Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu dijaga kelestariannya dan dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang maupun yang akan datang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Lebih dari itu, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang besar dan penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (UU No.27/2007) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) dimaksudkan untuk menjawab mandat Pasal 33 ayat (3) UUD’45. Undang-Undang ini diharapkan dapat mendukung perekonomian nasional, yang berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pada tanggal 16 Juni 2011, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Perkara Nomor Perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 hasil permohonan pengujian UU No.27/2007 terhadap UUD’45 dinyatakan bahwa pasal-pasal pada UU No.27/2007 tentang PWP3K terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) bertentangan dengan UUD’45 dan tidakmempunyai kekuatan mengikat. Menurut MK, pemberian HP-3 akan melanggar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD’45.
Menindaklanjuti Putusan MK tersebut disusunlah RUU tentang Perubahan UU No.27/2007 sebagai inisiatif Pemerintah dan masuk dalam daftar kumulatif terbuka. Inti Perubahan UU No.27/2007 adalah mengubah HP-3 menjadi izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir. Di mana setiap pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi. Izin lokasi tersebut merupakan dasar pemberian izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir.
Dialog hukum yang diselenggarakan pada 3 Juli 2013 bertempat di Hotel Meritus Surabaya, selain diagendakan untuk menjaring saran dan masukan dari aspek hukum terhadap Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juga untuk mensosialisasikan Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada masyarakat.
Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dalam Pasal 34 ayat (3) disebutkan bahwa penyusunan perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden, sehingga pada tanggal 5 Desember 2012, Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K), Sudirman Saad mengungkapkan Perpres ini mengamanatkan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K) provinsi, kabupaten/kota, dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, provinsi, kabupaten/kota dengan mempertimbangkan aspek teknis, lingkungan hidup, dan sosial ekonomi.
Ruang lingkup Perpres ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Perencanaan reklamasi diwajibkan bagi pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten, kota, dan setiap orang melalui kegiatan penentuan lokasi, penyusunan rencana induk, studi kelayakan, dan penyusunan rancangan detail. Selanjutnya Perpres ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang selama ini timbul terkait kebutuhan pengembangan wilayah perkotaan di daerah pesisir, seperti pengembangan sarana pemukiman, kawasan industri, pelabuhan, bandara, dan lainnya.
Sumber: http://kp3k.kkp.go.id/index.php/arsip/c/2/IMPLEMENTASI-UU-272007-TENTANG-PENGELOLAAN-WILAYAH-PESISIR-DAN-PULAU-PULAU-KECIL-DAN-PERPRES-1222012-TENTANG-REKLAMASI/?category_id=22
No comments:
Post a Comment