Tuesday 10 July 2018

Pengolahan Ikan Segar dan Olahannya

Ikan termasuk komoditas yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat dibandingkan dengan daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan ikan setelah penangkapan dan pemanenan sangat dipengaruhi oleh teknik penangkapan dan pemanenan, kondisi biologis ikan, serta teknik penanganan dan penyimpanan di atas kapal. Oleh karena itu, segera setelah ikan ditangkap atau dipanen harus secepatnya diawetkan dengan pendinginan atau pembekuan. Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya, pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti oleh medium yang lebih dingin darinya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas. Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry ice (es cair), dan air laut dingin (chilled sea water). Cara yang paling mudah dalam mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan es sebagai bahan pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah di darat, yaitu ketika di tempat pelelangan, selama distribusi dan ketika dipasarkan. Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistem pendinginan yang lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjaga kesegaran ikan, biasanya 10–14 hari . Pertama yang perlu diperhatikan di dalam penyimpanan dingin ikan dengan menggunakan es adalah berapa jumlah es yang tepat digunakan. Es diperlukan untuk menurunkan suhu ikan, wadah dan udara sampai mendekati atau sama dengan suhu ikan dan kemudian mempertahankan pada suhu serendah mungkin, biasanya 0oC. Perbandingan es dan ikan yang ideal untuk penyimpanan dingin dengan es adalah 1 : 1. Hal lain yang juga perlu dicermati di dalam pengawetan ikan dengan es adalah wadah yang digunakan untuk penyimpanan harus mampu mempertahankan es selama mungkin agar tidak mencair. Wadah peng-es-an yang ideal harus mampu mempertahankan suhu tetap dingin, kuat, tahan lama, kedap air, dan mudah dibersihkan. Untuk itu diperlukan wadah yang memiliki daya insulasi yang baik. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi kelautan dan Perikanan (BBRP2B) telah mengembangkan palka atau peti ikan berinsulasi. Palka/peti terbuat dari fiber glass dan bahan insulator yang digunakan adalah poliuretan. Pada kenyataannya penanganan ikan setelah penangkapan belum dilakukan dengan baik dan hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya tingkat susut panen (postharvest losses), yaitu diperkirakan sekitar 27% (Ditjen. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2007). Penerapan praktik-praktik penanganan ikan hasil tangkapan yang belum baik adalah: 1) Hasil tangkapan tidak dilakukan pengawetan dengan pendinginan dengan es atau refrigerasi. 2) Jumlah es yang digunakan untuk pengawetan kurang dari yang dipersyaratkan. 3) Wadah atau palka/peti penyimpanan ikan tidak berinsulasi atau insulasi yang digunakan tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan. 4) Teknologi pengawetan yang diterapkan tidak sesuai dengan lamanya waktu penangkapan. Sebagai contoh es yang hanya mampu mengawetkan ikan 10 – 14 hari, tidak sesuai digunakan untuk mengawetkan ikan dengan lama penangkapan sampai 40 hari. Di samping itu, kondisi sanitasi dan higiene yang buruk di tempat pendaratan dan di pasar ikan memperparah keadaan tersebut. Bahan pengawet seperti es dan air laut dingin termasuk bahan yang relatif aman terhadap ikan yang diawetkan, terutama ketika dikonsumsi oleh masyarakat. Penggunaan bahan pengawet yang tidak tepat untuk bagi bahan pangan, seperti formalin, harus dicegah dan dilarang. Bahan pengawet mayat tersebut pernah menghebohkan masyarakat, karena ternyata digunakan untuk mengawetkan hasil tangkapan ikan oleh nelayan. BBRP2B juga sedang melakukan penelitian tentang penggunaan buah picung sebagai bahan pengawet. Buah picung secara turun temurun digunakan untuk mengawetkan ikan oleh masyarakat di daerah Banten, khususnya di Pandeglang dan Lebak. Cara pengawetan ikan yang lain adalah dengan pembekuan. Untuk mendapatkan umur simpan yang panjang ikan harus dibekukan dengan menggunakan alat pembeku dan kemudian disimpan beku dalam cold storage. Jika cara tersebut dilakukan secara benar memungkin untuk menyediakan ikan yang mutunya mendekati ikan segar. Konsumen awam biasanya sulit untuk membedakan antara ikan segar dan ikan yang telah mengalami pembekuan. Walaupun banyak aspek yang harus dipertimbangkan dalam memberi definisi tentang ikan yang bermutu tinggi, ada dua hal pokok yang harus diperhatikan nelayan sebagai produsen utama, yaitu : mutu ikan sewaktu ditangkap, dan mutu ikan sewaktu diserahkan kepada pembeli atau pengolah. Khusus bagi produk pangan yang cepat membusuk, mutu ikan itu identik dengan kesegaran. Istilah segar tercakup dua pengertian : yang pertama baru saja ditangkap, tidak di simpan atau tidak diawetkan, dan yang kedua mutunya masih orisinil, belum mengalami kemunduran mutu. Hanya dari bahan mentah yang bermutu tinggi akan menghasilkan produk akhir yang bermutu tinggi. Mutu kesegaran sebenarnya juga mempunyai arti ekonomis, karena identik dengan uang. Artinya bila mutu kesegarannya tinggi, maka nilai ekonomisnya akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Derajat kesegaran semua jenis tuna memainkan peranan dalam menilai mutu dan harga akhirnya, disamping itu kesegaran merupakan faktor paling penting dalam penentuan sehat atau tidaknya mutu produk yang dikonsumsi. Ikan dikatakan segar apabila ikan tersebut memiliki kondisi tubuh sama seperti ikan masih hidup, dimana perubahan fisik, kimiawi dan biologis yang terjadi belum sampai menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan. Sering kali kita sulit membedakan tingkat kesegaran antara ikan yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan penglihatan keduanya tampak memiliki tingkat kesegaran sama, namun ternya baru diketahui setelah disimpan. Ikan segar memiliki masa simpan lebih lama dibandingkan ikan yang kurang segar. Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya. Tingkat kesegaran ikan sangat penting karena dapat mempengaruhi penampakan, aroma, rasa, tekstur dan kesukaan konsumen. Berbagai faktor dapat dikelompokan menjadi penentu kesegaran: jenis dan ukuran ikan, lingkungan dan cara tangkap atau panen. Dengan demikian, untuk mendapatkan ikan segar, ketiga faktor ini perlu diperhatikan. 1) Jenis dan ukuran ikan Ikan berpengaruh terhadap kesegaran, baik pada saat setelah pemanenan atau penangkapan maupun selama penyimpanan. Pada saat ikan dipanen atau ditangkap sulit untuk membedakan kesegarannya. Lain halnya bila ikan tersebut telah mati atau disimpan beberapa saat kemudian. Jenis ikan, ukuran dan jenis kelamin akan berpengaruh terhadap kualitas ikan. Ikan pelagis yang memiliki aktifitas tinggi relative mudah mengalami proses penurunan kualitas dibandingkan dengan ikan demersal yang aktivitasnya rendah. Demikian pula ikan yang stress, baru melakukan aktivitas perkawinan atau sedang berupaya. Aktivitas ikan berkaitan dengan kandungan glikogen yang tersedia pada saat ikan dipanen atau ditangkap. Ikan mati dengan kandungan glokogen rendah tidak mampu menurunkan pH daging sehingga kesegaranya cepat menurun. Ikan dengan kandungan lemak tinggi juga lebih mudah mengalami proses penurunan kualitas dibandingkan ikan dengan kandungan lemak rendah. Lemak ikan bersifat tidak jenuh dan berantai panjang sehingga mudah mengalami proses oksidasi selama penyimpanan. Akibat dari proses oksidasi lemak, ikan menjadi tengik. Dengan demikian, ikan dengan kandungan lemak tinggi mudah mengalami penurunan kesegaran. Ukuran ikan berperan penting dalam penentuan kesegaran hasil perikanan. Ikan berukuran besar lebih mampu mempertahankan kesegarannya dibandingkan ikan sejenis yang ukurannya lebih kecil. Hal ini dapat dimengerti sebab dalam bobot yang sama, ikan besar memiliki luas permukaan tubuh relative lebih kecil dibandingkan dengan ikan yang ukuran tubuhnya kecil. Dengan demikian, bidang kontak antar ikan kecil dengan faktor penurunan kesegaran (seperti suhu dan mikroba) menjadi lebih besar. Penetrasi mikroba ke dalam daging ikan besar membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan penetrasinya pada ikan kecil. Ukuran ikan juga mempengaruhi kecepatan proses penyiangan ikan. Ikan besar lebih mudah disiangi sedangkan waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk menyiangi ikan kecil lebih banyak, sehingga ikan kecil umumnya tidak disiangi tetapi hanya dicuci dengan air bersih. Nilai pH kematian ikan besar relatif lebih rendah dibandingkan ikan kecil. Jenis kelamin mempengaruhi komposisi kimia daging ikan. Ikan betina seringkali mengalami penurunan kesegaran lebih cepat dibandingkan dengan ikan jantan. Kondisi ikan betina yang baru melakukan aktifitas perkawinan relatif lemah karena banyak mengeluarkan energi sehingga selama penyimpanan akan mengalami penurunan kesegaran lebih cepat dibandingkan ikan betina yang belum melakukan aktifitas perkawinan. Pada jenis ikan berdaging merah termasuk ikan tuna, biasanya terjadi proses pemucatan warna kulit yang disebabkan oleh aktifitas enzyme polyphosphatase dalam kulit yang dipengaruhi pula cahaya matahari dan oksigen dari udara. Selama penyimpanan daging yellow fin biasanya cepat berubah menjadi coklat karena mempunyai sistem enzim oksidasi yang lebih kuat dari jenis tuna lainnya. Hal ini dapat diatasi dengan cara membekukan tuna secara cepat setelah ikan ditangkap pada suhu -60°C dan menyimpannya pada suhu di bawah - 40 °C. Selain itu, daging yellow fin tuna yang dibekukan biasanya menunjukan warna gelap atau kecoklatan yang disebabkan oleh perubahan sifat asli dari darah. Kandungan racun pada ikan dapat mempengaruhi kesegaran ikan. Ikan yang diketahui mengandung racun umumnya ditolak konsumen meskipun masih memiliki tingkat kesegaran tinggi. Ikan kembung dengan tingkat kesegaran yang sudah agak menurun lebih diterima konsumen dibandingkan dengan ikan buntal yang masih hidup, karena masyarakat lebih mengenal ikan buntal sebagai ikan beracun. Berdasarkan jenis racun yang dikandungnya, ikan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu ciguatera, puffer fish dan paralytic shellfish poisoning. Ciguatera adalah kelompok ikan yang memiliki sifat beracun atau tidak beracun secara cepat. Ikan ini menjadi beracun apabila memakan pakan tertentu yang beracun, tetapi menjadi tidak beracun kembali apabila ikan tersebut tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Masalahnya, kita tidak mengetahui apakah ikan kelompok ini yang berhasil ditangkap sedang dalam kondisi beracun atau tidak. Konsumen yang mengkonsumsi ikan kelompok ini akan mengalami keracunan, karena racun ini tidak dapat dirusak oleh suhu tinggi pada saat pemasakan. Puffer fish adalah kelompok ikan yang lebih berbahaya dibandingkan kelompok ciguatera, karena racun yang dikandungnya bersifat mematikan. Lebih dari 50% kematian dialami oleh konsumen yang mengkonsumsi ikan kelompok ini. Sebenarnya, hanya bagian tertentu saja dari ikan ini yang mengandung racun sedangkan bagian lainnya aman untuk dikonsumsi. Masyarakat Jepang senang mengkonsumsi ikan ini setelah membuang bagian perutnya yang mengandung racun. Paralytic shellfish poisoning adalah keracunan yang diakibatkan karena mengkonsumsi kelompok jenis-jenis kerang. Jenis-jenis kerang ini mengandung racun karena ditangkap di perairan yang mengandung dinofagellata dengan konsentrasi tinggi. Kerang yang mengkonsumsi dinofagellata akan menampung racun yang dikeluarkan dinoflagellata didalam tubuhnya tanpa ia sendiri mengalami keracunan. Masyarakat yang mengkonsumsi kerang tersebut akan mengalami keracunan berupa kesulitan bernafas dan dapat menyebabkan kematian. Racun tersebut tidak seluruhnya dapat dirusak oleh suhu tinggi selama pemasakan kerang. 2) Lingkungan Lingkungan dapat mempengaruhi kesegaran ikan karena berkaitan dengan ketersediaan pangan, cuaca atau pencemaran. Ketersediaan pangan di lingkungan tempat hidupnya akan mempengaruhi kesegaran ikan. Pangan dapat mempengaruhi rasa dan penampilan ikan. Selain itu, pangan juga dapat mempengaruhi komposisi kimia daging ikan. Kondisi pangan yang kurang memadai akan menurunkan nilai gizi ikan dan dengan demikian akan mempercepat proses pembusukan. Kualitas hasil perikanan yang ditangkap di daerah beriklim panas lebih baik dibandingkan ikan yang ditangkap di daerah dingin. Ikan daerah panas didominasi oleh mikroba mesofilik, sehingga pada saat disimpan di tempat dingin sebagian besar mikrobanya mati. Dengan demikian, ikan daerah panas lebih tahan disimpan pada suhu rendah dibandingkan ikan yang ditangkap di perairan dingin. Cuaca berpengaruh terhadap ketersediaan pangan bagi ikan. Cuaca terang akan meningkatkan populasi plankton, sedangkan kondisi mendung menghasilkan sebaliknya. Cuaca yang tidak menguntungkan dapat meningkatkan pertumbuhan plankton merugikan (red tide) sehingga mempengaruhi kualitas ikan. Ikan yang ditangkap di perairan tercemar bahan organik mengandung mikroba lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang ditangkap di perairan kurang tercemar. Masa simpan ikan yang ditangkap di perairan tercemar lebih singkat dibandingkan dengan ikan yang berasal dari perairan kurang tercemar. Hal ini dapat dikatakan bahwa ikan yang ditangkap di perairan tercemar lebih rendah dibandingkan ikan yang ditangkap di perairan kurang tercemar. Selain bahan pencemar organik, tingginya kandungan logam berat di perairan akan mempengaruhi kualitas ikan yang dihasilkan. Jenis-jenis kerang yang hidup di perairan dengan kandungan logam berat yang tinggi akan tumbuh lebih besar, namun warna dagingnya lebih gelap sehingga kurang menarik. 3) Cara panen/ tangkap Cara panen atau cara menangkap ikan akan berpengaruh terhadap kualitas ikan yang diperoleh. Meningkatnya stress yang dialami ikan selama penangkapan/pemanenan akan menurunkan kandungan glikogen dalam tubuh ikan sehingga dapat menurunkan kualitas ikan. Idealnya, pemanenan atau penangkapan ikan dilakukan sedemikian rupa sehingga tingkat stress yang dialami ikan menurun. Waktu pemanenan ikan sebaiknya dilakukan pada pagi hari dimana suhu lingkungan masih rendah. Pemanenan yang dilakukan pada saat matahari sudah tinggi kurang disarankan, sebab suhu lingkungan sudah meningkat dan akan berakibat langsung terhadap stress pada ikan. Alat penangkapan juga berpengaruh terhadap tingkat stress yang dialami ikan. Ikan yang ditangkap dengan jaring aktif (jaring trawl dan purse seine) mengalami stress lebih tinggi dibandingkan ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pasif (bubu). Alat bantu penangkapan, seperti tombak, pengait atau ganco, dapat menimbulkan luka yang akan berpengaruh terhadap kesegaran ikan. Cara penangkapan yang bermacam-macam berpengaruh terhadap mutu hasil tangkapan karena sifat operasional dari setiap cara penangkapan memberi akibat yang berlainan terhadap ikan yang ditangkap c. Cara kematian Ikan yang berjuang keras dalam menghadap mautnya, lebih cepat membusuk daripada ikan yang mati dengan tenang dan cepat, karena fase rigor mortis terjadi sebelum waktunya. Pada ikan yang banyak mengeluarkan energi karena terkena jaring/pancing, maka perubahan glukosa asetyl berlangsung cepat sehingga reaksi terjadi secara anaerobic yang mengakibatkan terbentuknya asam laktat yang akan merubah suasana jaringan menjadi asam dan terjadi oksidasi haemoglobin menjadi methaemoglobin sehingga warna darah ikan menjadi pudar, juga terjadinya denaturasi (warna daging menjadi keruh), tekstur lembek karena rusaknya collagen. Sebaiknya suatu alat tangkap harus memudahkan dalam cara penangkapan, sehingga dapat memberikan kemungkinan perlawanan kecil terhadap hasil tangkapan sebelum kematian 1) Lamanya ikan berada dalam air Pada saat ikan terkait mata pancing atau jaring, sampai tiba saatnya diangkat dari air dipengaruhi oleh suhu air laut sehingga proses kemunduran mutu akan berjalan lebih cepat 2) Suhu air laut Daerah tropis, suhu rata-rata air laut cukup tinggi antara 23,9°C – 29,3°C salah satu jenis ikan (ikan tuna) tidak mempunyai mekanisme pengaturan panas tubuh dan suhunya berada sekitar 7,8°C di atas air laut, sehingga jika tidak cepat disemprot dengan air laut dan didinginkan, maka laju pembusukannya akan berlangsung lebih cepat. 3) Faktor biologis Ikan yang kenyang (feedy fish) banyak mengandung enzyme dalam isi perutnya dan cepat mengurai sehingga mempengaruhi otot daging sekitar perut. Gejala ini menjurus pada belly burn (perut gosong) dan terbusai perut (belly torn dan belly burst), sehingga penanganannya harus lebih cepat dan hati-hati. Pada kondisi ikan sedang bertelur, enzym berada dalam keadaan aktif sekali, sehingga jika tertangkap harus segera ditangani dan didinginkan. Hal tersebut akan mempengaruhi kecepatan penurunan mutu jika dibandingkan dengan ikan yang ditangkap dalam keadaan normal. Salah satu usaha untuk mengatasinya dengan memakai alat tangkap yang selektif atau dengan mengatur waktu dan tempat penangkapan. 4) Faktor waktu dan suhu selama penanganan Selama penanganan, ikan akan berhubungan dengan udara luar yang cukup tinggi suhunya dan kerusakan fisik karena perlakuan kasar akan mempercepat kemunduran mutu. Penanganan harus cepat, hati-hati dengan menerapkan rantai dingin. Suhu udara yang tinggi selama pengerjaan, lamanya penanganan merupakan faktor yang dapat mempercepat keaktifan bakteri pembusuk, sehingga suhu ruang penanganan pun harus disesuaikan dengan jenis produk yang ditangani. Kecepatan penurunan mutu terutama produk fillet/loin yang lebih peka terhadap kenaikan suhu. 5) Faktor kebersihan pekerja Penularan kotoran ke produk perikanan yang sedang diproses, terutama produk fillet/loin akan menambah jumlah bakteri pada bahan yang sedang diproses. Oleh karena itu, faktor sanitasi dan hygiene yang meliputi kebersihan peralatan, ruangan tempat kerja, bahan pembantu yang bersinggungan dengan produk, pekerja/karyawan dan lain-lain yang memungkinkan penularan terhadap produk harus benar-benar diperhatikan

No comments:

Pengembangan Produk Bekicot Ala Sushi

Permakluman:  Produk-produk yang ditampilkan merupakan Produk Olahan Hasil Perikanan Karya Finalis Lomba Inovator Pengembangan Produk ...