1. Suhu
Kelarutan berbagai jenis gas di air seta semua aktivitas biologis di dalam
akuatik sangat dipengatuhi oleh suhu. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu
sebesar 10ºC (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan
aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari orgganisme sebesar 2-3 kali
lipat. Suhu di lautan adalah salah satu faktor yang amat
penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik
aktivitas metabolisme maupun perkembangan dari organisme. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis hewan yang terdapat di
berbagai tempat di dunia
(Hutabarat dan Evans, 1985).
Plankton
dari jenis fitoplankton hanya dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang
mempunyai sinar matahari yang cukup. Akibatnya penyebaran fitoplankton besar
pada lapisan permukaan laut saja. Keadaan yang demikian memungkinkan untuk
terjadinya proses fotosintesis. Sejak sinar matahari yang diserap oleh lapisan
permukaan laut, maka lapisan ini relatif panas sampai ke kedalaman 200 m
(Hutabarat dan Evans, 1985).
Menurut Soetjipta (1993) bahwa suhu yang dapat ditolerir oleh organisme pada suatu perairan bekisar antara 20-30ºC. Suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar antara 25-30ºC (Isnansetyo & Kusniastuti, 1995), sedangkan suhu untuk pertumbuhan dari zooplankton berkisar antara 15-35ºC.
Menurut Soetjipta (1993) bahwa suhu yang dapat ditolerir oleh organisme pada suatu perairan bekisar antara 20-30ºC. Suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar antara 25-30ºC (Isnansetyo & Kusniastuti, 1995), sedangkan suhu untuk pertumbuhan dari zooplankton berkisar antara 15-35ºC.
2. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa
cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini
sangat penting dalam kaitannya dengan laju fotosintesis. Penetrasi cahaya
merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton) dan juga
penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula
mengakibatkan kematian pada organisme tertentu.
3. Salinitas
Salinitas
adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut.
Konsentrasi ini biasanya sebesar 3% dari berat seluruhnya atau sering juga
disebut bagian perseribu (permil) dan biasa ditulis dengan 35‰. Konsentrasi
garam-garam ini jumlahnya relative sama dalam setiap contoh-contoh air laut,
sekalipun mereka diambil dari tempat yang berbeda di seluruh dunia (Hutabarat
dan Evans,1985).
Hampir semua
organisme laut dapat hidup pada daerah yang mempunyai perubahan salinitas yang
sangat kecil, misalnya daerah estuaria adalah daerah yang mempunyai salinitas
rendah karena adanya sejumlah air tawar yang masuk yang berasal dari daratan
dan juga disebabkan karena adanya pasang surut di daerah ini kisaran salinitas yang
normal untuk kehidupan organisme di laut adalah berkisar antara 30-35 ppm
(Gosari, 2002).
Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Yang pertama karena zona intertidal terbuka pada saat pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, akibatnya salinitas akan turun secara drastis (Nybakken, 1992).
Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Yang pertama karena zona intertidal terbuka pada saat pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, akibatnya salinitas akan turun secara drastis (Nybakken, 1992).
4. Potensial Hidrogen (pH)
pH merupakan
pengukuran asam atau basa suatu larutan. Keasaman terjadi karena berlebihnya
ion H+ pada suatu larutan, sedangkan alkalinitas terjadi karena berlebihnya ion
OH- pada suatu larutan. Potensial hidrogen atau sifat keasaman atau basa
(alkalinitas) suatu larutan sangatlah penting dalam faktor kelarutan dalam air
laut terutama terhadap pengendapan mineral atau unsur-unsur dan kehidupan
organisme pada suatu kondisi tertentu (Hutabarat dan Evans, 1985).
Derajat
keasaman (pH) adalah nilai logaritma tentang besarnya konsentrasi ion hidrogen
sehingga menunjukkan kondisi air atau tanah tersebut basa atau asam. Pada
umumnya kedalaman dasar juga mencirikan nilai pH dari air laut dan substrat
dasarnya sehingga dapat diketahui bahwa tingkat keasaman pada daerah yang lebih
dalam akan lebih rendah dibandingkan pada daerah yang lebih dangkal (Usman,
2006).
pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar 7 –
8,5. Kondisi perairan yang bersifat asam maupun basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisma dan respirasi. Disamping itu pH
yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam
berat yang bersifat toksit semakin tinggi yang tentunya akan mengancam
kelangsungan hidup organisme akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan
keseimbangan antara ammonium dan ammoniak dalam air akan terganggu, dimana
kenaikan pH diatas netral akan meningkat konsentrasi ammoniak yang juga
bersifat sangat toksit bagi organisme. pH perairan tawar berkisar dari 5-10.
Setiap organisme mempunyai pH yang optimum bagi kehidupannya. Perkembangan alga
Cyanophiceae akan sangat jarang dalam
perairan apabila pH dibawah 5.
5. Arus
Menurut
Hutabarat dan Evans (1985), arus merupakan pergerakan massa air yang disebabkan
oleh adanya perbedaaan densitas atau angin. Arus dapat dibagai menjadi arus
permukaan dan arus upwelling. Arus dapat disebabkan oleh angin, juga
dipengaruhi oleh faktor topografi dasar laut, pulau-pulau yang ada
disekitarnya, gaya coriolis dan perbedaan densitas air laut.
Arus tertuma berfungsi dalam transportasi energi panas dan substansi
seperti gas maupun mineral yang terdapat dalam air. Arus juga mempengaruhi
penyebaran organisme. Adanya arus pada suatu ekosistem akuatik membawa plankton
(khusus fitoplankton) yang menumpuk pada suatu tempat tertentu yang dapat
menyebabkan terjadiya blooming pada lokasi tertentu jika tempat tersebut kaya
akan nutrisi yang menunjang pertumbuhan fitoplankton dengan faktor abiotik yang
mendukung bagi perkembangan kehidupan plankton (Basmi, 1992).
6. Kekeruhan
Kekeruhan
menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang
diserap dan dipancarkan bahan-bahan yang terdapat dalam perairan. Kekeruhan air
dapat disebabkan oleh lumpur, partikel tanah, serpihan tanaman, dan
fitoplankton. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan organisme yang
menyesuaikan diri pada air yang jernih menjadi terhambat dan dapat pula
menyebabkan kematian karena mengganggu proses respirasi (Hutagalung et al.,
1997).
7. Oksigen terlarut (DO).
Kandungan oksigen terlarut merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu
perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam
ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi
sebagan besar organisme air. Kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi
terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen didalam air terdapat pada
suhu 0ºC, yaitu sebesar 14,16 mg/lt O2. Konsentrasi menurun sejalan
dengan meningkatnya suhu air. Peningkatan suhu menyebabkan konsentrasi oksigen
menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah meningkatkan konsentrasi
terlarut (Barus,2001). Nilai DO yang berkisar diantara 5,45 – 7,00 mg/l cukup
baik bagi proses kehidupan biota perairan. Makin rendah nilai DO maka makin
tinggi tingkat pencemaran suatu ekosistem perairan tersebut.
Menurut
Sachlan (1972), penyebaran plankton dalam perairan dipengaruhi oleh sifat
fototaksis. Fitoplankton bersifat fototaksis positif, dan zooplankton bersifat
fototaksis negatif.
8. Kandungan berbagai unsure
nutrisi
Fitoplankton
dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi
yang paling penting seperti nitrat dan fosfat (Nybakken, 1992). Unsur N, P, dan
S penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolism
karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca
merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel atau cangkang. Disamping itu
silikat (Si) lebih banyak digunakan oleh diatom dalam pembentukan dinding sel.
Nitrat dan
fosfat merupakan unsur hara terpenting untuk pertumbuhan fitoplankton. Kadar
nitrat dan fosfat yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton masing-masing 3,9
mg/l – 15,5 mg/l dan 0,27 mg/l – 5,51 mg/l. Keberadaan nitrat di perairan
sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri, bahan
peledak, dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar
nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah didaerah yang diberi pupuk
yang mengandung nitrat/nitrogen.
Fosfat merupakan
unsur yang sangat esensial sebagai bahan nutrien bagi berbagai organisme
akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi
dari organisme yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (mikronutrien), sehingga
fosfat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisme. Peningkatan
konsenstrasi fosfat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkat pertumbuhan
algae dan tumbuhan air lainnya secara cepat. Peningkatan yang menyebabkan
terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut, diikuti dengan timbulnya anaerob
yang menghasilkan berbagai senyawa toksit misalnya methan, nitrit dan belerang.
Senyawa
fosfat di perairan diengaruhi oleh limbah
penduduk, industry, dan perairan. Di daerah pertanian dan persawahan fosfat
berasal dari bahan pupuk yang masuk ke
dalam sungai drainase dan aliran air hujan.
SUMBER:
http//supmladong.kkp.go.id
Mulyadi A., 2014. Diktat Pengelolaan Kualitas Air sebagai bahan ajar. Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Ladong, Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Aceh.
No comments:
Post a Comment