Wednesday, 31 August 2016

MEWUJUDKAN KEDAULATAN RUMPUT LAUT NASIONAL


Komoditas rumput laut merupakan komoditas yang mempunyai nilai startegis ekonomi yang besar baik sebagai penggerak ekonomi masyarakat maupun sebagai penopang perekonomian nasional. Indonesia sebagai bagian dari Coral Three Angel (segitiga karang dunia) disuguhi begitu besar potensi dan ragam jenis sumberdaya rumput laut. Hasil identifikasi menyebutkan bahwa perairan Indonesia mmempunyai lebih dari 550 jenis rumput laut potensial, hanya saja dalam hal pemanfaatan sampai saat ini tidak lebih dari 5 jenis rumput laut bernilai potensial tinggi yang baru mampu dimanfaatkan.
 Mewaspadai tantangan pada zona hulu
Merujuk pada data statistik, produksi rumput laut selalu mengalami tren positif, dimana produksi rumput laut (untuk Gracilaria dan E. Cottoni) mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tahun 2010 s/d 2013 misalnya produksi rumput laut nasional untuk kedua jenis tersebut mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 27,88%. Namun demikian, kinerja peningkatan produksi tersebut tidak bisa lantas menjadikan semuanya tidak akan mengalami tantangan ke depan. Beragam fenomena permasalahan yang bisa muncul harus sudah menjadi perhatian serius sebagai upaya menjamin usaha budidaya terus berkesinambungan.
Kita bisa lihat misalnya, peningkatan produksi rumput laut saat ini harus dihadapkan pada sebuah tantangan salah satunya adalah fenomena penurunan daya dukung lingkungan perairan dan perubahan iklim global yang secara langsung berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pada beberapa lokasi misalnnya telah terjadi pergeseran pola musim tanam yang lebih pendek dari sebelumnya. Berbagai konflik pemanfaatan ruang juga disinyalir menyebabkan usaha rumput laut mulai tereduksi oleh sektor lain semisal parawisata. Kasus ini sudah mulai terjadi di beberapa daerah. Di Karimunjawa misalnya terjadi penurunan aktivitas usaha budidaya rumput laut secara signifikan seiring perkembangan sektor parawisata; di Kutai Kartanegara aktivitas usaha budidaya rumput laut harus berbenturan dengan jalur lintasan kapal pengangkut batu bara; sedangkan di Lombok Barat bagian selatan geliat usaha budidaya rumput laut megalami penurunan akibat perubahan lingkungan yang fluktuatif dan degradasi kualitas bibit.  Masih banyak lagi tantangan permasalahan termasuk aspek non teknis yang berkaitan dengan masalah di hilir yang sudah barang tentu berdampak langsung terhadap geliat usaha budidaya di hulu, misalnya posisi tawar dan nilai ttambah yang masih minim dirasakan oleh para pembudidaya.
Ada beberapa hal penting yang harus segera dilakukan sebagai upaya meminimalisir dan mengantisipasi tantangan di zona hulu, yaitu :
Pertama, terkait fenomena produksi yang fluktuatif di beberapa daerah, maka perlu ada upaya : (1) segera melakukan identifikasi untuk menentukan peta kesesuaian lahan budidaya untuk mengantisipasi penurunan kaualitas lingkungan dan perubahan iklim; (2) mempercepat perekayasaan terkait inovasi bioteknologi rumput laut untuk menghasilkan bibit rumput laut unggul dan adaptif dan melakukan percepatan distribusi bibit hasil kultur jaringan ke sentral-sentral produksi dan kawasan potensial.
Kedua, kaitannya dengan potensi konflik penataan ruang, maka perlu segera untuk mendorong Pemda (sesuai kewennangannya) untuk menyusun dan menetapkan Rencana Zonasi Pemanfaatan Willayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil khususnya zonasi kawasan budidaya laut, dimana di dalamnya mencakup zonasi untuk budidaya rumput laut sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang di kawasan sentral produksi dan kawasan potensial baru.
Ketiga, dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan posisi tawar pembudidaya, maka perlu didorong upaya : (1) memfasilitasi terbangunnya sebuah kemitraan yang efektif dengan industri di setral-sentral produksi, sebagai upaya dalam mengurangi mata rantai distribusi pasar dan mempermudah kontrol terhadap stabilitas harga dan kualitas produk; (2) menyusun standar produk hasil panen budidaya, untuk kemudian disosialisasikan secara massive dan ditetapkan sebagai aturan yang wajib.
 Hiilirisasi rumput laut nasional belum optimal
 Ada tantangan yang kerap kali menjadi momok dalam mewujudkan kedaulatan industri rumput laut nasional yaitu bahwasannya anugerah sumberdaya rumput laut yang Indonesia miliki pada kenyataannya belum mampu dirasakan dan dimanfaatkan secara optimal, dimana nilai tambah produk rumput laut belum sepenuhnya secara langsung dirasakan di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih sebatas menjadi eksportir raw material, sementara end productlebih banyak dihasilkan oleh negara-negara importir seperti China, sehingga mereka lebih banyak merasakan nilai tambah.  Ironisnya lagi setiap tahun Indonesia harus mengimpor produk setengah jadi seperti Refiine Carrageenan dan sudah barang tentu end product, inilah yang menyebabkan Indonesia mempunyai posisi tawar rendah karena pada kenyataannya harga komoditas rumput laut lebih banyak dikendalikan oleh negara-negara importir khususnya China.
Disatu sisi, upaya untuk memperkuat dan mengembangkan industri nasional belum dapat dilakukan secara optimal. Tingginya nilai investasi dalam membangun sebuah industri nasional skala besar menjadi salah satu penghambat pertumbuhan industri rumput laut nasional. Masalah lain adalah belum ada jaminan ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kuantitas maupun kualitas yang dirasakan Industri nasional saat ini. Ketimpangan terjadi manakala di hulu terjadi peningkatan produksi sementara di hilir (industri) kekurangan bahan baku. Apa yang terjadi sesungguhnya?
Jika diidentifikasi selain permasalahan di hulu, masalah utama yang mengganggu siklus bisnis rumput laut nasional adalah terkait supply chain dan pola tata niaga rumput laut yang tidak tertata dengan baik. Pada setiap sentral produksi misalnya terdapat begitu banyak pelaku yang melakukan kompetisi dagang yang tidak sehat. Begitu banyak peran tengkulak dan spekulan yang melakukan sistem hit and run. Pada beberapa sentral produksi seperti di Lombok para eksportir cenderung menempatkan pedagang pengumpul di setiap lokasi, diimana pengumpul tersebut menjalin kontrak quota, yang terjadi manakala karena dibebani kewajiban pemenuhan quota banyak diantara pengepul yang melakukan hit and run tanpa mempertimbangkan standar kualitas dengan harga yang sama atau bahkan lebih tinggi (diatas standar pasar yang berlaku). Kondisi ini memicu pembudidaya untuk tidak lagi mempertimbagkan kualitas namun lebih mempertiimbangkan harga. Masalah inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab industri nasional kehilanngan kesempatan untuk mendapatkan produk yang sesuai standar kualitas, disamping para pelaku industri nasional tidak cukup kuat untuk bersaing dengan para eksportir raw material karena harga banyak dikendalikan mereka.
Permasalahan lain adalah hampir disetiap sentral produksi belum terbangun sebuah kelembagaan baik Pokdakan maupun kelembagaan penunjang yang kuat dan mandiri. Yang terjadi adalah pembudidaya berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak punya kekuatan posisi tawar. Belum adanya kelembagaan yang kuat juga berpengaruh terhadap pola kemitraan usaha yang rentan pecah kongsi. Padahal sebuah kemmitraan usaha menjadi bagian penting dalam  memutus/mengurangi mata rantai distribusi pasar/pola tata niaga dengan begitu akan tercipta efesiensi dan nilai tambah.
Upaya menciptakan nilai tambah dengan membangun unit-unit pengolahan produk setengah jadi seperti chips yang mulai gencar dilakukan di sentral produksi pada kenyataannya tdak berjalan secara optimal. Jika kita analisa, ada beberapa kekurangan yang mestinya dijadikan pertimbangan utama, yaitu : (1) kapasitas sdm penggelola yang tidak disiapkan dengan baik; (2) SOP teknologi yang tidak dikuasai oleh pengelola sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah; (3) jaminan pasar hasil produk yang tidak terkoneksi secara pasti dengan industri nasional; dan (5) pola kemitraan yang tidak dibangun secara kuat.
Ironisnya masalah rantai pasok dan hilirisasi rumput laut sampai saat ini masih urung terselesaikan dengan baik, mungkin secara tidak sadar kita masih menganggapnya sebagai micro problem, padahal semuanya masalah bisnis rumput laut berawal dari sini. Ada beberapa hal terkait upaya pengembangan hilirisasi rumput laut nasional yang perlu segera ditindaklanjuti, yaitu :
Pertama, terkait jaminan kualitas produk raw material, maka harus ada upaya : (a) membangun kelembagaan dan kemitraan usaha, sehingga industri dapat secara langsung melakukan kontrol kualitas, disamping itu akan mempermudah dalam melakukan pembinaan secara langsung; (b) mendorong pemda bekerjasama dengan industri untuk membangun sisitem pergudangan dengan tata kelola yang efektif. Penerapan resi gudang (gudang serah) menjadi salah satu upaya yang dinilai efektif dalam memperbaiki rantai tata niaga rumput laut; (c) optimalisasi unit pengolahan yang telah ada dengan meperbaiki tata kelola dan membuka akses konektivitas produk yang dihasilkan dengan industri nasional.
Kedua, kaitannya dengan masalah rantai pasok, maka perlu ada upaya ; (a) pemerintah pusat menyusun pedoman teknis terkait model tata kelola usaha rumput laut yang efektif dan berkelanjutan; (b) mendorong pemda untuk menyusun sebuah aturan terkait tata kelola usaha rumput laut yang efektif. Aturan mengacu pada model yang ada dalam pedoman teknis dan atau bisa mencontoh pada model yang telah diterapkkan di daerah lain dan berjalan efektif; (c) Pemerintah bersama Asosiasi segera melakukan pendataan (licensi) terhadap pengepul/middle man di masing-masing sentral produksi sebagai upaya kontrol dan treacibility dalam penataan rantai tata niaga rumput laut; (e) pemda perlu mengeluarkan regulasi dalam upaya memperpendek rantai distribusi pasar dengan membangun kelembagaan yang kuat untuk kemudian memfasilitasi terwujudnya pola kemitraan yangg kuat dan berkesinambungan di setiap sentral produksi; dan  (f) meng-counterperan spekulan melalui kontrol dan  pengaturan tata kelola usaha rumput laut yang efektif
Ketiga, polemik tentang ketimpangan terkait supply and demand, maka harus ada upaya : (a) Pemerintah, Pemda dan Asosiasi secara bersama-sama melakukan pemetaan terkait kapsitas produksi, kapasitas terpasang yang mampu diserap industri nasional, kapsitas terpasang untuk ekspor raw material, dan kapsitas terpasang untuk msing-masing segmen pasar berdasarkan tipe produk; (b) Pemerintah melakukan pendataan terhadap pengumpul, para eksportir dan industri nasional beserta kapasitas produksi; dan (c) bersama-sama secara tranasparan menyusun peta realisasi dan kebutuhan rumput laut nasional
Keempat, kaitannya dengan pengembangan industri rumput laut nasional, maka perlu ada upaya-upaya yaitu : (a) memperkuat industri nasional melalui fasilitasi akses terhadap pembiayaan dan pemberian insentif serta penciptaan ikllim usaha dan investasi yang kondusif; dan (b) memfasilitasi kemitraan  usaha langsung dengan industri nasional dan melakukan pengaturan pola tata niaga sebagai upaya dalam menjamin ketersediaan bahan baku baik kualitas maupun kuantitas.
Perlu action plan yang konkrit dan implementatif
Pada era Pemerintahan yang lalu mantan Wakil Presiden Boediono telah mengamanatkan untuk secara fokus menggarap bisnis rumput laut sebagai salah satu potensi strategis ekonomi nasional. Hasilnnya telah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja) rumput laut nasional yang melibatkan lintas sektoral terkait. Harus diakui kemudian kinerja Pokja inipun tidak berjalan optimal sebagaimana yang diharapkan, ini bisa kita lihat dari tidak adanya sinergi dalam implementasi program yang ada, kegiatan yang masih bersifat parsial menjadi penyebab program tidak fokus pada upaya-upaya penyelesiaian masalah secara komprehensif, namun yang terjadi justru adanya tumpang tindih kewenangan. Begitupula peran Komisi Rumput Laut Indonesia masih belum optimal, perannya yang masih terbatas pada level dalam memberikan masukan dan rekomendasi dirasa masih kurang kuat karena masih bersifat normatif.
Seiring dengan misi besar kabinet kinerja yaitu dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka komoditas rumput laut menjadi sangat startegis sebagai bagian dalam pengembangan ekonomi maritim. Oleh karena itu, masalah perumput-lautan nasional harus mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Pembentukan semacam Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan Bisnis Rumput Laut Nasional yang langsung dibawah kendali Presiden, mungkin menjadi hal yang bisa dilakukan, sebagai upaya dalam memperkuat dan mempercepat proses industrialisasi rumput laut nasional. Keberadaan Kemenko Kemaritiman harus dijadikan wadah dalam mengkonsolidasikan semua lintas sektoral terkait untuk fokus bersama-sama secara sinergi dalam pengembangan industri rumput laut nasional. Penyusunan dan implementasi road map dan action plan rumput laut skala nasional yang mengakomodir kepentingan stakeholders pada seluruh level secara konkrit (tidak normatif) menjadi hal mutlak yang harus segera dilakukan.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/272/MEWUJUDKAN-KEDAULATAN-RUMPUT-LAUT-NASIONAL/?category_id=13

KKP GULIRKAN GERPARI DI JAMBI DUKUNG KEMANDIRIAN PAKAN


Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI) yang didorong sejak tahun lalu, terus bergulir. Salah satu contohnya adalah di Propinsi Jambi, tepatnya di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Jambi.
“BPBAT Jambi telah membangun pabrik pakan mandiri yang layak untuk di jadikan sebagai pusat Pakan Ikan Mandiri, tempat pelatihan dan juga sumber informasi dan alih teknologi, khususnya di dalam hal Pakan Ikan Mandiri”, demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada saat meninjau Pabrik Pakan Ikan Mandiri, di BPBAT Jambi.
Slamet sangat banggga dan lebih lanjut mengatakan bahwa pabrik pakan di BPBAT Jambi ini sudah mampu menghasilkan 2 ton pakan per jam dengan kemampuan produksi 5 jam per hari. “Kualitas yang dihasilkan sudah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) pakan untuk lele, nila dan gurame, yaitu mengandung kadar protein 28 %. Ini yang patut di tiru dan menjadi contoh bagi masyarakat. Kita harapkan masyarakat dapat langsung datang ke sini untuk belajar membuat pakan ikan secara mandiri dengan formulasi yang sesuai standard, sehingga nantinya dapat membuat pakan sendiri dengan kualitas yang bagus. Tentunya, pembuatan pakan oleh masyarakat ini dilakukan secara berkelompok dengan membentuk Kelompok Pakan Ikan Mandiri (POKANRI)”, lanjut Slamet.
“Harga pakan yang di produksi oleh BPBAT Jambi ini, relative terjangkau yaitu Rp. 6000 per kg. Ini akan menambah margin pembudidaya, sehingga semakin meningkatkan pendapatannya. Untuk itu, kami mendorong agar pemerintah daerah juga mengembangkan pakan ikan mandiri, dengan memanfaatkan sumberdaya alam masing-masing wilayah. Kita sedang jajaki untuk menjalin kerjasama dengan pabrik pengolahan kelapa sawit, agara dapat memanfaatkan limbahnya untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ikan”, tambah Slamet.
Program 100 juta benih
Program penyediaan 100 juta benih bagi pembudidaya ikan, merupakan salah satu program prioritas Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), sesuai arahan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. “Program ini menyediakan benih secara gratis, tentunya untuk masyarakat atau pembudidaya yang memenuhi syarat dan layak untuk diberikan benih. Salah satu jenis ikan yang akan di berikan adalah ikan patin, yang merupakan komoditas unggulan di Propinsi Jambi ini”, papar Slamet.
BPBAT Jambi sendiri merupakan Pusat Pengembangan Induk Unggul Patin Nasional (PUSTINA) karena fasilitasnya yang memadai dan loaksinya berada di sentra budidaya patin. “Saat ini BPBAT jambi memiliki 30 ribu ekor induk Patin dan tersedia benih patin sekitar 2 juta ekor. Ini akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Jambi dan sekitarnya terhadap induk unggul patin dan juga benih yang berkualitas”, terang Slamet.
Pada kesempatan terpisah, Dirjen Perikanan Budidaya bersama Gubernur Jambi, Zumi Zola dan rombongan Komisi IV DPR RI, memberikan bantuan benih ikan gratis ke masyarakat di Desa Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kab. Muaro Jambi.
“Disini merupakan salah satu kawasan minapolitan perikanan budidaya, dimana sebagian besar masyarakatnya melakukan usaha perikanan budidaya. Untuk itu, kita berikan bantuan benih, mesin pellet dan ekskavator, agar perikanan budidaya terus berkembang dan lebih maju lagi. Tentunya yang kita dorong adalah perikanan budidaya yang berkelanjutan, yang selalu memperhatikan lingkungan sekitarnya dan memandirikan para pelaku usahanya”, jelas Slamet.
Dukungan dari DPR RI, terhadap kebijakan pembangunan kawasan perikanan budidaya di Muaro Jambi, sangat diperlukan karena ini akan mendorong peningkatan perekonomian daerah dan pendapatan masyarakat. “Kurang lebih  60 persen lahan budidaya di wilayah Minapolitan Desa Pudak ini, telah menjadi lokai budidaya ikan patin yang rata-rata mampu berproduksi berkisar 25 ton per hari untuk kebutuhan masyarakat Kota Jambi”, tambah Slamet.
Bantuan benih yang diberikan adalah 1 juta benih patin untuk 10 UPR, 150 ekor induk patin untuk 10 UPR, 40 ribu ekor benih patin untuk 10 pembudidaya dan 20 ribu benih ikan mas untuk 5 pembudidaya
Kawasan Minapolitan di Desa Pudak ini seluas 250 ha, dan saat ini telah di usahakan seluas 100 ha, dengan jumlah kolam 2600 buah. Jumlah kelompok pembudidaya sebanyak 35 kelompok dengan produksi mencapi 25 ton per hari.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/379/KKP-GULIRKAN-GERPARI-DI-JAMBI-DUKUNG-KEMANDIRIAN-PAKAN/?category_id=13

Tuesday, 30 August 2016

KKP FOKUS KURANGI BIAYA PAKAN IKAN MELALUI GERAKAN PAKAN IKAN MANDIRI


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus kurangi biaya pakan ikan melalui Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI). Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) terus berupaya untuk mengurangi biaya pakan yang dikeluarkan dalam usaha budidaya ikan, khususnya budidaya ikan air tawar.
Saat ini, biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya untuk pembelian pakan cukup tinggi. Yaitu berkisar 70 sampai 80 persen dari biaya keseluruhan. “Sesuai arahan Menteri Kelautan dan Perikanan, harga pakan ikan harus ditekan sampai 60 persen dari harga yang ada sekarang, ungkap Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (Dirjen PB), Slamet Soebjakto, disela kunjungan kerjanya di BPBAT Mandiangin, Rabu (25/05).
“Pemanfaatan bahan baku lokal akan kita dorong, karena masing-masing wilayah atau sentra budidaya memiliki bahan baku yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan baku tepung ikan impor, seperti bungkil sawit, eceng gondok, ampas kelapa dan lain-lain. “Kita juga akan dorong kelompok pakan ikan mandiri (POKANRI) yang terpisah dari kelompok pembudidaya, untuk menghasilkan pakan berkualitas sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), dalam jumlah yang cukup, untuk memenuhi kebutuhan kelompok pembudidaya di wilayahnya, secara kontinyu,” jelas Slamet.
Pada kunjungan kerja tersebut juga, Rabu (25/05), Dirjen PB, Slamet Soebjakto, juga meresmikan Pabrik pakan mini ikan mandiri di Balai Perikanan Budidaya Ikan Air Tawar (BPBAT) Mandiangin. Dengan investasi sekitar Rp. 1,5 miliar, dan memiliki kapasitas produksi sekitar 200 kg per jam.
Saat ini, melalui produksi pakan ikan dari pabrik mini pakan mandiri ini, harga sudah berhasil diturunkan. Pakan ikan yang biasanya dibanderol dengan harga Rp 9.000 sampai Rp10.000 per kg, bisa diturunkan menjadi Rp5.500 per kg,” tambah Slamet.
Pabrik pakan ikan mandiri ini, merupakan salah satu pabrik pakan yang dibangun untuk mendukung GERPARI. “Nantinya, disini akan menjadi pusat pelatihan, perekayasaan pakan termasuk formulasi pakan, pengecekan kualitas pakan dan juga sebagai tempat studi banding bagi masyarakat yang akan mengembangkan pakan ikan secara mandiri,” jelas Slamet.
Selain di Banjarbaru ini, pabrik pakan ikan mandiri juga di bangun di beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) DJPB. Seperti di Sukabumi, Karawang, Lampung, Jambi, Situbondo, Aceh,  Lombok, Manado, dan Batam.
Untuk POKANRI, kita juga akan bantu stimulus untuk mengembangkan usahanya. Melalui bantuan-bantuan bahan baku dan mesin dengan kapasitas 50 kg per jam. Dan POKANRI akan kita dorong untuk mampu meningkatkan produksinya sampai 100 sampai 200 kg per jam”, papar Slamet.
Tentu saja kelompok yang akan di berikan bantuan ini, harus memenuhi persyaratan seperti memiliki badan hukum, memiliki lahan dan tersedia suplai listriknya. Dikarenakan bantuan ini adalah stimulus, maka setelah satu kali periode bantuan maka diharapkan kelompok dapat mengelola dan mengembangkannya sendiri, tambah Slamet.
“Kita juga akan melakukan penilaian terhadap semua POKANRI, dari segi kreatifitas, kontinyuitas, konsistensi, kualitas dan juga pengembangan usahanya. Sehingga akan mendorong munculnya POKANRI yang berprestasi. Untuk itu kami juga mengharapkan pemerintah daerah melalui dinas terkait juga melakukan bimbingan dan pembinaan”, papar Slamet.
Slamet menambahkan bahwa semua bantuan yang diberikan oleh pemerintah ini bukan merupakan subsidi, tetapi ini merupakan stimulan untuk menggugah semangat masyarakat. “Ini juga sebagai bentuk kepedulian pemerintah melalui KKP dalam meningkatkan kesejahteraan pembudidaya dan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang perikanan budidaya. Dengan masyarakat yang sejahtera, maka kemandirian akan semakin terwujud”, pungkas Slamet.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/397/KKP-FOKUS-KURANGI-BIAYA-PAKAN-IKAN-MELALUI-GERAKAN-PAKAN-IKAN-MANDIRI/?category_id=13

Monday, 29 August 2016

KEBERLANJUTAN PERIKANAN BUDIDAYA MELALUI STANDARDISASI, MONITORING LINGKUNGAN DAN PENGENDALIAN RESIDU


Perikanan budidaya terus didorong untuk meningkatkan kualitas produksinya di samping kuantitasnya, untuk memenuhi kebutuhan pasar. Penekanan pada peningkatan kualitas produksi perikanan budidaya ini selaras dengan di bukanya Pasar Bebas ASEAN (MEA) yang mendorong perlunya peningkatan daya saing, salah satunya dengan kualitas produk yang meningkat dan aman di konsumsi. “Selain produk perikanan budidaya harus bisa memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, harus di dukung dengan kualitas produk yang mampu bersaing baik di pasar regional maupun pasar global. Untuk itu melalui program pembangunan perikanan budidaya yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan, kita harus menerapkan system jaminan mutu dan keamanan mutu hasil perikanan budidaya dari hulu sampai hilir proses produksi perikanan budidaya, baik itu melalui penerapan standardisasi system produksi perikanan budidaya, system monitoring lingkungan maupun pengendalian residu”, demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada saat memberikan arahan dalam acara Rapat Koordinasi Standardisasi Perikanan Budidaya, Monitoring Lingkungan Perikanan Budidaya dan Pengendalian Residu di Yogyakarta.
“Persaingan pasar yang semakin terbuka, menuntut kita untuk menghasilkan produk perikanan budidaya yang sesuai standar, baik itu standar system produksi maupun standar mutu hasil perikanan. Standardisasi harus dilakukan di semua lini, baik itu standar pembenihan, standar prasarana dan sarana budidaya, standar produksi maupun standar pakan yang di dukung dengan penerapan standar metode uji di laboratorium, untuk memberikan jaminan keamanan dan jaminan mutu produk perikanan budidaya”, jelas Slamet.
Saat ini, terdapat 250 buah Standar Nasional Indonesia (SNI) bidang perikanan budidaya (lima diantaranya adalah RSNI) yang digunakan sebagai standar untuk mendukung peningkatan produksi perikanan budidaya dalam memasuki persaingan pasar bebas baik di tingkat regional maupun global.
Pengendalian Residu
“Disamping penerapan standardisasi perikanan budidaya, diperlukan upaya lain untuk dapat menghasilkan produk perikanan budidaya yang berkualitas dan aman dikonsumsi, tanpa mengandung residu antibiotik dan bahan kimia yang dilarang yaitu penerapan sistem monitoring residu nasional”, terang Slamet.
Slamet menambahkan bahwa Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah berhasil melakukan pengendalian residu dan sekaligus melakukan monitoring penggunaan residu pada usaha budidaya sejak tahun 2013, Indonesia telah dimasukkan oleh Direktorat Jenderal Konsumen dan Kesehatan, European Commission melalui Commission Decision 2011/163/EU, ke dalam daftar negara-negara yang diperbolehkan mengekspor produk perikanan budidaya ke Uni Eropa. Kondisi ini membuktikan bahwa Sistem Monitoring Residu perikanan budidaya Indonesia telah dinilai setara dengan standard Uni Eropa. Hal ini harus terus dipertahankan antara lain melalui koordinasi yang berkelanjutan dan semakin baik diantara pihak terkait (stakeholders), baik di tingkat pusat dan daerah dalam pelaksanaan monitoring residu”, papar Slamet.

Slamet lebih lanjut mengatakan bahwa setelah di terbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39 Tahun 2015 tentang Pengendalian Residu Obat Ikan, Bahan Kimia dan Kontaminan pada kegiatan Pembudidayaan Ikan Konsumsi, membuktikan keseriusan pemerintah dalam hal peningkatan jaminan keamanan pangan dan mutu produk perikanan budidaya. “Permen ini menjadi acuan dalam monitoring dan pengendalian residu. Ini harus di terapkan untuk meningkatkan daya saing produk perikanan budidaya, sampai ke tingkat daerah,” kata Slamet.
Monitoring Lingkungan Perikanan Budidaya
Pembangunan perikanan budidaya berbasis lingkungan atau ekosistem terus di kembangkan dan di gulirkan. Dengan memperhatikan lingkungan atau ekosistem, perikanan budidaya akan menjadi tumpuan dalam pengembangan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang sekaligus memperhatikan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, agar tetap lestari dan berkelanjutan.
“Untuk mendukung keberlanjutan usaha perikanan budidaya, perlu upaya penerapan pendekatan terhadap lingkungan dalam pengembangan perikanan budidaya atau disebut dengan Ecosystem Approach for Aquaculture (EAA), untuk mengelola perikanan budidaya yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan berdasarkan ekosistem di Indonesia. Program Culture Based Fisheries (CBF) juga sangat sesuai dengan EAA. Ini akan kita coba terapkan di beberapa lokasi, sebagai percontohan”, papar Slamet.
Pengelolaan usaha perikanan budidaya di perairan umum perlu dilakukan. “Usaha perikanan budidaya di Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan umum, perlu di tata ulang sehingga memberikan hasil yang positif baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Penggunan teknologi pakan yang efisien dan ramah lingkungan harus terus di dorong, sehingga meminimalisir dampak negative bagi lingkungan”, tutur Slamet.
Usaha perikanan budidaya yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan akan  menghasilkan keberhasilan usaha. Karena perikanan budidaya tidak bisa terlepas dari kondisi lingkungan baik lingkungan budidaya maupun lingkungan di sekitarnya. “Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti, sangat perhatian sekali dengan permasalahan lingkungan ini. Karena ini akan menjadi warisan ke anak cucu kita di masa depan. Dengan membangun perikanan budidaya yang berwawasan lingkungan saat ini, artinya kita juga sedang membangun masa depan”, pungkas Slamet.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/378/KEBERLANJUTAN-PERIKANAN-BUDIDAYA-MELALUI-STANDARDISASI-MONITORING-LINGKUNGAN-DAN-PENGENDALIAN-RESIDU/?category_id=12

Friday, 26 August 2016

Pengembangan Perikanan Budidaya yang Mandiri, Berdaya Saing dan Berkelanjutan Tahun 2015-2019



    Di tahun 2013 populasi di Indonesia sudah mencapai 240 juta orang, diperkirakan pada tahun 2050 jumlah populasi di Indonesia mencapai 300 juta orang. Bahkan populasi dunia, pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 9 milyar orang. Ledakan populasi dunia memacu konsumsi ikan dan daging lainnya sebagai sumber makanan. “Ungkap Dirjen Perikanan Budidaya dalam memberikan Arahan pada Forum Evaluasi PUMP-PB Tingkat Nasional tahun 2014 di Semarang.

    Kondisi tersebut memberikan tantangan tersendiri bagi Ditjen Perikanan Budidaya untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya di Indonesia. Kebutuhan ikan akan naik terus. Ditahun 2030 konsumsi global meningkat menjadi 22,5 kg/tahun [Hall et al.(2011)].

            Data tersebut didukung oleh FAO bahwa perikanan budidaya memiliki peningkatan produksi 8,2 % pertahun dibandingkan perikanan tangkap yang stabil 1,3 % pertahun dan memiliki kontribusi sebesar 2,6 % pertahun untuk total produksi daging dunia.

    Pembangunan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan tahun 2015-2019 terdiri dari 3 aspek utama yaitu aspek teknologi produksi, aspek sumber daya alam dan lingkungan, dan aspek sosial dan ekonomi.

    Tahun 2015-2019 target capaian produksi perikanan budidaya sebesar 33,036 juta ton, ikan hias sebanyak 2,5 milyar ekor dengan total nilai mencapai Rp 356,824 Triliyun. Target tenaga kerja sebanyak 9.583.054 orang serta luas lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya sebesar 26,8%. “imbuh Dirjen PB”

    Dirjen PB menambahkan, target produksi perikanan budidaya tersebut perlu didukung oleh berapa faktor diantaranya lahan dan prasarana-sarana, investasi dan pembiayaan usaha, input produksi (pakan,benih, induk obat ikan, dll), adopsi teknologi, serta menguatkan kelembagaan pokdakan, gapokan, asosiasi dan UPP.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/184/Pengembangan-Perikanan-Budidaya-yang-Mandiri-Berdaya-Saing-dan-Berkelanjutan-Tahun-2015-2019/?category_id=11

Thursday, 25 August 2016

PERKUAT DATABASE PERIKANAN BUDIDAYA MELALUI SIMSTAT


Pembangunan perikanan budidaya yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan harus di dukung dengan ketersediaan data yang akurat dan di himpun secara cepat dan tepat. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan Sistem Data Base atau Basis Data yang selalu update dan terhubung dengan sumber data. “Kevalidan suatu data, khususnya data statistik, sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan serta penetapan kebijakan. Sehingga kebijakan dan keputusan yang diambil akan dapat memenuhi keinginan masyarakat dan juga tepat sasaran”, demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada acara Sinkronisasi Data Base Sistem Informaasi Manajemen Statistik (SIMSTAT) Perikanan Budidaya di Bogor.
Untuk meningkatan kevalidan dan keakuratan data statistik perikanan budidaya ini, kita harus sesuaikan metode pengumpulan datanya dengan yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan juga berkoordinasi dengan Pusat Data Statistik dan Informasi (PUSDATIN) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)”, tambah Slamet.
SIMSTAT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) mengumpulkan data secara triwulan secara berjenjang dari mulai tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota hingga Propinsi. “Tahun 2015 lalu, masih terdapat 35 Kab/Kota di wilayah timur, yang belum melakukan input data statistik perikanan budidaya pada SIMSTAT. Mungkin saja kendala yang dialami adalah karena jarak yang cukup jauh, kekurangan petugas atau enumerator dan juga masalah koneksi komunikasi”, Jelas Slamet.
“Jumlah enumaretor yang kita miliki saat ini ada 4.831 orang. Jumlah ini relatif masih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kecamatan seluruh Indonesia yang lebih dari 6000 kecamatan. Belum lagi kalau dibandingkan dengan jumlah desa dan kelurahan se Indonesia yang jumlahnya lebih dari 150 ribu desa dan kelurahan”, terang Slamet.
Untuk mendukung pengumpulan data perikanan budidaya di seluruh Indonesia, maka DJPB akan mendorong pemanfaatan teknologi informasi tetapi tetap berdasarkan cara pengumpulan data yang sesuai dengan BPS. “Kita dorong penggunaan teknologi informasi ini sehingga data dapat terkumpul secara cepat, tepat dan akurat. Disamping itu juga perlu memperkuat kapasitas petugas pengumpul data di daerah sehingga dapat mengumpulkan data seakurat dan setepat mungkin dari masyarakat maupun pengusaha budidaya ikan. Banyak kasus ditemukan, pengusaha enggan memberikan data produksi yang sebenarnya, dengan harapan mendapat bantuan dana atau khawatir dengan pajak yang akan dikenakan. Ketelitian dan kecermatan petugas sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga data yang terkumpul adalah data yang mewakili kondisi sebenarnya”, ungkap Slamet.
Slamet juga memberikan apresiasi kepada para petugas statitik atau enumerator yang telah memberikan data secara cepat dan akurat. “Dedikasi para enumerator tersebut patut kita acungi jempol. Karena mereka telah mengumpulkan data secara kontinyu. Hal ini sangat kita perlukan. Kita juga akan terus melakukan Komunikasi, Koordinasi dan Kerjasama dengan pihak terkait untuk membantu peningkatan kecepatan dan keakuratan pengumpulan data statistik ini. Agar Perikanan Budidaya yang Mandiri, Berdaya Saing dan Berkelanjutan, dapat terwujud dan mampu mensejahterakan masyarakat”, pungkas Slamet.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/375/PERKUAT-DATA-BASE-PERIKANAN-BUDIDAYA-MELALUI-SIMSTAT/?category_id=11

Tuesday, 23 August 2016

KKP TARGETKAN 10 RIBU SERTIFIKASI BUDIDAYA IKAN


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) memasang target lebih dari 10 ribu sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) pada tahun 2016 ini. Semakin terbukanya pasar ekonomi, baik regional maupun global, menuntut peningkatan mutu produk perikanan budidaya, yang aman dikonsumsi, memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, kesehatan dan kenyamanan ikan serta sosial ekonomi, dalam proses produksinya.
“Empat aspek yang saat ini di syaratkan dalam proses Sertifikasi CBIB, yaitu Food Safety, Animal Welfare, Sustainability, dan Social Impact, selaras dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti,  yang mendorong pembangunan perikanan budidaya menuju keberlanjutan.,” kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam Rapat Koordinasi Sertifikasi CBIB tingkat Nasional, Rabu (25/05).
Menurut Slamet, capaian kinerja sertifikasi CBIB yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari tahun ke tahun meningkat cukup signifikan. Tercatat, pada tahun 2014 capaian kinerja Sertifikasi 126,4 persen atau 10.112 unit dari target 8.000 unit pembudidayaan ikan yang tersertifikasi. Pada tahun 2015 sertifikasi CBIB mencapai 10.672 unit atau meningkat sebesar 5,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan untuk target sertifikasi CBIB pada tahun 2016 adalah 10.980 unit.
Untuk memenuhi target tersebut, diperlukan kegiatan yang terintegrasi dan bertahap melalui pembinaan bagi pembudidaya dan petugas. Sedangkan penerapan prinsip-prinsip CBIB di unit pembudidayaan ikan akan dilanjutkan dengan penilaian kesesuaian.
“Sejak tahun 2013, kinerja CBIB menjadi salah satu indikator kinerja yang dipantau dan dievaluasi oleh Unit Kerja Kepresidenan secara periodik. Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas hasil perikanan budidaya sehingga mampu memiliki daya saing tinggi di pasar global demikian juga meningkat serapannya di pasar lokal,” jelas Slamet.
Slamet menegaskan, untuk mendukung capaian kinerja sertifikasi CBIB, mulai tahun 2013, kewenangan sertifikasi CBIB telah didelegasikan kepada 15 Provinsi. Daerah yang terpilih yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan Ditjen Perikanan Budidaya melakukan pembinaan terhadap personil di provinsi-provinsi tersebut dan sekaligus melakukan monitoring pelaksanaannya.
“Saat ini, sertifikasi CBIB, sifatnya masih pembinaan dan tanpa dipungut biaya. Ke depan, kesadaran masyarakat akan pentingnya sertifikasi CBIB akan sangat diperlukan sehingga peningkatan mutu produksi perikanan budidaya akan tercapai dengan penerapan CBIB secara mandiri oleh masyarakat. Peningkatan produksi dan terjaminnya mutu hasil perikanan budidaya, menjadikan masyarakat pembudidaya sejahtera,” katanya.
Slamet menjelaskan, sejalan dengan tiga pilar pembangunan, yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, perikanan budidaya juga akan di bangun untuk menjadi mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan melalui koordinasi, komunikasi, dan kerjasama.
Untuk dapat memproduksi produk perikanan budidaya yang memenuhi persyaratan mutu tidak cukup hanya mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja. Tetapi juga diperlukan adanya Sistem Jaminan Mutu melalui penerapan CBIB sejak pra produksi sampai dengan pasca produksi.
Kedepan KKP melalui Ditjen PB akan lebih meningkatkan dan memperkuat lagi beberapa kerjasama beberapa program pemerintah yang terintegrasi. Sehingga dampak peningkatan pendapatan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. “Diharapkan dampak tersebut dapat mendorong masyarakat menuju Masyarakat Perikanan Budidaya yang Mandiri, Berdaya Saing dan Berkelanjutan,” pungkas Slamet.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/398/KKP-TARGETKAN-10-RIBU-SERTIFIKASI-BUDIDAYA-IKAN/?category_id=11

Monday, 22 August 2016

PENGENALAN KEGIATAN ILLEGAL FISHING



































Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional


Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional diselenggarakan pada tanggal 17 s/d 1Maret2015 bertempat di Wisma Tani Jakarta, dibuka secara resmi oleh Direktur Perbenihan, dihadiri oleh peserta yang berasal dari Eselon III dan petugas admin lingkup Dit. Perbenihan, Perwakilan Direktorat Produksi dan petugas data perbenihan dari seluruh UPT Ditjen Perikanan Budidaya dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi seluruh Indonesia.

Hasil diskusi dan pemaparan materi dari narasumber antara lain :
I.          DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
1.         Melakukan validasi terhadap data perbenihan (produksi dan distribusi komoditas perikanan air tawar, payau/laut, bibit rumput laut serta keragaan unit pembenihan ) yang disampaikan oleh petugas data perbenihan Provinsi dan UPT Ditjen Perikanan Budidaya;
2.        Menerbitkan buku tahunan data produksi benih dan distribusi perbenihan secara nasional;
3.         Melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pendataan perbenihan di seluruh provinsi
4.        Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain dalam rangka pengembangan sistem informasi dan distribusi perbenihan.

II.        UPT DITJEN PERIKANAN BUDIDAYA
  1. Melengkapi data perbenihan tahun 2014 dan mengirimkan kepada Subdirektorat Informasi dan Distribusi Perbenihan selambat-lambatnya 1 minggu setelah kegiatan “Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional” selesai dilaksanakan, sesuai dengan format yang telah ditetapkan
  2. Melakukan pencatatan data produksi dan distribusi perbenihan dengan cara  pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perbenihan UPT
  3. Melakukan koordinasi data perbenihan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
  4. Mengikuti validasi data produksi dan distribusi perbenihan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
  5. Mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh DJPB terkait sistem informasi dan distribusi perbenihan
  6. Melaporkan hasil pengolahan data perbenihan setiap triwulan kepada DJPB sesuai form yang telah disampaikan. 

III.      DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI
  1. Melengkapi data perbenihan tahun 2014 dan mengirimkan kepada Subdirektorat Informasi dan Distribusi Perbenihan selambat-lambatnya 1 minggu setelah kegiatan “Sinkronisasi Data Produksi dan Distribusi Perbenihan Nasional” selesai dilaksanakan, sesuai dengan format yang telah ditetapkan
  2. Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perbenihan yang diperoleh dari UPTD Prov/Kab/Kota, unit pembenihan di masyarakat dan unit pembenihan swasta
  3. Mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh DJPB terkait sistem informasi dan distribusi perbenihan
  4. Melakukan koordinasi dengan instansi lainnya terkait dengan data distribusi induk dan benih (Balai karantina ikan, Asosiasi/supplier benih dan induk, Badan Pusat Statistik Prov/Kab/Kota, Balitbang, dll)
  5. Melaporkan hasil pengolahan data perbenihan setiap triwulan kepada DJPB sesuai form yang telah disampaikan
  6. Menerbitkan buku data perbenihan Provinsi
  7. Melakukan pendataan unit perbenihan swasta yang berada di wilayahnya masing- masing
 Demikian beberapa hal tindak lanjut yang akan menjadi acuan masing-masing pihak dalam melaksanakan kegiatan sistem informasi dan distribusi perbenihan.

Sumber: http://djpb.kkp.go.id/arsip/c/228/Sinkronisasi-Data-Produksi-dan-Distribusi-Perbenihan-Nasional/?category_id=10

Pengembangan Produk Bekicot Ala Sushi

Permakluman:  Produk-produk yang ditampilkan merupakan Produk Olahan Hasil Perikanan Karya Finalis Lomba Inovator Pengembangan Produk ...