cara membuat plafon dan memasang AC 1 PK sebanyak 2 buah dan membuat sistem resirkulasi.

Uraian tentang keberhasilan teknologi

 Lebih ekonomis karena tidak menggunakan pompa terus menerus dan chiller pendingin sehingga hemat biaya listrik dan hemat air karena tidak perlu memompa air dari luar/laut setiap hari, cukup mengganti sedikit saja.

 Teknologi ini sangat layak diterapkan untuk pemeliharaan induk vanamei, karena tidak ada pergantian air dari luar sehingga kecil kemungkinan terkontaminasi dengan penyakit dari alam. Kandungan bakteri pada air media setelah penyaringan fisik dan ultraviolet lebih rendah dari pada air awal (inlet) dan outlet media pemeliharaan dimana kandungan Vibrio sp pada outlet adalah 6,3.103 setalah tahap III adalah 5,0.101, Aeromonas sp adalah 9,7.102 setelah tahap III adalah 8,6.101 dan total bakteri adalah 1,6.105 setelah tahap III adalah 9,7.102. Jumlah telur pada pemeliharaan induk dengan sistem resirkulasi yaitu 69.320 butir telur dan hatching rate 49,88% sedangkan tanpa resirkulasi adalah 47.591 butir telur dan daya tetas telur 31,55 %. Persentase tingkat kelangsungan hidup dengan sistem resirkulasi pada induk jantan adalah 52,09% dan betina 48,64% sedangkan untuk pemeliharaan tanpa resirkulasi pada induk jantan adalah 33,23% dan betina 27,56 %.

Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautam dan perikanan Sistem resirkulasi ini mudah diterapkan dalam usaha perikanan budidaya

Sistem ini dapat diterima oleh pelaku usaha perbenihan udang vanamei.

 Dari segi ekonomi, sistem resirkalasi ini lebih menguntungkan baik untuk penggunaannya/pengaplikasiannya maupun untuk pembuatannya.

 Dari segi teknis, sistem resirkulasi dapat berfungsi dengan baik dan dapat mereduksi kandungan bakteri pada media air pemeliharaan.

Selama pemeliharaan induk, dilakukan pengukuran kandungan bakteri Vibrio sp, Aeromonas sp dan Total Bakteri, dan diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Pengukuran Vibrio sp, Aeromonas sp, dan Total Bakteri pada

Air Pemeliharaan Induk Selama Proses Resirkulasi

Total bakteri dalam sumber air yang akan dugunakan untuk bak induk (inlet) 5,2.103 cfu/ml akan meningkat menjadi 1,6.105 cfu/mlsetelah digunakan dalam bak induk., demikian juga pada bakteri Vibrio sp dan Aeromonas sp. Kandungan bakteri pada air di outlet meningkat tetapi perlahan menurun setelah melewati 3 tahapan penyaringan yang dilakukan dalam proses resirkulasi. Kandungan bakteri pada air media setelah penyaringan fisik dan ultraviolet lebih rendah dari pada air awal (inlet) dan outlet media pemeliharaan dimana kandungan Vibrio sp pada outlet adalah 6,3.103 setalah tahap III adalah 5,0.101, Aeromonas sp adalah 9,7.102 setelah tahap III adalah 8,6.101 dan total bakteri adalah 1,6.105 setelah tahap III adalah 9,7. 102. Dari hasil pengukuran bakteri pada air media pemelihaan induk dengan sistem resirkulasi dengan menggunakan penyaringan fisik ganda dan ultraviolet, mampu mengurangi bakteri alam air media. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Kandungan Bakteri pada Air Media Pemeliharaan Induk

Jumlah dan daya tetas telur pada pemeliharaan induk dengan menggunakan sistem resirkulasi lebih besar dari pada pemeliharaan induk tanpa resirkulasi. Pada sistem resirkulasi jumlah telur 69. 320 butir dan menetas (hatching rate) 49,88% sedangkan yang tanpa resirkulasi jumlah telur 47.591 menetas 31,55%. Rendahnya jumlah telur yang dihasilkan dan juga daya tetasnya utamanya disebabkan kualitas air tidak stabil terutama sering terjadi fluktuasi perubahan suhu akibat dari pemasukan air dari luar sistem

Tabel 2. Hasil Pengukuran Jumlah dan Daya Tetas Telur

Gambar 2. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Induk

Vannamei selama Pemeliharaan

Pada sistem resirkulasi sintasan induk jantan adalah 52,09% dan betina 48,64% sedangkan untuk pemeliharaan tanpa resirkulasi sintasan pada induk jantan adalah 33,23% dan betina 27,56% . Tingkat kelangsungan hidup pada pemeliharaan induk dengan sistem resirkulasi lebih tinggi dibandingkan tanpa resirkulasi baik pada induk jantan maupun betina. Sintasan induk betina lebih rendah dari pada induk jantan baik pada sistem resirkulasi maupun sistem mengalir. Hal ini akibat dari adanya perlakuan ablasi yang kurang sempurna pada induk betina sehingga berakibat kematian.

Parameter kualitas air masih sangat layak untuk kehidupan induk udang vaname dan untuk bereproduksi.

Tabel 3. Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan Induk (Litopenaeus vannamei) pada Sistem Resirkulasi. Dari segi infrastruktur, sistem rsirkulasi ini memiliki bentuk dan desain yang lebih baik dan layak dari sistem lainnya yang penggunaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Ramah lingkungan

Dengan adanya sistem resirkulasi dalam pemeliharaan induk vannamei, lebih ramah lingkungan karena : 1. Tidak perlu melakukan pergantian air setiap harinya sehingga buangan limbah sebagai pencemar lingkungan dapat di kontrol 2.Dengan penggunaan penyaring dengan ultraviolet pada sistem resirkulasi ini, penggunaan bahan kimia dan obat-obatan dalam mereduksi bakteri dan mikroorganisme yang mempengaruhi air media pemeliharaan ikan, dapat dikurangi.

LOKASI PENELITIAN/DAERAH REKOMENDASI

Unit rancang bangun dan unit pembenihan udang windu dan vannamei di Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Kegiatan pembuatan dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember tahun 2006, namun pengkajian, pengembangan dan penerapan dilakukan sampai saat ini/sekarang dengan menggunakan biota perikanan lainnya. Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi sistem resirkulasi dalam pemeliharaan induk vannamei, pada dasarnya dapat digunakan pada semua kegiatan yang menginginkan penghematan air dan memperoleh air yang bebas mikroorganisme dan bakteri yang merugikan baik untuk kegiatan pemeliharaan ikan baik air laut maupun tawar.

KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF

Kandungan bakteri akan tinggi tetapi telah dipasangkan sistem penyaringan air menggunakan ultraviolet.

KELAYAKAN FINANSIAL

Tabel 3. Rincian Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan sistem resirkulasi.

 Untuk pembuatan plafon membutuhkan dana Rp 10.380.000,00.

 Pembelian AC 1 PK sebanyak 2 buah @ Rp 3.800.000,00 sebesar Rp 7.600.000,00

 Pembuatan sistem resirkulasi (pembuatan tower, pemasangan filter fisik, pembuatan outlet, pembuatan instalasi pipa, pembuatan UV) membutuhkan dana Rp 11.210.000,00.

Total dana yang dibutuhkan adalah Rp 29.190.000,00

Pembelian Chiller buatan impor dipasaran 1 paket (harga minimal) adalah Rp 50.000.000,00

 Keuntungan yang diperoleh dengan penerapan sistem resirkulasi adalah: = Rp 50.000.000,00 - 29.190.000,00 = Rp 20.810.000,00 Jadi total keuntungan yang diperoleh dengan perapan sistem resisrkulasi adalah: Rp 20.810.000,00 Dari hasil yang diperloleh dalam Aplikasi Sistem Resirkulasi dalam Pemeliharaan Induk Vannamei dari segi kelayakan finansial, dapat dikatakan memberikan hasil yang menguntungkan untuk diterapkan karena dapat mengurangi pengguanaan air, baik dari segi pelestarian lingkungan maupun hasil produksi.

TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI

Tingkat komponen yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan 90% produk dalam negeri dan 10 % dari luar negeri, dimana semua bahan dan peralatan yang dipakai dalam perekayasaan tersedia setiap saat dibutuhkan.

Sumber:

Faridah S., Syam S., dan Haruna. 2013. Teknologi Sistem Resirkulasi Untuk Pemeliharaan Induk Udang Vannamei (litopenaeus Vannamei). Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Sunday, 29 April 2018

Peningkatan Produksi Udang Windu di Tambak Tradisional Plus dengan Aplikasi Probiotik RICA

DESKRIPSI TEKNOLOGI

Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi

Teknologi aplikasi probiotik RICA ditujukan untuk pencegahan penyakit udang windu melalui perbaikan kualitas air, sehingga diharapkan bermanfaat dalam peningkatan sintasan dan produksi udang windu di tambak. Aplikasi probiotik RICA secara nasional diharapkan dapat mendukung program peningkatan produksi udang windu secara ramah lingkungan sebesar 30% dari kondisi sekarang.

Pengertian/definisi

Yang dimaksud dengan Probiotik RICA (Gambar 1) adalah bakteri yang memiliki peranan positif (bermanfaat) dalam memperbaiki kualitas air, dihasilkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros (singkatan bahasa Inggrisnya disebut RICA = Research Institute for Coastal Aquaculture), sehingga sintasan dan produksi udang windu di tambak dapat ditingkatkan. Selanjutnya bakteri probiotik RICA tersebut diproduksi massal oleh KPRI (Koperasi Pegawai Republik Indonesia) Mina Lestari

Gambar 1. Bakteri probiotik RICA-1, RICA-2, danRICA-3 produksi BRPBAP Maros.

Rincian dan Aplikasi Teknis

Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi

Mengingat bahwa teknologi aplikasi probiotik RICA hanya merupakan salah satu dari serangkaian teknologi budidaya udang windu di tambak, maka keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung pada segala aspek budidaya yang lainnya sejak pemilihan lokasi tambak, persiapan tambak, pemberantasan hama, pengapuran (dasar tambak dan kapur susulan), pemupukan (dasar dan susulan), pengisian air tambak, aklimatisasi benur, pemberian pakan (jika ada), pengelolaan kualitas air, dan pemantauan pertumbuhan udang.

Uraian lengkap tentang SOP Aplikasi Probiotik RICA

a. Rincian Teknologi

Hingga kini masih banyak pembudidaya udang tradisional yang melakukan usahanya hanya berdasarkan “feeling” saja. Persiapan tambak dan berbagai cara pengelolaan tambak hanya dilakukan seadanya. Kalaupun mereka melakukan perubahan, maka mereka hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh pembudidaya udang di sekitarnya yang kondisi tambaknya belum tentu sama, sehingga seringkali diperoleh hasil berbeda. Oleh karena itu teknologi budidaya udang windu perlu diperbaiki sejak persiapan tambak, pengisian air tambak, penebaran benur, dan cara pengelolaannya.

Selain itu, selama ini juga telah banyak produk bakteri probiotik komersial di pasaran, baik produk lokal maupun import. Namun demikian masyarakat pembudidaya udang masih banyak yang kurang memahami tentang cara penggunaannya, baik cara kulturnya, penyimpanannya maupun cara aplikasinya. Bakteri probiotik merupakan organisme hidup yang jumlahnya akan mengalami penurunan dengan semakin lamanya disimpan. Jadi suatu produk probiotik komersial yang cara pemakaiannya tanpa dilakukan kultur terlebih dahulu, cenderung akan tidak efektif untuk pencegahan penyakit udang. Hal ini karena pada awal pembuatan probiotik dalam bentuk cair dapat mencapai kepadatan bakteri hingga 1011 – 1012 CFU/mL, sedangkan dalam bentuk padat (serbuk) biasanya hanya mencapai kepadatan bakteri sekitar 109 CFU/g. Produk probiotik komersial tersebut akan mengalami penurunan kepadatan bakteri hingga tinggal 103 – 106 CFU/mL (CFU/g) setelah disimpan lebih dari tiga bulan. Oleh karena itu penggunaan probiotik RICA harus dikultur/difermentasi 3-4 hari terlebih dahulu agar kepadatannya meningkat hingga 1011 CFU/mL. Dengan demikian bakteri tersebut dapat berfungsi lebih baik dalam memperbaiki kualitas air (menurunkan kandungan bahan-bahan beracun di tambak, seperti bahan organik total, amoniak, nitrit, dan hidrogen sulfida), menekan perkembangbiakan organisme patogen terutama bakteri Vibrio harveyi, sehingga dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak.

b. Cara Penerapan Teknologi

Pemilihan Lokasi Tambak

Kematian udang di sekitar caren tambak pada awal musim penghujan diduga disebabkan oleh jenis tanah tambak yang tergolong tanah sulfat masam (TSM). Hal ini banyak terjadi di daerah pertambakan yang dibangun dari bekas lahan mangrove (terutama nipah) seperti di Aceh, Lampung Timur, Sulawesi Selatan bagian Timur, juga di wilayah Kalimantan. Pada pematang tambak TSM biasanya dijumpai adanya bagian tanah yang berwarna kuning (jarosit). Bila tanah ini tersiram air hujan, maka air yang turun ke tambak bersifat sangat masam, karena mengandung H2SO4 (senyawa asam pekat yang digunakan untuk air aki). Senyawa inilah yang menyebabkan sebagian kulit dan daging udang terkelupas dan akhirnya mati.

Tambak TSM sebaiknya direklamasi (pengeringan, perendaman, dan pembilasan tanah dasar tambak) terlebih dahulu selama persiapan tambak dan bila memungkinkan pematang tambak ditanami rumput yang bisa menahan peluruhan jarosit ke dalam tambak. Pengapuran dengan dolomit di sekeliling pematang menjelang hujan deras terbukti cukup bermanfaat mengurangi kematian udang di tambak. Oleh karena itu, agar aplikasi probiotik RICA lebih efektif sebaiknya dilakukan di wilayah pertambakan yang tidak tergolong tanah sulfat masam (TSM), yaitu di pertambakan dengan pH tanah dasar tambak normal (6,5-7,0).

Persiapan Tambak Udang Windu

Persiapan tambak meliputi penambalan bocoran tambak, keduk teplok (pengangkatan lumpur hitam dari dasar tambak ke atas pematang tambak), pemberantasan hama, pengeringan tambak, pengapuran dan pemupukan dasar tambak, serta pengisian air tambak.

Penambalan bocoran tambak selain diperlukan untuk mencegah habisnya air dalam tambak, juga mencegah masukya predator (pemangsa udang) dan kontaminan berbagai penyakit (vibriosis oleh bakteri Vibrio harveyi dan bintik putih oleh white spot syndrome virus). Keduk teplok dimaksudkan untuk membuang lumpur hitam yang berbau busuk (mengandung hidrogen sulfida) yang biasanya dilakukan pada saat tambak masih berair sekitar 10 cm (macak-macak) untuk memudahkan pengangkatan lumpur.

Pemberantasan hama dilakukan dengan menggunakan saponin 15-30 ppm (15-30 kg saponin per hektar tambak dengan kedalaman air sekitar 10 cm) dan kaporit 2-3 ppm (2-3 kg kaporit per hektar tambak dengan kedalaman air sekitar 10 cm). Pada salinitas tinggi (di atas 25 ppt) penggunaan saponin cukup 15-20 ppm, namun pada salinitas air tambak di bawah 5 ppt diperlukan saponin hingga 30 ppm. Pemberantasan hama dimaksudkan untuk membunuh ikan- ikan liar (mujahir, gabus, kepala timah, bocci-bocci dan lain-lain) dan krustase liar (udang, kepiting, jembret, dan sejenisnya). Setelah empat hari, air dibuang, kemudian tanah dasar tambak dibajak dan dikeringkan secara sempurna hingga retak-retak agar limbah organik di dasar tambak teroksidasi sempurna. Apabila masih dijumpai adanya ikan-ikan liar di bagian cekungan air, pemberantasan hama diulangi di bagian tersebut. Kemudian pengapuran dilakukan dengan menggunakan kapur bakar (CaO, yaitu kapur yang bila direndam air akan mengeluarkan gelembung panas seperti air mendidih). Jumlah kapur bakar yang digunakan tergantung pada kondisi kemasaman tanah dasar tambak tersebut. Makin masam tanah dasar tambak, maka diperlukan kapur bakar yang lebih banyak. Secara umum diperlukan kapur bakar antara 1-5 ton per hektar tambak untuk mempercepat proses oksidasi bahan organik dan peningkatan pH tanah dasar tambak. Setelah dilakukan pengapuran, sebaiknya dilakukan pengecekan pH dan redoks potensial tanah dasar tersebut. Menurut Poernomo (2004), redoks potensial tanah dasar tambak pada saat kering sebaiknya minimal +50 mv. Namun pada kenyataannya hal ini seringkali sulit diperoleh di lapangan. Apabila pH tanah dan redoks potensialnya masih rendah, maka, pengapuran perlu dilakukan kembali dengan kapur bakar hingga pH tanah meningkat.

Setelah 1-2 minggu pengeringan dan tanah terlihat retak-retak, kemudian pemupukan tambak sesuai kebutuhan. Untuk tambak tradisional plus, memerlukan pupuk organik, urea, dan SP-36 (super fosfat) tergantung kondisi tanah dan musim penebaran. Umumnya tambak udang tradisional plus memerlukan pupuk organik 200-400 kg/ha, urea 50-100 kg/ha, dan SP-36 50100 kg/ha sebagai pupuk dasar. Namun pemakaian seminimal mungkin lebih disarankan. Pada musim hujan penggunaan urea dapat dikurangi karena adanya masukan nitrogen dari air hujan. Tambak yang relatif dekat dengan laut biasanya memerlukan urea lebih banyak dan SP-36 lebih sedikit daripada tambak yang jauh dari laut. Pemupukan dasar dengan SP-36 tidak diperlukan di tambak TSM yang merupakan tanah gambut, karena fosfatnya akan terikat oleh asam humus dari tanah, sehingga sulit terlepas ke air. Pada tambak TSM pemupukan susulan yang sedikit demi sedikit dilakukan (2-5 kg/minggu) lebih baik daripada penggunaannya sebagai pupuk dasar. Secara umum, pada kondisi tanah normal (tanah mineral) diperlukan pupuk dasar urea sebanyak 20-50 kg/ha dan SP-36 sebanyak 20-50 kg/ha. Sedangkan pemupukan susulan sebaiknya dilakukan sebulan setelah penebaran benur, yaitu sekitar 10% dari jumlah pupuk dasarnya (masing-masing 2-5 kg/ha/mg), tergantung kondisi dan warna airnya.

Tambak kemudian diisi air bersih (air yang telah ditandon terlebih dahulu ataupun air saluran yang relatif baru) langsung penuh (misal satu meter atau hingga ketinggian maksimal yang mampu dicapai). Pada pengisian air tambak udang tidak boleh dilakukan secara bertahap 10 cm setiap hari sebagaimana dilakukan di tambak ikan bandeng, karena bandeng perlu klekap sebagai makanannya. Tumbuhnya klekap di tambak udang, merupakan masalah bagi udang yang dipelihara. Klekap akan terapung dan akhirnya mati, membusuk di dasar tambak, sehingga menjadi salah satu pemicu stres bagi udang windu. Secara umum tambak udang windu memerlukan air yang lebih dalam dibanding tambak bandeng, karena udang lebih menyukai plankton dari pada klekap.

Apabila memiliki petak tandon yang dilengkapi dengan biofilter, sebaiknya air baru dari saluran air (12 jam setelah air pasang) disimpan di tandon terlebih dahulu sekitar 3-4 hari sebelum dimasukkan ke dalam petakan tambak. Air yang ditandon 3-4 hari tersebut dapat menurunkan jumlah bakteri patogen yang ada, serta dapat mengurangi peluang virus WSSV mendapatkan inangnya. Dengan demikian air yang telah ditandon ini relatif lebih aman dari pada air langsung (tidak ditandon). Kualitas air yang terbaik (optimum) bagi udang windu di tambak tradisional plus dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kualitas air optimum bagi pertumbuhan udang windu (Atmomarsono, 2004)

Aklimatisasi dan penebaran benur / tokolan

Tiga hingga empat hari sebelum benur windu diambil dari hatchery, pengambilan contoh benur dilakukan dengan cara diawetkan dalam larutan alkohol 70% sebelum dicek dengan “Polymerase Chain Reaction” (PCR) untuk pengujian WSSV di laboratorium. Sebelum benur windu ditebar di tambak, terlebih dahulu ditokolkan atau dibantut (ditokolkan) selama 2-6 minggu di tempat yang relatif bersih (tidak terkontaminasi oleh organisme patogen). Benur yang telah dibantut akan memiliki vitalitas lebih tinggi, dan masa pemeliharaannya di tambak lebih singkat (2-3 bulan). Tokolan udang windu sangat diperlukan khususnya di tambak TSM, karena tingginya kandungan besi dan aluminium yang memungkinkan sebagai pemicu stres pada udang. Waktu pemeliharaan udang di tambak TSM harus diusahakan lebih singkat agar terhindar dari serangan penyakit yang biasanya terjadi pada umur antara 40-70 hari. Agar udang cepat mencapai ukuran konsumsi, maka padat penebaran di tambak TSM juga harus disesuaikan dengan kondisi tanahnya, misalnya hanya 0,5-1 ekor/m . Sedangkan pada tambak tanah mineral (tidak masam) dapat ditebari 2 hingga 4 ekor/m . Secara umum padat penebaran benur/tokolan udang windu di pertambakan 2 Sulsel hanya 1-2 ekor/m , sedangkan di pantura Jawa bisa mencapai 2-4 ekor/m .2 2 Benur ataupun tokolan udang windu sebelum ditebar harus diaklimatisasi terhadap suhu dan salinitas air. Penebaran benur atau tokolan dapat dilakukan apabila air dalam petakan tambak telah dipersiapkan minimal dua minggu sebelumnya. Hal ini diperlukan agar fitoplankton telah tumbuh dengan stabil yang ditandai dengan warna air hijau kecoklatan dan kecerahan air sekitar 30-40 %. Apabila kedalaman air tambak adalah satu meter, maka sebaiknya kecerahan air 30-40 cm, jika kedalaman air sekitar 60 cm, maka kecerahan air 18-24 cm. Secara umum untuk pemeliharaan udang, makin dalam airnya makin bagus, karena udang lebih menyukai plankton yang banyak terdapat di kolom air dari pada klekap di dasar tambak. Berbagai jenis pestisida (Thiodan, Trithion, Aquadyne, Brestan dan sebagainya) tidak boleh (DILARANG) digunakan lagi untuk pemberantasan hama di tambak, karena menyebabkan air terlalu jernih (nilai kecerahan hampir sama dengan kedalaman). Hal ini dimungkinkan karena fitoplankton kurang mampu tumbuh sebagai akibat kurangnya unsur hara nitrogen (N) dan fosfor (P) dalam kolom air yang sebagian besar terikat di tanah oleh pengaruh pestisida yang digunakan. Pada kondisi demikian udang akan mudah mengalami stress, sehingga mudah terserang penyakit.

Pengelolaan Pakan

Pada dasarnya pakan buatan yang diberikan ke udang windu yang dipelihara pada sistem budidaya udang tradisional plus (ekstensif plus) hanya bersifat tambahan saja, karena udang diharapkan makan plankton yang ada di tambak (fitoplankton dan zooplankton). Di tambak tersebut, pakan berupa pellet biasanya diberikan satu bulan menjelang udang dipanen. Namun di tambak dengan sistem semi-intensif dan intensif, pakan buatan berupa pelet yang bermutu mutlak diperlukan.

Mutu, ukuran, dan jumlah pakan harus disesuaikan dengan umur udang. Pada umur muda, udang memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi. Jumlah pakan yang diberikan setiap harinya harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan kondisi udang pada saat sampling. Apabila pada saat sampling banyak didapat udang yang “molting” (ganti kulit), maka sebaiknya jumlah pakannya dikurangi. Hal ini mengingat, bahwa udang yang molting akan istirahat makan sekitar 24-48 jam. Jadi kalau pakannya justru ditambah, maka kelebihannya menjadi limbah organik yang dapat memicu perkembangbiakan bakteri V. harveyi dan WSSV yang dapat membahayakan udang windu di tambak. Sebaiknya jangan menggunakan pakan segar dari kelompok krustase seperti kepiting, kepala udang dan sebagainya, karena ini dapat menjadi “carrier” (pembawa) penyakit WSSV. Pakan yang berupa pellet harus disimpan di tempat yang kering dan sejuk, serta dialas papan agar tidak mudah berjamur. Pemberian pakan (pellet) di tambak tradisional plus bisa dimulai pada minggu ke enam setelah penebaran tokolan udang windu, yaitu sekitar 1 kg/hr yang ditebar merata ke sekeliling tambak. Setelah 7 hari, jumlah pakan dinaikkan menjadi 1,2 kg/hr selama 7 hari, kemudian 1,5 kg/hr selama 7 hari. Demikian seterusnya dilakukan sedikit penambahan pakan setiap minggunya. Jumlah pemberian pakan sekitar 1-3% bobot biomass/hari. Diharapkan FCR (feed convertion ratio = rasio konversi pakan) di tambak udang windu tradisional plus adalah kurang dari satu.

Pengelolaan Air

Satu hal perlu dicatat, bahwa sebaiknya hanya mengganti air tambak bila diperlukan saja, artinya lakukan sesedikit mungkin, karena makin banyak dilakukan penggantian air memungkinkan terjadinya udang stress. Perubahan warna air tambak sebaiknya diamati setiap saat. Warna air yang berubah-ubah setiap saat, misal pagi kuning, siang hijau, dan sore menjadi biru, merupakan indikator bahwa air tambak tersebut memiliki alkalinitas total yang rendah (di bawah 80 mg CaCO3 equivalen/L) (Atmomarsono, 2004). Akibatnya dapat terjadi goncangan pH air harian yang melebihi 0,5 (misal 7,5 hingga 9,5). Apabila hal ini terjadi, maka udang akan mudah mengalami stress. Oleh karena itu harus dilakukan aplikasi kapur dolomit di tambak tersebut. Warna air yang dianggap bagus untuk budidaya udang windu adalah hijau kecoklatan. Secara umum kapur dolomit dapat diaplikasikan secara rutin 3-5 ppm per minggu (sekitar 30-50 kg/ha tambak dengan kedalaman air satu meter) untuk mencegah terjadinya goncangan pH pada musim penghujan. Hal ini sangat diperlukan terutama di areal pertambakan yang masih masam (tanah TSM). Untuk mempertahankan warna air tersebut dapat dilakukan dengan cara pemupukan susulan urea dan SP-36 sekitar 0,1 – 1 ppm (tergantung warna airnya) serta aplikasi bakteri probiotik tertentu. Untuk warna air tambak yang cenderung hijau muda kekuningan, diperlukan pupuk susulan SP-36 lebih banyak dari pada ureanya. Sebaliknya apabila warna air cenderung coklat kemerahan, maka diperlukan pupuk susulan urea lebih banyak dari pada SP-36.

Aplikasi Bakteri Probiotik RICA

Peralatan Aerator “double power” (AC/DC, tetap hidup walaupun mati listrik) satu unit yang dilengkapi dengan slang aerasi, pengatur gas, dan batu aerasi.  Ember besar bertutup untuk wadah kultur bakteri probiotik, volume ember tergantung jumlah bakteri yang diperlukan, misal 20, 40, atau 50 L.  Ember dengan volume 10-15 L untuk menebar bakteri probiotik ke tambak.  Jerigen steril untuk membawa bakteri probiotik hasil kultur.  Corong plastik untuk memasukkan bakteri probiotik ke dalam jerigen.  Gayung air untuk memasukkan bakteri ke dalam jerigen plastik dan untuk menebar bakteri ke tambak.  Timbangan 1-5 kg, untuk menimbang dedak, tepung ikan, yeast (ragi roti), dan molase.  Takaran atau literan, untuk menakar volume air tambak dan volume molase yang diperlukan (molase ditimbang dan diukur volumenya pada awal pengukuran saja, selanjutnya ditandai dengan supidol agar lain kali tidak perlu ditimbang lagi).  Spidol permanen untuk penanda pada takaran yang digunakan.  Kompor gas lengkap dengan tabung gas, slang, dan regulatornya.  Panci stainless volume 50 L untuk memasak campuran bahan.  Pengaduk dari kayu untuk mengaduk bahan-bahan yang dimasak.  Beberapa ember dengan tutup dan stoples plastik untuk menyimpan tepung dan bahan-bahan lainnya.

Bahan-bahan  Bakteri probiotik RICA, yaitu isolat BT951, MY1112, dan BL542 dalam media Nutrient Broth (200 mL per 20 L air tambak). Tepung ikan (400 g per 20 L air tambak) Dedak halus (1.000 g per 20 L air tambak) Ragi roti (yeast) (100 g per 20 L air tambak) Molase (tetes tebu) atau gula 500 g (sekitar 375 mL) per 20 L air tambak Air tambak sebanyak 20 L.

Cara kultur  Masak 1.000 g dedak halus dan 400 g tepung ikan dengan menggunakan 20 L air tambak dalam panci stainless sambil terus diaduk hingga mendidih selama 5-10 menit (agar bakteri kontaminan dari tambak mati).  Matikan api, kemudian masukkan ragi roti sebanyak 100 g, sambil terus diaduk merata.  Kemudian masukkan molase 500 g, sambil terus diaduk merata.  Dinginkan campuran tersebut dengan cara merendam panci ke air tambak atau membaginya ke beberapa tempat agar lebih cepat dingin.  Setelah dingin, dibagi ke dalam dua ember.  Masukkan bakteri probiotik sebanyak 100-200 mL per ember.  Diaerasi secara terus menerus dengan aerator AC/DC.  Setelah dikultur 3-4 hari, aerasi dimatikan dan bakteri probiotik siap digunakan di tambak, yaitu 0,2-1 ppm (2-10 L per hektar tambak tradisional plus dengan kedalaman air satu meter); 1-5 ppm di tambak semi-intensif udang windu dengan padat penebaran hingga 10 ekor/m ; atau 5-10 ppm di tambak udang intensif dengan padat penebaran hingga 20 2 ekor/m .2

Cara aplikasi Bakteri probiotik RICA yang telah dikultur 3-4 hari memiliki kepadatan sekitar 1010 – 1012 CFU/mL, biasanya berbau tape dan siap ditebar ke tambak dengan dosis seperti tersebut di atas.  Bakteri probiotik tersebut dicampur/diencerkan dengan air tambak secukupnya, kemudian ditebar merata ke permukaan air tambak.  Pemberian bakteri probiotik dilakukan seminggu sekali untuk budidaya udang windu tradisional plus dan semi-intensif. Sedangkan untuk teknologi sistem intensif diperlukan penebaran 1-2 kali/minggu tergantung kondisi airnya.  Aplikasi bakteri probiotik RICA yang terbaik dilakukan secara bergiliran, yaitu BT951 diberikan 3-4 kali sejak minggu 2-3 pemeliharaan, kemudian diganti dengan MY1112 diberikan 3-4 kali berturut-turut, kemudian diganti BL542 diberikan 3-4 kali berturutturut, dan diulang lagi dengan BT951 hingga panen.  Bakteri probiotik RICA perlu dikultur selama 3-4 hari agar diperoleh konsentrasi hingga 1010-1012 CFU/mL, sehingga pada saat dipakai di tambak hanya memerlukan jumlah sedikit (kurang dari 10 L/ha).

Jumlah Kaji Terap di Beberapa Daerah  Kabupaten Barru (2 orang, tahun 2009), sistem ekstensif plus dengan padat penebaran 2 ekor/m , sintasan 30,9 % (261 % dari pada kontrol = petak tambak yang tidak 2 menggunakan probiotik), produksi 81,4 kg/ha (428 % dari pada kontrol) dengan masa pemeliharaan 70 hari.  Kabupaten Pinrang (6 orang tahun 2010, 36 orang tahun 2012), sistem ekstensif plus dengan padat penebaran 2 ekor/m2, sintasan 61,9 % (206 % dari pada sintasan udang di petak tambak tanpa probiotik pada tahun 2011 yang sekitar 30%), produksi 240 kg/ha (205% dari pada produksi rata-rata pada tahun 2011) dengan masa pemeliharaan 70-90 hari.  Kabupaten Pangkep (71 orang tahun 2011, 18 orang tahun 2012), sistem ekstensif plus dengan padat penebaran 2 ekor/m2, sintasan 49,24 % (246 % dari pada sintasan di tambak masyarakat tanpa probiotik yang hanya sekitar 20%), produksi 267 kg/ha (178 % dari pada produksi udang di tambak masyarakat tanpa probiotik yang hanya sekitar 150 kg/ha) dengan masa pemeliharaan 70-100 hari.  Pada tahun 2013 sedang berlangsung kaji terap di Kabupaten Indramayu (12 pembudidaya), di Kabupaten Brebes (16 orang), di Kabupaten Pangkep (20 orang).

KEUNGGULAN TEKNOLOGI

Teknologi Aplikasi Probiotik RICA ini lebih unggul karena dalam pemakaiannya bakteri dibutuhkan jumlah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pemakaian probiotik lainnya yang memerlukan volume besar. Sebagai akibatnya, biaya aplikasinya jauh lebih murah, kurang dari Rp 200.000,- per musim tanam.

Berdasarkan hasil kaji terap di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan, menunjukkan, bahwa aplikasi probiotik RICA mampu meningkatkan sintasan lebih dua kali lipatnya (30-61%) dibandingkan kondisi awalnya (11-20 %), juga meningkatkan produksi udang windu hampir dua kali lipatnya (81-267 kg/ha/MT) dibandingkan kondisi awalnya (11-150 kg/ha/MT). Secara umum teknologi budidaya udang windu tradisional plus dengan aplikasi bakteri probiotik RICA dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di atas 30 % daripada tanpa probiotik. Teknologi Aplikasi Probiotik RICA mudah diterapkan di masyarakat dalam suatu kelompok pembudidaya udang (dalam hamparan), agar lebih efisien dalam penggunaan peralatan kultur bakteri probiotik. Secara praktis di masyarakat bisa menciptakan kelompok kerjasama sosial dalam bentuk koperasi yang saling menguntungkan baik dalam hal teknis maupun ekologis.

Probiotik RICA merupakan tiga jenis bakteri yang diisolasi dari tambak (RICA-1 = isolat BT951, Brevibacillus sp), dari mangrove (RICA-2 = MY1112, Serratia sp), dan dari laut (RICA-3 = BL542, Pseudoalteromonas sp), yang merupakan hasil seleksi dari 3.976 isolat asli perairan Sulawesi Selatan, yang telah diuji secara “in vitro” dan “in vivo” kemampuannya dalam memperbaiki kualitas air (menurunkan kandungan bahan organik total, amoniak, nitrit, dan H2S) dan tidak patogen terhadap udang, serta mampu menekan perkembangbiakan bakteri patogen V. harveyi. Oleh karena itu ketiga isolat probiotik RICA tersebut tergolong bakteri yang ramah lingkungan.

WAKTU - LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN

Penelitian dasar yang meliputi skrining isolat dari alam, uji antagonis terhadap bakteri patogen Vibrio harveyi, kemampuan terhadap masing-masing parameter kualitas air, uji patogenesitasnya terhadap udang windu telah dilakukan antara 2002 – 2005 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros, dan Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Atmajaya (sekuensing dengan 16S-rRNA). Pengujian daya simpan isolat bakteri (suhu kamar dan suhu kulkas) juga telah dilakukan hingga 2008 di BPPBAP Maros.

Selanjutnya pengkajian di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Maros telah dilakukan sejak tahun 2006 hingga sekarang, juga Pengembangan di Instalasi Tambak Percobaan Punaga, Takalar pada tahun 2009. Mulai tahun 2009 dirintis aplikasinya di tambak rakyat di Kabupaten Barru, kemudian tahun 2010 di tambak rakyat Kabupaten Pinrang (hingga 2012), dan di tambak rakyat Kabupaten Pangkep pada tahun 2011-2013. Pada tahun 2011 seorang pembudidaya dari Samarinda Kaltim juga telah menguji coba di tambaknya. Pada tahun 2012 seorang pembudidaya dari Gresik, Jatim juga telah menguji coba di tambaknya. Pada tahun 2013 juga diaplikasi di 12 petak tambak udang windu di Kabupaten Indramayu, 16 petak tambak di Kabupaten Brebes, dan 20 petak tambak di Kabupaten Pangkep.

Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi probiotik RICA sebaiknya di wilayah dengan kondisi tanah mineral seperti di Jawa pada umumnya, pantai barat Lampung, dan sebagian pantai barat Sulawesi Selatan. Di lokasi lain yang masih relatif masam tanahnya (TSM) seperti di Aceh umumnya, Kalimantan umumnya, dan pantai timur Sulawesi Selatan masih perlu dilakukan tambahan aplikasi berupa penambahan kapur dolomit agar probiotik tersebut bisa lebih efektif.

KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Sangat kecil kemungkinan dampak negatif dari aplikasi probiotik RICA, karena ketiga isolat berasal dari tambak, mangrove, dan laut di sekitar tambak. Bahkan dengan aplikasi ketiga jenis probiotik tersebut dapat memperbaiki kualitas perairan di sekitarnya. Namun demikian cara penyimpanan bakteri probiotik RICA secara “sembrono” (sembarangan) dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi dengan bakteri lain di sekitar tambak. Oleh karena itu probiotik RICA sebaiknya dikultur di suatu tempat yang bersih dalam kelompok pembudidaya untuk sekitar 10 ha tambak.

KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA

Tabel 2. Analisis usaha budidaya udang windu dengan Aplikasi probiotik RICA di lahan tambak tradisional plus seluas 10 ha (contoh kasus di Kabupaten Pinrang, Sulsel 2012). • R/C 1,98 > 1 Layak Usaha (Bisa dikembangkan di masyarakat)

TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI

Semua (100 %) bahan dalam penerapan probiotik RICA merupakan produk dalam negeri, kecuali untuk biakan isolat murni bakteri probiotik (TSA dan Nutrient Broth) yang masih diimpor. Di masa yang akan datang, masih akan dicoba mengganti kedua jenis media tersebut dengan media lokal (bila memungkinkan tentunya).

Sumber:

Atmomarsono M., Muliani, Nurbaya dan Endang. 2013. Peningkatan Produksi Udang Windu di Tambak Tradisional Plus dengan Aplikasi Probiotik RICA. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Saturday, 28 April 2018

Teknologi Produksi Massal Larva Ikan Patin Pasupati

DESKRIPSI TEKNOLOGI

Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi

Permintaan pasar ekspor ikan patin daging putih semakin meningkat dan perlu segera dimanfaatkan untuk meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebuah terobosan teknologi telah dilakukan oleh Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (sekarang Balai Penelitian Pemuliaan Ikan) dengan menghasilkan patin hibrida yang diberi nama patin “Pasupati (Patin Super Harapan Pertiwi)”. Patin Pasupati merupakan persilangan antara betina patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) dengan jantan patin jambal (Pangasius djambal) hasil seleksi.

Kehadiran ikan patin Pasupati merupakan jawaban untuk memenuhi permintaan benih ikan patin daging putih yang saat ini sangat dinantikan oleh para pembudidaya. Peluang ekspor patin daging putih kini telah terbuka yang berdampak membuka lapangan kerja baru. Dengan adanya kegiatan ekspor ikan patin daging putih ini selain menghasilkan produk utama berupa filet, juga akan menghasilkan produk samping berupa kepala ikan, sebagai bahan soup di restoran, minyak ikan, tepung tulang ikan dan kulitnya dapat digunakan bahan baku colagen sebagai obat kulit terbakar. Selama ini permintaan ekspor ikan patin daging putih terus meningkat. Peningkatan ekspor ini bermanfaat untuk meningkatkan devisa negara dan peningkatan kesejahteraan pembudidaya.

Tujuan dari penerapan teknologi adalah penyediaan larva ikan patin pasupati yang terjamin secara kualitas, kuantitas dan kontinuitas untuk mendukung peningkatan produksi ikan patin skala industri. Diharapkan dari peningkatan produksi ini dapat memberikan manfaat terhadap peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya.

PENGERTIAN/DEFINISI Pasupati : Patin Super Harapan Pertiwi Hibridisasi : Suatu perkawinan silang antara berbagai jenis spesies ikan untuk menghasilkan jenis ikan unggul sebagai benih sebar baik kualitas maupun Kanulasi kuantitas : Cara sampling telur dalam gonad dengan pipa plastik halus bergaris tengah 1,2 mm (kateter) Papilla : Lubang kelamin berbentuk tonjolan kecil di bagian perut ikan sebagai tempat pengeluaran telur atau sperma. OSI : Ovi Somatic Index/ indeks yang menunjukkan perbandingan antara bobot telur yang di ovulasikan dengan bobot tubuh induk betina. Fekunditas : Jumlah telur yang diovulasikan per satuan bobot tubuh induk. HCG : Human Chorionic Gonadotropin/ hormon sejenis Glikoprotein yang dihasilkan oleh plasenta ibu hamil digunakan untuk memacu ovulasi

RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS

Pemeliharaan dan Seleksi Induk

Larva patin pasupati dihasilkan melalui teknologi hibridisasi antara Induk Betina Patin Siam dan Induk Jantan Patin Jambal. Pengelolaan atau manajemen induk sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam usaha pembenihan serta menghasilkan benih yang berkualitas baik. Larva yang sehat diperoleh dari induk yang dipelihara secara baik, yakni mendapat pakan yang bermutu dan memenuhi syarat sebagai pakan induk dan dipelihara dalam wadah dengan kualitas air yang baik.

Induk yang digunakan adalah induk jantan patin jambal dan induk betina patin siam. Induk betina patin siam dapat dipijahkan setelah berumur minimal 2,5 tahun dengan bobot 2,5 – 3 kg/ekor. Sedangkan induk jantan patin jambal dapat dipijahkan setelah berumur minimal 2 tahun dengan bobot 2,0 – 2,5 kg/ekor.

Kisaran kualitas air yang disarankan adalah; pH air 6,5 – 8,5, suhu air 28 – 31 C, oksigen terlarut o di atas 3 mg/l, amoniak kurang dari 0,1 mg/l, nitrit kurang dari 1 mg/l. Ikan patin tidak menghendaki air yang terlalu jernih, tingkat kecerahan yang ideal sekitar 30 cm. Beberapa wadah pemeliharaan induk yang dapat digunakan antara lain:

a. Kolam (air tenang) dengan kontruksi tanah atau tembok, luas kolam 50 -200 m ,2 kedalaman air 1,2 m, disarankan adanya pergantian air sebanyak 10%/hari. Kawasan harus bebas banjir dan bebas dari pencemaran. Padat tebar 2 ekor/m untuk patin 2 siam dan 0,5 ekor/m untuk patin jambal.2

b. Konstruksi karamba, bahan yang digunakan dapat dari kayu, bambu atau besi. Ukuran minimal 3 m x 2m x 1,5 m. Padat tebar 3 ekor/m untuk patin siam dan 1 ekor/m untuk3 3 patin jambal

c. Karamba jaring apung, konstruksi terbuat dari kerangka bambu, kayu atau besi. Ukuranminimal 4m x 4m x 4m, jaring terbuat dari polyethylene, PE 210 D9 sampai D18, ukuran mata jaring minimal 1 inch. Padat tebar 3 ekor/m untuk patin siam dan 13 ekor/m untuk patin jambal.2 Induk ikan patin perlu mendapatkan asupan pakan dengan jumlah yang cukup serta mutu yang baik. Pakan untuk induk ikan patin sebaiknya memiliki kadar protein kasar 36 – 38 % dan diberikan sebanyak 1 % dari biomassa/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari. Namun jika di sekitar kawasan budidaya tidak tersedia pakan induk dengan kadar protein kasar 36 – 38 %, induk ikan patin dapat diberi pakan dengan kadar protein kasar minimal 28 % sebanyak 2% dari bobot biomas/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari.

Keberhasilan pemijahan induk ditentukan oleh kejelian pemilihan induk yang matang gonad. Ciriciri induk betina ikan patin yang matang gonad ditunjukkan dengan organ papila membengkak dan berwarna merah. Selain itu, ditunjukkan dengan perut membengkak ke arah belakang (ke arah genital). Untuk mengetahui tingkat kematangan gonad induk betina secara akurat dapat dilakukan melalui pemeriksaan oosit (sel telur) dengan cara mengambil sampel telur dengan alat kanulasi (Kateter) Kanulasi dilakukan dengan memasukan alat kanulasi ke dalam ovari melalui lubang papila sedalam 8 – 10 cm. Agar mendapatkan sampel telur dari semua bagian ovari secara merata, batang penyedot yang ada dibagian tengah kateter ditarik keluar bersamaan dengan menarik kateter dari ovari. Induk ikan patin siam yang siap dipijahkan memiliki ukuran sel telur yang seragam dengan diameter ≥1 mm (sedangkan untuk patin jambal berdiameter ≥1,6 mm) dan berwarna kuning gading serta mudah dipisahkan, tidak menempel satu sama lain.

Sedangkan untuk mengetahui induk patin jantan yang matang gonad relatif mudah. Ciri induk jantan yang matang gonad adalah papila menonjol berwarna merah, bila dipijit keluar cairan putih kental (sperma). Induk yang terseleksi dan siap dipijahkan dipelihara di dalam wadah yang sempit sehingga induk mudah untuk ditangkap dan mendapatkan kualitas air yang baik yakni oksigen yang cukup (≥3 ppm) serta suhu air relatif tinggi (≥28° C).

Pemijahan

Induk patin siam dan patin jambal yang dipelihara dalam wadah budidaya tidak dapat memijah secara alami, sehingga pemijahannya dilakukan secara buatan melalui rangsangan hormonal. Hormon yang digunakan adalah ekstrak kelenjar hipofisa, Gonadotropin, dan Ovaprim (campuran LHRH-a dan domperidon). Penggunaan kelenjar hipofisa sudah jarang dilakukan karena kurang praktis. Hormon yang umum digunakan adalah ovaprim (campuran LHRH dan domperidon) dan HCG (Human Chorionic Gonadotropin).

Dosis penyuntikan yang biasa digunakan adalah sebagai berikut:

1. Penyuntikan dengan Ovaprim Penyuntikan pertama sebanyak 0,3 ml/kg induk dan penyuntikan kedua sebanyak 0,6 ml/kg induk dengan selang waktu 12 jam

2. Penyuntikan dengan HCG dan Ovaprim Penyuntikan pertama dengan HCG sebanyak 500 IU/kg induk dan penyuntikan kedua dengan Ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg induk Selang waktu dari penyuntikan kedua sampai ovulasi (waktu laten/latency time pada patin siam) berkisar 10 - 12 jam pada kondisi suhu air 28°C. Meskipun telah dilakukan rangsangan ovulasi induk ikan patin siam maupun patin jambal di dalam wadah budidaya tidak bisa memijah secara alami. Proses pembuahan (bercampurnya telur dan sperma) harus dilakukan secara buatan (artificial). Pembuahan yang biasa dilakukan ada dua sistem:

Pembuahan Sistem Kering

Dalam sistem kering ini telur yang telah dikeluarkan dan ditampung dalam baskom dicampur dengan s p e r m a y a n g b a r u , langsung dikeluarkan dari

Gambar 1. Proses pengeluaran sperma ikan patin jambal (kiri), Proses induk jantan kemudian pengeluaran telur ikan patin siam (kanan) dicampur dengan bulu ayam secara merata.

Kemudian untuk aktivasi ditambahkan air yang kaya oksigen sambil diaduk-aduk dengan bulu ayam. Selanjutnya dibilas dan diberi larutan tanah untuk menghilangkan daya rekat telur (Memisahkan telur yang biasanya melekat satu sama lain), kemudian dibilas lagi dengan air segar beberapa kali, kemudian ditetaskan.

Pembuahan Sistem basah

Pada sistem basah ini, sperma induk jantan terlebih dahulu dikeluarkan dan ditampung dalam wadah tabung atau gelas dan diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis (larutan infus NaCl). Larutan tersebut selain berfungsi sebagai pengencer juga berfungsi sebagai pengawet. Spermatozoa dapat tahan hidup dalam larutan tersebut selama 12 – 24 jam pada suhu 5 – 0°C.

Penetasan telur dilakukan pada corong penetasan. Telur dimasukan ke dalam corong penetasan yang dialiri air pada bagian dasar corong sehingga telur bergerak/ berputar secara pelan. Larva yang telah menetas dan sehat akan berenang ke atas mengikuti saluran pembuangan dan ditampung dalam hapa, sedangkan telur yang tidak menetas serta larva yang abnormal akan tetap berada di dasar corong. Resiko keracunan relatif rendah, karena kualitas air dapat mudah diperbaiki dengan menambahkan air segar. Suhu air optimal untuk proses penetasan telur adalah 28 - 31 C dan akan menetas setelah 16 – 22 jam.o

Larva yang tertampung dalam hapa harus segera dipanen agar tidak keracunan akibat pembusukan sisa-sisa telur yang tidak menetas. Larva dipanen dengan menggunakan serokan halus, kemudian dipindahkan ke dalam wadah bulat yang berisi air yang telah diaerasi agar mendapatkan oksigen yang cukup. Penghitungan maupun pengepakan larva sebaiknya dilakukan sebelum larva berumur 5 jam. Karena pada kondisi tersebut larva belum aktif mengejar sinar sehingga terdistribusi secara merata pada semua badan air.

Gambar 2. Fertilisasi telur pembentuk patin pasupati (kiri), Fasilitas corong penetasan telur (kanan)

Penghitungan larva pada umumnya dilakukan secara volumetri.

Pengangkutan larva dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik dengan penambahan oksigen. Pengangkutan sebaiknya dilakukan pada suhu dingin. Kepadatan larva dalam setiap kantong plastik harus mempertimbangkan lama waktu transportasi. Perbandingan volume antara air dan gas oksigen adalah 1 : 2.

Kepadatan larva maksimum dalam setiap kantong plastik tertera pada Tabel berikut:

Tabel 1. Kepadatan larva dan waktu tempuh dalam transportasi tertutup Pengangkutan lebih dari 12 jam dapat dilakukan dengan syarat dilakukan penggantian oksigen.

TARGET PRODUKSI T

arget produksi dari kegiatan pemijahan dalam setiap siklus produksi sebanyak 1.000.000 ekor, dimana dalam 1 tahun sebanyak 8.000.000 ekor ( 8 siklus pemijahan).

Kaji Terap

Kegiatan kaji terap teknologi produksi larva ikan patin pasupati sudah dilakukan melalui kegiatan diseminasi/iptekmas yang berlokasi di UPPU Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Palembang pada tahun 2012 dan kegiatan Iptekmas yang berlokasi di BBI Tanjung Putus Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2013 dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 2. Keragaan reproduksi pada produksi benih ikan patin pasupati

KEUNGGULAN TEKNOLOGI

Dari teknologi hybrid ini dihasilkan benih sebar Ikan patin pasupati yang bertumbuh cepat dan berdaging putih. Bila membudidayakan patin siam, fekunditas cukup tinggi namun dagingnya berwarna kining, sedangkan patin jambal fekunditas rendah dan beraging putih. Dengan persilangan (hybrid) dihasilkan benih sebar berdaging putih dan bertumbuh lebih cepat. Daging putih sangat diminati oleh konsumen dibandingkan daging berwarna kuning atau pink.

WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN/ DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN

Wilayah pengembangan usaha dalam rangka penerapan teknologi produksi larva ikan patin pasupati adalah lokasi yang dekat dengan sentra pengembangan budidaya Patin dan memiliki parameter kualitas air yang optimal untuk pemeliharaan adalah: suhu 28 -30 C, kandungan o oksigen terlarut 5 – 7 ppm, pH 6,5 – 8,5, amoniak (NH3) <0,2 mg/l dan nitrit (NO2) <0,01mg/l.

Wilayah pengembangan/penerapan teknologi yang diusulkan antara lain : Sumatera Selatan (Palembang, Ogan Ilir, Banyu Asin), Jawa Timur (Tulung Agung), Kalimantan Selatan (Banjar Baru). Sangat diharapkan dalam pengembangan industri ikan patin harus terintegrasi, dan suply chainnya semua tersedia (benih, pakan, obat-obatan, pengolahan) sehingga nir limbah (Zero waste).

KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF

Tidak ada dampak negatif dari usaha perbenihan, limbah yang dihasilkan relatif sangat kecil dan dapat diatasi dengan memanfaatkan air limbah sebagai pupuk untuk menyiram tanaman sayuran yang ditanam diatas di atas galengan kolam.

KELAYAKAN FINANSIAL

Berikut dilampirkan analisa usaha yang terkait kegiatan produksi benih ikan patin pasupati: Target produksi 8.000.000 ekor pertahun

Sumber:

Utami R., dkk. 2013. Teknologi Produksi Massal Larva Ikan Patin Pasupati. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Pengembangan Produk Bekicot Ala Sushi

Permakluman:  Produk-produk yang ditampilkan merupakan Produk Olahan Hasil Perikanan Karya Finalis Lomba Inovator Pengembangan Produk ...